ASEAN didesak bersuara lebih lantang terkait Rohingya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Burma Human Rights Network Ko Kyaw Win mendesak Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersuara lebih keras terhadap kekerasan yang dialami etnis Muslim Rohingya di Myanmar.
"Tentang kekerasan yang terjadi, pemerintah dan militer Myanmar tidak merespon tentang apapun pelanggaran HAM yang terjadi di Rakhine State, hanya itu yang mereka lakukan. Pemerintah Myanmar menghindari tanggung jawab itu sendiri dalam melindungi warga negaranya," ujar Ko Kyaw Win usai Dialog Tingkat Tinggi tentang "Hak Asasi Manusia ASEAN" di Jakarta, Kamis.
ASEAN, lanjut dia, harus lebih bersuara tentang genosida yang terjadi Rakhine State.
"Ketika bersuara lebih keras di forum-forum internasional itu akan memberikan efek tekanan kepada pemerintah Myanmar," kata Ko Kyaw Win.
Komunitas-komunitas di Indonesia yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia harus memberikan tekanan kepada pemerintah Myanmar dan bersuara tentang genosida yang ada di Myanmar, ujar dia.
"Jika kita tidak berkomitmen dan merespon ini, itu akan berdampak pada lingkungan kita dan sosial, dan keyakinan kita. Karena kita semua terhubung satu sama lain, apa yang terjadi Myanmar maka akan berdampak dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura dan semua tempat," kata Ko Kyaw Win.
Ia mengungkapkan aturan hukum yang berlaku di Myanmar bahwa tindakan terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Mereka menahan banyak orang karena mereka melakukan protes terhadap pemerintah. Banyak orang sudah ditangkap. Jurnalis protes ditangkap, warga protes ditangkap. Peraturan perundang-undangan yang sangat lemah melindungi HAM," kata dia.
Ko Kyaw Win mengungkapkan kebebasan berpendapat di Myanmar sedang dalam bahaya karena masyarakat dikekang untuk menyuarakan tentang hal yang tidak semestinya.
"Jika ada kekerasan yang terjadi pada kaum minoritas di Myanmar maka pemerintah terkesan membiarkan tetapi jika kalian menyuarakan tentang kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah, maka kalian dipenjara," kata dia.
PBB sebelumnya melaporkan bahwa kekerasan terhadap etnis Rohingya berujung pada terusirnya sekitar 700 ribu orang ke Bangladesh.
"Tentang kekerasan yang terjadi, pemerintah dan militer Myanmar tidak merespon tentang apapun pelanggaran HAM yang terjadi di Rakhine State, hanya itu yang mereka lakukan. Pemerintah Myanmar menghindari tanggung jawab itu sendiri dalam melindungi warga negaranya," ujar Ko Kyaw Win usai Dialog Tingkat Tinggi tentang "Hak Asasi Manusia ASEAN" di Jakarta, Kamis.
ASEAN, lanjut dia, harus lebih bersuara tentang genosida yang terjadi Rakhine State.
"Ketika bersuara lebih keras di forum-forum internasional itu akan memberikan efek tekanan kepada pemerintah Myanmar," kata Ko Kyaw Win.
Komunitas-komunitas di Indonesia yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia harus memberikan tekanan kepada pemerintah Myanmar dan bersuara tentang genosida yang ada di Myanmar, ujar dia.
"Jika kita tidak berkomitmen dan merespon ini, itu akan berdampak pada lingkungan kita dan sosial, dan keyakinan kita. Karena kita semua terhubung satu sama lain, apa yang terjadi Myanmar maka akan berdampak dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura dan semua tempat," kata Ko Kyaw Win.
Ia mengungkapkan aturan hukum yang berlaku di Myanmar bahwa tindakan terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Mereka menahan banyak orang karena mereka melakukan protes terhadap pemerintah. Banyak orang sudah ditangkap. Jurnalis protes ditangkap, warga protes ditangkap. Peraturan perundang-undangan yang sangat lemah melindungi HAM," kata dia.
Ko Kyaw Win mengungkapkan kebebasan berpendapat di Myanmar sedang dalam bahaya karena masyarakat dikekang untuk menyuarakan tentang hal yang tidak semestinya.
"Jika ada kekerasan yang terjadi pada kaum minoritas di Myanmar maka pemerintah terkesan membiarkan tetapi jika kalian menyuarakan tentang kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah, maka kalian dipenjara," kata dia.
PBB sebelumnya melaporkan bahwa kekerasan terhadap etnis Rohingya berujung pada terusirnya sekitar 700 ribu orang ke Bangladesh.