Semarang, Antara Jateng - "Saya sudah bilang sama ibu untuk tidak membuat pesta, saya ingin resepsi sederhana saja dan cukup memesan makanan katering untuk tamu, jadi tidak merepotkan," kata Utami (30) mengawali ceritanya.
"Namun ibu mengingatkan, jika di sini tidak berlaku semacam itu. Bukan soal pestanya, bukan soal gengsi, melainkan sudah menjadi tradisi," lanjutnya.
Perempuan berkacamata itu, mengaku sempat berdebat dengan keluarga saat akan melakukan pesta pernikahan.
Ia mengaku ketika itu hanya berpikir agar tidak merepotkan tetangga ataupun saudara jika harus membantu seluruh kebutuhan pesta resepsi.
"Ya tetap mengundang kerabat dan tetangga dekat, tapi pikir saya mereka datang waktu hari 'H', gitu aja, jadi simpel," paparnya.
Meski sempat menjadi pembahasan dan perdebatan cukup lama, Utami akhirnya mengikuti usul sang bunda.
"Meskipun anak saya sekarang merantau di Kota Semarang, tapi diakan lahir di sini, masih kenal dengan orang-orang di sini juga, jadi ya harus mengikuti bagaimana adat di sini," tutur ibunya, Umi (54).
Putri kedua dari tiga bersaudara itu, sejak jenjang SMA memang tidak tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Garon, Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.
Pendidikan SMA dijalani di Kabupaten Kendal, kemudian melanjutkan kuliah di Yogyakarta hingga bekerja berpindah di beberapa kota dan saat ini menetap di Kota Semarang.
"Lama merantau mungkin, jadi sudah ketularan orang yang serba ingin praktis dan cepat karena waktunya hanya untuk bekerja," ujar perempuan paruh baya itu sembari tersenyum.
Ternyata, hal serupa dialami hampir sebagian besar anak muda di daerah yang berhawa dingin itu, salah satunya, Sulis (23), laki-laki yang baru saja melangsungkan pesta pernikahan pertengahan April 2016.
"Kalau saya 'kan sebenarnya hanya kedatangan tamu pihak perempuan, atau istilahnya 'ngunduh mantu', jadi saya pikir tidak perlu repot-repot ada acara tapi ya bagaimana lagi tradisi sudah begitu, saya ikuti saja," tuturnya.
Ia juga mengaku saat itu sempat berdebat dengan kedua orang tuanya terkait dengan pesta pernikahan yang akan diselenggarakan.
Sulis yang sejak lulus SMP bekerja di Kota Ungaran itu, sebenarnya menginginkan hal yang praktis, antara lain memesan makanan tamu resepsi lewat katering.
"Dari pihak perempuan juga sudah pesta meski di luar kota 'kan memang tidak mengundang warga dari sini, dan di pihak saya pesta lagi. Kalau saya penginnya ya yang sederhana dan praktis, tapi kata bapak ibu, tradisinya begini, akhirnya saya ya 'manut' (mengikuti, red.) saja," katanya.
Salah satu tradisi yang hingga saat ini masih dipertahankan masyarakat Dusun Garon itu, adalah sinoman.
Saat seseorang memiliki hajat, terutama pesta pernikahan, para tetangga dan saudara dari kedua mempelai akan diundang untuk hadir, bukan hanya datang saat pesta berlangsung, melainkan datang untuk membantu si empunya rumah mempersiapkan keseluruhan pesta, termasuk dalam menyediakan makanan.
Kondisi semacam itu mungkin sudah cukup langka di perkotaan, namun di desa tersebut masih terkesan sangat kental terjaga secara turun-temurun.
Sinoman di Desa Candigaron tidak hanya untuk satu dua hari, namun bisa empat hari hingga satu minggu sehingga orang yang diundang sinoman itu harus benar-benar meluangkan waktu.
Hal itupun dilakukan para pelaku sinoman secara sukarela. Bahkan yang bersangkutan justru yang datang memberikan hadiah ataupun sejumlah uang sumbangan pada pemilik rumah yang mengadakan pesta pernikahan.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Sinoman" berasal dari bahasa Jawa yang berarti sekumpulan anak muda yang membantu mengantarkan sajian dan menerima tamu saat pesta.
Kata itu juga berlaku untuk beberapa daerah di luar Jawa, namun sinoman bagi warga Dusun Garon, bukan hanya para pemuda yang datang membantu, melainkan juga orang tua laki-laki dan perempuan beserta anak-anak mereka.
Uripno, salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut, menjelaskan bahwa sinoman dilakukan sebagai bentuk gotong-royong dan guyub rukun bagi warga.
"Bukan masalah seberapa besar pestanya, tapi kumpul dan kebersamaan untuk turut merasakan kebahagiaan pemilik rumah yang punya hajatan itu yang penting," jelasnya.
Ia mengatakan mereka yang diundang sinoman biasanya warga satu RT (rukun tetangga), saudara dekat, dan juga para pemuda.
"Panitia pernikahan memang ada, orang-orang di kota pun begitu, tapi kalau di sini yang menjadi panitia, orang berbelanja kebutuhan bahan makanan resepsi, hingga juru masak ya warga sendiri," katanya.
Lebih lanjut ia menerangkan untuk mereka yang bekerja, akan datang ke tempat hajatan untuk sinoman sepulang kerja, kalau yang bertani biasanya mereka tidak ke kebun terlebih dahulu atau ke kebun saat pagi atau siang hari saja.
Istilahnya, kata dia, para pelaku sinoman benar-benar meluangkan waktu untuk membantu pada sinoman.
Pada malam sebelum pesta resepsi berlangsung, warga terutama yang laki-laki juga akan diundang untuk berdoa bersama atau kenduri.
"Hal ini juga sudah menjadi tradisi, dan hidangan atau pestanya disesuaikan kemampuan yang punya hajat," tambahnya.
Ketua pemuda Dusun Candigaron, Suto, mengatakan bagi para pemuda hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan terorganisasi secara jelas.
Terkadang, para pemuda itu meluangkan waktu untuk pulang sejenak sekadar ikut sinoman.
"Terutama bagi yang bersekolah atau bekerja di luar kota yang masih terjangkau," katanya.
Para pemuda yang menjadi pelaku sinoman, masing-masing setiap harinya akan membantu sesuai "shift" yang telah terjadwal dan akan mengikuti secara sukarela.
Ada yang bertugas menerima tamu dan juga ada yang menyuguhkan makanan.
Ia mengatakan hal itu bukan hanya berlaku pada pesta pernikahan karena para pemuda akan dengan sigap membantu warga yang membutuhkan, seperti saat ada kematian ataupun hal lain.
"Ini juga diajarkan pada adik-adik, biasanya yang sekolah mulai ikut bergabung meski belum sepenuhnya, tapi setidaknya mereka nantinya yang akan aktif. Inilah cara untuk melanjutkan tradisi kepada generasi berikutnya," tuturnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga tengah gencar melakukan berbagai upaya sebagai wujud untuk "nguri-uri" (melestarikan) budaya.
Menurut Ganjar, sinoman sebagai hal itu juga menjadi sesuatu yang patut dipertahankan pada era modern yang serba praktis.
"Nguri-uri" budaya tersebut, ungkapnya, bukan hanya dilakukan sebagai omongan, melainkan juga dari tingkah laku dan cara berbusana.
"Berbagai upaya pelestarian budaya harus dilakukan dengan menjunjung kearifan lokal, terutama dalam hal gotong-royong agar guyub rukun tetap terjaga," kata Ganjar.