Magelang (ANTARA) - Setelah dihitung-hitung sendiri, baru sekitar 30 tahun kemudian seorang guru dari sekolah di bagian utara Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, mengaku bisa kembali berwisata ke Pulau Bali.
Ia mengungkapkan pengakuan itu di grup percakapan alumnus jurusan pendidikan guru sejarah di salah satu perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa lalu. Ketika sebagai mahasiswa, ia bersama kawan-kawan seangkatan menjalani wisata studi ke Bali.
Kali ini, dengan kesan bangga dia menyampaikan kunjungan ke objek wisata dunia di Indonesia di Pulau Dewata --sebutan Bali, dengan membayar sendiri alias dari hasil pengelolaan keuangan rumah tangga.
Guru berstatus pegawai negeri bernama Tri Suprapto (54) itu, mengungkapkan berwisata bukan untuk "healing" (penyembuhan). Selama ini, ia merasa sehat, terlebih ikut memperkuat imunitas tubuh pada masa pandemi COVID-19 sekitar tiga tahun lalu, sehingga terhindar dari penularan virus.
Setidaknya, ia tak hendak ikut-ikutan tren wisata untuk "healing", namun hendak pelesir bermutu didukung waktu senggang liburan sekolah dan karena mengelola keuangan keluarga dengan baik, meski hidupnya tidak kaya-kaya amat.
Istrinya bekerja di salah satu bank perkreditan rakyat di Purwokerto. Ia tak membebankan piknik "numpang" atas nama manajemen rombongan wisata studi siswa.
Wisatanya kali ini dianggap sebagai kunjungan bermutu. Domain ukuran berkualitas menjadi miliknya secara bebas yang boleh jadi bukan pula karena banyaknya objek dan popularitas tempat wisata yang dikunjungi atau kenyamanan yang direguk dan oleh-oleh makanan atau suvenir yang dibawa pulang.
Mungkin berwisata dengan biaya sendiri itulah kebahagiaan dan kebanggaan, atau untuk menjadi kenangan tersendiri. Model demikian termasuk menjadikan dia total percaya diri mengunggah foto berwisata dilengkapi dengan keterangan gambar di status akun media sosialnya, "bayar sendiri".
Boleh jadi, tingkahnya dalam unggahan di grup percakapan media sosial soal hal itu pada akhir Juni lalu, menjadi pukulan kebanyakan lainnya yang wisata dengan "biaya numpang" atau bahkan utang sana-sini demi eksistensi berkesinambungan di status media sosial.
Begitu pula sepasang suami dan istri, Ningsih dan Ari, dari Magelang, Jawa Tengah, berwisata ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan pengelolaan keuangan rumah tangga yang baik dari hasil bekerja sebagai karyawan perusahaan dan PNS di Puskesmas, mereka berwisata.
Mereka memutuskan mengambil cuti setengah jatah tahunan pada minggu pertama Juli 2023, diisi dengan piknik ke kawasan Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan membayar sendiri.
Mereka merancang sendiri wisatanya, tanpa agen perjalanan wisata, mengurus sarana perjalanan dan penginapan melalui layanan daring, menentukan sendiri agenda wisata. Mereka juga menghubungi sahabat lama yang tinggal di pulau itu untuk bertemu, bertukar buah tangan, dan berbagi cerita hidup dalam suasana santai di Pantai Kuta-Mandalika.
Suasana pagi di pantai mereka manfaatkan berjalan kaki sekitar dua kilometer dari tempat penginapan hingga lokasi para nelayan menambatkan perahu-perahu dan mengurus segala keperluan melaut. Mereka juga manfaatkan layanan sewa sepeda listrik untuk menyusuri jalan-jalan kawasan pantai itu.
Perjumpaan
Perjumpaan dengan sahabat yang dipanggil sebagai Bang Lalu, membuat mereka beroleh cerita eksklusif atas perjalanan wisata yang asyik tentang salah satu desa di kaki Gunung Rinjani, tempatnya bertugas sebagai Babinsa.
Sang sahabat itu dengan mobilnya dengan sukacita mengantar ke air terjun Benang Kelambu di Desa Aiq Beriq, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Mereka juga berkesempatan melintasi jalan mulus di dekat Sirkuit Mandalika dengan lingkungan luasnya yang terus dibangun sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan.
Mampir juga mereka ke Pantai Tanjung Aan di Desa Pengembur, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, untuk menikmati panorama laut dengan perahu-perahu nelayan dan para wisatawan mancanegara yang bermain ombak melalui papan selancar.
Kemudian, mereka melanjutkan berkendara melewati Praya, Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah, hingga dua jam menjelang petang, tiba di kawasan Geopark Rinjani. Kawasan hutan tempat air terjun Benang Kelambu itu telah diakui UNESCO sebagai Taman Bumi Dunia. Seorang petugas di pintu gerbang kawasan hutan setempat menyilakan Bang Lalu yang disapanya sebagai "komandan" itu, melintas.
