Semarang (Antaranews Jateng) - Bupati Nonaktif Purbalingga, Jawa Tengah, Tasdi mengaku menyesal karena telah menerima sejumlah uang yang merupakan suap dan gratifikasi selama menjabat sebagai orang nomor satu di kabupaten tersebut.
Hal tersebut disampaikan Tasdi dalam sidang dengan agenda pembelaan di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu.
Mantan Ketua PDIP Purbalingga itu meminta maaf kepada masyarakat Purbalingga yang telah memilihnya menjadi bupati.
"Saya meminta maaf kepada masyarakat yang telah memilih saya, keluarga besar PDI Perjuangan," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Antonius Widijantono.
Dalam pembelaannya, Tasdi membeberkan tentang 20 tahun dirinya berkarir di dunia politik melalui PDIP.
Tasdi pernah menjabat sebagai Ketua DPRD, wakil bupati, hingga akhirnya terpilih sebagai Bupati Purbalingga.
Ia juga sudah tujuh kali memperoleh rekomendasi dari PDIP untuk maju dalam pemilu legislatif maupun kepala daerah.
Selama masa itu juga, dirinya sering menerima uang yang ditujukan untuk pemenangan PDIP dalam pemilu maupun pilkada.
"Sudah berkali-kali saya menjadi Ketua Tim Sukses dengan menggunakan (uang) sistem gotong royong seperti ini, kalau kurang saya yang menambahi," katanya.
Pemberian Utut dan Ganjar
Ia menilai pemberian uang dari Wakil Ketua DPR Utut Adiyanto sebesar Rp180 juta dan Ganjar Pranowo sebesar Rp100 juta untuk pemenangan dalam pilkada diberikan bukan dalam kapasitasnya sebagai Bupati Purbalingga.
"Penerimaan ini bukan untuk kepentingan pribadi saya," tambahnya. Untuk itu, ia meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya.
Sebelumnya, Bupati Tasdi dituntut 8 tahun penjara dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terhadap mantan Ketua DPC PDI Perjuangan Purbalingga itu.
Jaksa Penuntut Umum Kresno Anto Wibowo juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman berupa denda sebesar Rp300 juta, yang jika tidak dibayarkan akan diganti dengan kurungan selama 6 bulan.
Dalam tuntutannya, Jaksa menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, jaksa juga menuntut hak politik terdakwa dicabut selama 5 tahun.