Semarang (ANTARA) - Kata cawe-cawe kembali ramai diperbincangkan khalayak setelah Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan para pemimpin media, di Jakarta, Senin (30/5), menggunakan ungkapan bahasa Jawa itu dalam konteks politik.
Presiden pada saat itu menyatakan, "Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif."
Dia juga menegaskan bahwa cawe-cawe yang dimaksudnya tak akan melanggar undang-undang.
KBBI mengartikan cawe-cawe: ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan). Menilik arti di KBBI tersebut, maka kata cawe-cawe bersifat netral.
Makna kata itu akan menjadi atau bernuansa negatif, positif, atau tetap netral tergantung konteksnya.
Menurut pemerhati bahasa Jawa, Widiyartono, dalam konteks bahasa percakapan Jawa, kata cawe-cawe sebenarnya positif karena menunjukkan seseorang--dalam kapasitas tertentu--turut memecahkan masalah.
Sepanjang cawe-cawe itu tidak melanggar kepantasan dan hukum, menurut wartawan senior tersebut, itu tidak masalah.
Kata atau istilah tersebut bisa menjadi bias manakala berurusan dengan kepentingan politik, sehingga tafsirnya pun tergantung pada kepentingan pula. Ketika sisa-sisa perseteruan akibat perkubuan yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya lenyap, kata cawe-cawe yang disampaikan Presiden Jokowi dengan mudah menyulut polemik. Apalagi saat ini memang sudah memasuki tahun politik.
Lantas bagaimana membaca atau menafsirkan cawe-cawe seperti yang disampaikan Kepala Negara tersebut dalam konteks kepemimpinan politik pada masa mendatang?