Petugas pos menyuguhkan kopi hitam panas sebagai sajian selamat datang dan memberikan mantel kepada tamu "komandan" agar pakaian tidak basah karena gerimis masih mengguyur, selagi mereka menuruni jalan setapak dengan sekitar 200 anak tangga untuk mencapai air terjun setinggi 25-an meter itu.
Atas kesan takjub dan gembira dua tamunya terhadap air jernih dan segar yang terjun di sela-sela pepohonan tebing itu, Bang Lalu terlihat bangga sebagai bagian yang ikut menjaga lokasi tersebut.
Ia juga terlihat merasakan gembira hati karena berkesempatan mengantar sahabatnya menyusuri kabupaten tempat tinggalnya, dari ujung selatan di Pantai Kuta-Mandalika hingga utara di kawasan kaki Gunung Rinjani.
Kepada sahabatnya itu pula, ia menambah khazanah cerita tugasnya sebagai Babinsa desa setempat yang antara lain tiga bulan sekali ikut tim mengecek operasional kamera pengintai milik Taman Nasional Gunung Rinjani yang terpasang di beberapa tempat di Gunung Rinjani (3.726 mdpl).
Tamunya beroleh cerita lebih personal tentang objek wisata itu di luar kisah yang telah bertebaran di berita-berita daring atau mesin pencari di internet.
Pasangan itu juga dijumpai sahabat lainnya di Pulau Lombok yang dipanggil sebagai Pak Riza, sehari kemudian. Dengan mengendarai mobil, mereka dijemput di penginapan untuk menyusuri jalan-jalan beraspal di kawasan perbukitan untuk mencapai Pantai Mawun di Desa Tumpak, Kecamatan Punjut.
Perjalanan mereka berlanjut ke Desa Adat Suku Sasak di tepi Jalan Raya Praya-Kuta di Desa Sade, Kecamatan Pujut, hingga hari pada akhir pekan itu menjelang petang. Sejumlah suvenir dalam genggaman tangan melengkapi cerita tentang rumah adat dan warga suku penghuninya serta pengalaman praktik menenun dengan alat tradisional.
Sepanjang perjalanan mereka, tak hanya objek wisata yang diceritakan namun juga popularitas Sirkuit Mandalika yang dibangun pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk ajang balap internasional.
Cerita juga meluncur dari Pak Riza tentang progres kinerja memimpin cabang perusahaan di provinsi itu dan mengenai hobinya mendaki gunung yang terus terjaga karena ada Gunung Rinjani di daerah tugasnya. Sejak mahasiswa di Bandung, ia hobi mendaki gunung dan beraktivitas seni budaya, memiliki jejaring dengan pendaki dan pegiat seni budaya di sejumlah kota.
Tamunya dengan bersemangat menyimak cerita peran dia di bawah payung perusahaannya dalam penyelenggaraan "Samalas Fest 2023", "Rinjani Color Run 2022", pengembangan desa wisata di Sembalun --salah satu pintu pendakian Gunung Rinjani-- serta penggunaan bagian belakang kantornya di Kota Mataram untuk aktivitas seniman dan budayawan setempat dengan jejaringnya di sejumlah kota di Indonesia.
Sahabat yang sedang menjadi tamu wisata di Lombok itu, terkesan merasa bangga terhadap dirinya, sekaligus beroleh-oleh cerita personal melalui agenda pakansi.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak awal tahun ini menengarai ada perubahan basis kuantitas menjadi basis kualitas berwisata masyarakat, seiring tanda-tanda perubahan situasi pandemi ke endemi COVID-19.
Tahun ini, pemerintah menargetkan kunjungan 8,5 juta wisatawan mancanegara dan 1,2 miliar-1,4 miliar pergerakan wisatawan Nusantara ke berbagai destinasi.
Kesadaran atas kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan pernah dikemukakan Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno, menjadi isu penting wisatawan pascapandemi terkait dengan kepariwisataan berbasis kualitas.
Pemerintah mengembangkan kepariwisataan dengan beragam aktivitas untuk meningkatkan daya tarik serta kualitas layanan kepada wisatawan, antara lain menyangkut objek wisata, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia pariwisata.
Kebutuhan menyangkut kualitas berwisata rupa-rupanya memang telah menghinggapi masyarakat untuk meraup kualitas personal melalui pakansi mereka.
Hanya orang sakit yang butuh penyembuhan. Kelihatannya aneh kalau ada orang sakit berwisata, apalagi bayar sendiri. Rasa-rasanya juga tak ada institusi layanan kesehatan masyarakat di negeri ini menyediakan tur pasiennya.
Berwisata nampaknya memang untuk orang waras yang ingin memperkuat kualitas hidup. Semoga ke depan tidak lagi berlanjut penyebutan latah berwisata sebagai "healing"!