Semarang (ANTARA) - Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2024 oleh dua pasangan calon (paslon), seyogianya semua komponen bangsa fokus kembali menjadikan Indonesia negara makmur dan maju.
Pemohon PHPU Pilpres RI adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (pasangan calon nomor urut 1) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. (paslon nomor urut 3), sedangkan termohon adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Dengan putusan MK tersebut, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (paslon nomor urut 2) menjadi pemenang Pilpres 2024. Pasangan calon terpilih ini dijadwalkan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024.
Sambil menunggu pelantikan, alangkah indahnya pemimpin baru ini mulai memitigasi perpolitikan dalam negeri dan kancah internasional. Apalagi, hingga saat ini masih berlangsungnya perang Rusia dan Ukraina, ditambah lagi perang Iran versus Israel.
Karena kepedulian dengan situasi internasional yang kian memanas, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Universitas Paramadina, Senin (22/4), membahas Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran-Israel.
Dampak perang Iran versus Israel janganlah dianggap enteng. Perang itu, kata Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, akan seperti air yang menerobos ke mana-mana dan akan lewat jalur perdagangan luar negeri dan moneter.
Timur Tengah, wilayah yang memegang komoditas utama, yaitu minyak bumi. Oleh karena itu, perlu menyikapi kebijakan perdagangan luar negeri, apalagi pasar Indonesia masih punya kutub-kutub lain yang tidak terganggu perang di Timur Tengah.
Mitra dagang Indonesia seperti Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah pasar ekspor Indonesia yang besar. India dan benua Amerika juga sama sebagai kutub-kutub pemasaran alternatif.
Hal lain yang patut mendapat perhatian pemerintahan sekarang dan pemerintahan periode 2024—2029 adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) sehubungan dengan adanya tekanan pada sisi moneter saat ini.
Kenaikan rate dolar Amerika Serikat di atas Rp16 ribu menuju Rp17 ribu atau Rp18 ribu, menurut ekonom Prof. Didik, bisa menyebabkan jatuhnya pemerintahan sekarang. Jadi harus dijaga, termasuk inflasi.
Pemerintah juga harus memperhatikan kebijakan fiskal. Ini merupakan instrumen yang langsung bisa digunakan. Tentunya, kata pendiri Indef ini, tidak boleh jorjoran. Kebijakan-kebijakan anggaran terhadap Ibu Kota Nusantara (IKN), makan siang gratis tampaknya perlu ditinjau ulang.
Selain itu, Pemerintah juga harus memantau usaha kecil menengah (UKM) di daerah agar terus produktif. Jika ada masalah kekurangan bahan baku atau kredit, itu harus diselesaikan segera.
Pada kata pengantar seminar itu, Rektor Universitas Paramadina menekankan bahwa tidak bisa tidak golongan paling rentan rakyat akan terempas. Di sinilah perlu langkah untuk melindungi ekonomi rakyat paling bawah dengan menghindari inflasi.
Baca juga: Politikus: Perlu antisipasi kebijakan politik dalam perang Iran-Israel
Baca juga: Iran serang Israel, harga emas Antam naik tipis
Selat Hormuz diblokade
Sementara itu, dosen Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, M.P.P. melihat situasi Timur Tengah saat ini ada pergeseran. Pertama, kawasan ini memproduksi 35 persen minyak dunia. Kedua, 30 persen minyak dunia itu diekspor dari Timteng melalui Selat Hormuz. Iran punya kontrol luar biasa terhadap selat ini.
Jika dahulu ekspor minyak itu dikirim ke Eropa dan Amerika Serikat, sekarang lebih banyak ke Asia, terutama Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan. Negara-negara pengimpor ini akan terdampak jika Selat Hormuz diblokade.
Rusia juga produsen minyak dan gas yang sangat dominan. Maka, jika ada kenaikan harga minyak dan gas, Rusia panen. Perang Rusia versus Ukraina, Rusia dapat pemasukan luar biasa dari kenaikan harga gas.
Fenomena menarik lain, Amerika Serikat dahulu mempertahankan kepentingannya karena negara tersebut pengimpor minyak dari Timur Tengah, tetapi sekarang AS sudah net eksportir minyak, bahkan surplus 1,64 juta barel per hari. Sama seperti total konsumsi minyak Indonesia.
Transaksi minyak bumi Timur Tengah masih menggunakan mata uang dolar AS. Oleh karena itu, menurut Wijayanto, kepentingan terutama AS sekarang di Timur Tengah bukan lagi minyak, melainkan bagaimana mata uang dolar AS tetap sebagai alat transaksi. Hingga demand dolar AS tetap tinggi.
Begitu pula, Uni Eropa makin lama tidak menggantungkan diri pada Timur Tengah untuk suplai minyak. Saat ini sekitar 8 persen saja. Sekitar 90 persen suplai minyak untuk Uni Eropa didapat dari AS, Norwegia, dan Kazakhstan. Beda dengan masa lalu ketika kebutuhan minyak dari Timur Tengah.
Maka dari itu, kata Wijayanto, jika ada konflik Timur Tengah, misalnya Selat Hormuz diblokade, negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, Korsel, dan India akan terdampak.
Kebijakan luar negeri negara AS dan Barat tentu akan mempertimbangkan aspek negara sekutu mereka jika terjadi konflik, misalnya dengan sikap netral. Hal ini karena negara sekutu seperti Jepang dan Korsel akan kesulitan mendapatkan minyak.
