Kirab budaya FGS VII iringi prosesi pengambilan air di Tuk Sikopyah
Purbalingga (ANTARA) - Kirab budaya dalam rangkaian Festival Gunung Slamet (FGS) VII mengiringi prosesi pengambilan air dari Tuk (mata air) Sikopyah yang berada di lereng Gunung Slamet, Desa Serang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu.
Prosesi pengambilan air Tuk Sikopyah tersebut dipimpin oleh tokoh agama yang juga sesepuh masyarakat Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, yakni Kiai Samsuri dan Kiai Mad Yusro.
Setelah prosesi pengambilan air selesai, air Tuk Sikopyah yang dibawa dengan menggunakan sejumlah lodong (tempat air yang terbuat dari bambu) itu dikirab menuju lokasi penyelenggaraan FGS VII di Desa Wisata Lembah Asri Serang (D'LAS) dengan berjalan kaki.
Sepanjang perjalanan, ribuan warga dari seluruh rukun tetangga di Desa Serang turut bergabung mengikuti kirab dengan mengenakan baju adat serta menampilkan atraksi kesenian, beberapa warga di antaranya tampak memanggul gunungan hasil bumi.
Sesampainya di D'LAS, dilakukan penyerahan air Tuk Sikopyah kepada pemerintah yang dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit singkat dan doa bersama.
Prosesi tersebut diakhiri dengan perebutan gunungan hasil bumi oleh masyarakat dan pembagian air Tuk Sikopyah.
Ditemui usai prosesi, Kepala Desa Serang Sugito mengatakan pengambilan air dari Tuk Sikopyah menjadi bagian dari kirab budaya pada hari kedua penyelenggaraan FGS VII yang saat ini telah masuk Kharisma Event Nusantara (KEN).
"Saat ini jumlah lodong yang dikirab sebanyak 140 buah karena pembawa lodongnya ada 70 pasang (pria dan wanita)," katanya.
Ia mengakui prosesi tersebut berbeda dengan penyelenggaraan FGS tahun-tahun sebelumnya karena rangkaian kegiatan terlalu panjang, sehingga air Tuk Sikopyah itu langsung dibagikan kepada masyarakat tanpa disemayamkan selama 1-2 malam lebih dahulu.
Terkait dengan makna pengambilan air Tuk Sikopyah, dia mengatakan hal itu ditujukan untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa air harus diselamatkan dan dijaga kelestariannya supaya mencukupi kebutuhan warga Desa Serang dan sekitarnya.
"Oleh karena itu, kita selalu menanam pohon untuk menjaga kelestarian mata air Tuk Sikopyah dan melarang masyarakat menebang pohon maupun bambu yang ada di sana," katanya.
Meskipun larangan tersebut baru sebatas kesepakatan yang mengedepankan kearifan lokal, dia mengatakan bagi warga yang melakukan pelanggaran berupa menebang pohon di sekitar Tuk Sikopyah akan mendapatkan sanksi berupa denda hingga Rp5 juta.
"Ke depan, kami akan mencoba membuat peraturan desa untuk menjaga agar Tuk Sikopyah tetap lestari," kata Sugito.
Prosesi pengambilan air Tuk Sikopyah tersebut dipimpin oleh tokoh agama yang juga sesepuh masyarakat Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, yakni Kiai Samsuri dan Kiai Mad Yusro.
Setelah prosesi pengambilan air selesai, air Tuk Sikopyah yang dibawa dengan menggunakan sejumlah lodong (tempat air yang terbuat dari bambu) itu dikirab menuju lokasi penyelenggaraan FGS VII di Desa Wisata Lembah Asri Serang (D'LAS) dengan berjalan kaki.
Sepanjang perjalanan, ribuan warga dari seluruh rukun tetangga di Desa Serang turut bergabung mengikuti kirab dengan mengenakan baju adat serta menampilkan atraksi kesenian, beberapa warga di antaranya tampak memanggul gunungan hasil bumi.
Sesampainya di D'LAS, dilakukan penyerahan air Tuk Sikopyah kepada pemerintah yang dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit singkat dan doa bersama.
Prosesi tersebut diakhiri dengan perebutan gunungan hasil bumi oleh masyarakat dan pembagian air Tuk Sikopyah.
Ditemui usai prosesi, Kepala Desa Serang Sugito mengatakan pengambilan air dari Tuk Sikopyah menjadi bagian dari kirab budaya pada hari kedua penyelenggaraan FGS VII yang saat ini telah masuk Kharisma Event Nusantara (KEN).
"Saat ini jumlah lodong yang dikirab sebanyak 140 buah karena pembawa lodongnya ada 70 pasang (pria dan wanita)," katanya.
Ia mengakui prosesi tersebut berbeda dengan penyelenggaraan FGS tahun-tahun sebelumnya karena rangkaian kegiatan terlalu panjang, sehingga air Tuk Sikopyah itu langsung dibagikan kepada masyarakat tanpa disemayamkan selama 1-2 malam lebih dahulu.
Terkait dengan makna pengambilan air Tuk Sikopyah, dia mengatakan hal itu ditujukan untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa air harus diselamatkan dan dijaga kelestariannya supaya mencukupi kebutuhan warga Desa Serang dan sekitarnya.
"Oleh karena itu, kita selalu menanam pohon untuk menjaga kelestarian mata air Tuk Sikopyah dan melarang masyarakat menebang pohon maupun bambu yang ada di sana," katanya.
Meskipun larangan tersebut baru sebatas kesepakatan yang mengedepankan kearifan lokal, dia mengatakan bagi warga yang melakukan pelanggaran berupa menebang pohon di sekitar Tuk Sikopyah akan mendapatkan sanksi berupa denda hingga Rp5 juta.
"Ke depan, kami akan mencoba membuat peraturan desa untuk menjaga agar Tuk Sikopyah tetap lestari," kata Sugito.