PGRI: UU Perlindungan Guru solusi terakhir cegah kriminalisasi guru
Semarang (ANTARA) - Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah Dr Muhdi menilai keberadaan Undang-Undang Perlindungan Guru menjadi solusi terakhir untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap guru.
"Ya, begitu masifnya ya problem 'kriminalisasi' guru, sampai- sampai dan mungkin baru pertama kali dalam pidato menteri di Hari Guru Nasional menyebut tentang hal itu," katanya, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikannya usai Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pendidikan Bermutu untuk Semua" menyambut Hari Guru dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI di Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyampaikan sudah ada kesepakatan dengan Kapolri terkait kasus kekerasan di sekolah.
Artinya, kata dia, persoalan kekerasan kecil di sekolah yang melibatkan guru dan siswa diselesaikan secara "restoratif justice" sehingga tidak sampai ke ranah pidana.
"Artinya apa? Harus dikomunikasikan antar-orang tua dengan sekolah agar masalah-masalah yang sebenarnya mungkin saja itu masalah kecil tidak dibesar-besarkan" katanya.
Apalagi, kata dia, jika sampai diseret ke ranah hukum sebagaimana menimpa Supriyani, seorang guru asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas.
Diakui Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah itu, kasus kriminalisasi guru biasanya menghadapkan mereka dengan orang-orang yang memiliki relasi kekuasaan.
"Padahal bicara pendidikan adalah bicara tripartit. Jadi, pendidikan itu harus dilakukan tidak saja oleh sekolah, tapi juga oleh orang tua. Bahkan, sebenarnya masyarakat," katanya.
Berkaca dari kasus Supriyani, ia mengatakan berarti orang tua menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah.
Sementara, pada saat sekolah dianggap melakukan ketidaksesuaian dengan apa yang orang tua mau kemudian mempermasalahkan lembaga pendidikan, khususnya guru.
"Ini yang tidak boleh. Harusnya saling asah saling asuh, saling memahami apa-apa yang mesti dilakukan. Jadi, sekali lagi ini 'warning' ya sebagaimana sudah disampaikan Pak Menteri," katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa PGRI juga pernah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan Kapolri tentang pencegahan kriminalisasi guru dengan "restorative justice", namun implementasinya ternyata kurang.
"Implementasinya ternyata tidak sampai. Saya berkali-kali turun ke lapangan mereka tidak paham tentang itu. Maka, alternatif yang berikutnya kalau ini tetap tidak bisa menyelesaikan masalah adalah bagaimana bisa menggagas lahirnya UU Perlindungan Guru," katanya.
Selama ini, kata dia, apabila terjadi kasus yang menimpa guru semacam itu tidak cukup menggunakan pasal-pasal tertentu di UU Guru maupun UU Sistem Pendidikan Nasional, sebab penegak hukum hanya berpedoman pada KUHP.
Baca juga: Siswa SMKN 4 Semarang diduga tewas akibat luka tembak
"Ya, begitu masifnya ya problem 'kriminalisasi' guru, sampai- sampai dan mungkin baru pertama kali dalam pidato menteri di Hari Guru Nasional menyebut tentang hal itu," katanya, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikannya usai Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pendidikan Bermutu untuk Semua" menyambut Hari Guru dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI di Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyampaikan sudah ada kesepakatan dengan Kapolri terkait kasus kekerasan di sekolah.
Artinya, kata dia, persoalan kekerasan kecil di sekolah yang melibatkan guru dan siswa diselesaikan secara "restoratif justice" sehingga tidak sampai ke ranah pidana.
"Artinya apa? Harus dikomunikasikan antar-orang tua dengan sekolah agar masalah-masalah yang sebenarnya mungkin saja itu masalah kecil tidak dibesar-besarkan" katanya.
Apalagi, kata dia, jika sampai diseret ke ranah hukum sebagaimana menimpa Supriyani, seorang guru asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas.
Diakui Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah itu, kasus kriminalisasi guru biasanya menghadapkan mereka dengan orang-orang yang memiliki relasi kekuasaan.
"Padahal bicara pendidikan adalah bicara tripartit. Jadi, pendidikan itu harus dilakukan tidak saja oleh sekolah, tapi juga oleh orang tua. Bahkan, sebenarnya masyarakat," katanya.
Berkaca dari kasus Supriyani, ia mengatakan berarti orang tua menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah.
Sementara, pada saat sekolah dianggap melakukan ketidaksesuaian dengan apa yang orang tua mau kemudian mempermasalahkan lembaga pendidikan, khususnya guru.
"Ini yang tidak boleh. Harusnya saling asah saling asuh, saling memahami apa-apa yang mesti dilakukan. Jadi, sekali lagi ini 'warning' ya sebagaimana sudah disampaikan Pak Menteri," katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa PGRI juga pernah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan Kapolri tentang pencegahan kriminalisasi guru dengan "restorative justice", namun implementasinya ternyata kurang.
"Implementasinya ternyata tidak sampai. Saya berkali-kali turun ke lapangan mereka tidak paham tentang itu. Maka, alternatif yang berikutnya kalau ini tetap tidak bisa menyelesaikan masalah adalah bagaimana bisa menggagas lahirnya UU Perlindungan Guru," katanya.
Selama ini, kata dia, apabila terjadi kasus yang menimpa guru semacam itu tidak cukup menggunakan pasal-pasal tertentu di UU Guru maupun UU Sistem Pendidikan Nasional, sebab penegak hukum hanya berpedoman pada KUHP.
Baca juga: Siswa SMKN 4 Semarang diduga tewas akibat luka tembak