Dampak pada mata uang, tampaknya akan jadi kambing hitam apa pun masalah dalam negeri disebabkan krisis Timur Tengah. Padahal, awal perang Iran vs Israel kemarin tidak ada dampak signifikan pada mata uang rupiah. Rupiah melemah lebih pada adanya berbagai masalah fundamental ekonomi dalam negeri.
Pemakalah dari Indef Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. memandang penting Pemerintah mengantisipasi kenaikan harga pangan yang menyebabkan inflasi. Namun, dia mengakui bahwa tidak ada kontak langsung antara perang Iran vs Israel pada harga pangan.
Akan tetapi, karena perang ini menyebabkan sistem logistik terganggu, kenaikan mata uang dolar AS akan mendorong kenaikan harga pangan dan inflasi dunia. Oleh sebab itu, kondisi pertanian dalam negeri harus menjadi fokus perhatian karena hanya tumbuh rendah sekitar 1,3 persen. Jadi, pasti ada persoalan diproduksi.
Meski kemarin ada El Nino, melihat angka kemiskinan yang tetap ada di pertanian dan perdesaan, serta ketimpangan yang memburuk, tampaknya hal-hal itu harus jadi ekstra perhatian.
Baca juga: Inggris dan Israel bertekad cegah Iran buat senjata nuklir
Baca juga: Khamenei: Generasi muda Iran bakal jadi saksi kematian Israel
Volatile food
Soal inflasi, data sampai dengan 15 April 2024, terdapat volatile food (komoditas pangan yang bergejolak) yang menyebabkan inflasi, harga pangan yang bergolak. Terjadi pula imported inflation (inflasi impor) meski sedikit.
Dengan demikian, kata Prof. Bustanul, kerentanan karena soal-soal eksternal di bidang logistik bisa menyebabkan lompatan inflasi yang mengkhawatirkan. Dalam 2 tahun terakhir memang terjadi volatile food yang relatif tinggi sebesar 10,33 persen komponen inflasi dari volatile food.
Khusus untuk harga beras, merupakan komoditas yang sangat sensitif terhadap anomali global. Ketika India melarang ekspor beras, ternyata harga beras domestiknya juga ikut naik, bahkan negara tersebut kewalahan. Jadi, harga beras global memang amat sensitif terhadap tingkah laku anomali.
Ketika El Nino kemarin terjadi, harga beras 630 dolar AS/ton, atau lebih tinggi ketika terjadi krisis pangan global pada tahun 2008. Itulah, menurut Prof. Bustanul, dampak ke dalam negeri Indonesia sewaktu harga beras naik tinggi sebelum hari raya, terlebih impor beras.
Sementara itu, harga minyak sawit global per April 2024 terlihat agak membaik. Ada windfall profit (keuntungan dari lonjakan harga komoditas yang tidak terduga) di situ. Jadi, mungkin saja dampak perang Iran vs Israel, Indonesia akan dapat windfall profit dari sawit.
Prof. Bustanul menyebut empat komoditas penting: daging sapi, minyak goreng, gula putih, dan beras. Komoditas ini amat sensitif pada kondisi eksternal dan internal negeri. Di akhir April, harus diwaspadai adanya kenaikan harga. Itu yang harus diperhatikan karena bisa menyebabkan krisis. Begitu pula, angkutan logistik harus diperhatikan agar tidak terkena dampak buruk.
Pada kesempatan itu dia menyarankan kepada pemerintah daerah untuk bekerja sama mengendalikan laju inflasi. Kalau perlu, buat kerja sama antardaerah (KAD) antar-pemda. Dalam hal ini, tidak bisa jalan sendiri-sendiri.
Daerah surplus dan daerah defisit perlu bekerja sama. Jangan anggap enteng masalah ini. Kalau perlu buat kontrak farming antara daerah produsen dan daerah konsumen atau defisit.
On-farm (pertanian primer/budi daya) sektor swasta atau pembeli lain harus melakukan pendampingan petani. Selain itu, smart farming (sistem pertanian pintar), digitalisasi dimasukkan, plus adanya standby buyer (investor yang siap membeli saham baru yang tidak terjual). Standby buyer menjadi salah satu kunci untuk antisipasi krisis pangan. Kalau perlu pergudangan perbaiki, gudang biasa, atau sistem resi gudang (SRG).
Pernyataan narasumber dari Indef lain dalam seminar itu tampaknya perlu pula mendapat perhatian Pemerintah maupun pemerintahan baru yang akan membawa bangsa ini 5 tahun ke depan.
Ekonom Eko Listiyanto, M.SE. mengungkapkan bahwa sebelum perang terbuka kondisi ekonomi sudah tidak baik-baik saja. Sejak konflik Iran vs Israel meletus, makin terlihat bahwa makin tipis atau minim akan baik-baik saja.
Nilai tukar Indonesia sangat lemah, bahkan dengan cepat menembus Rp16 ribu. Jika tidak bisa dieskalasi, nilai tukar akan makin melemah dan harus diantisipasi ke depan.
Diingatkan pula bahwa aspek dari penguatan dolar AS yang sangat signifikan karena naik 4,7 persen sebagai mata uang yang paling dicari di global. Aspek lain, dari adanya konflik Iran vs Israel memupus suku bunga global menggambarkan ketidakpastian makin tinggi.
Selain nilai tukar mata uang, penyediaan energi atau bahan bakar minyak (BBM) yang arus perdagangan minyak melalui Selat Hormuz, lokasinya sangat rentan dan akan berimplikasi pada harga minyak.
Harga minyak akan mengacu pada sisi fundamental. Bahkan, jika menyentuh 100 dolar AS/barel, tidak akan bertahan lama. Hal ini tidak akan terjadi resesi jika pemerintah dapat mengkontrol.