Semarang (ANTARA) - Pada tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif, baik DPR RI, DPD RI, maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sejak 1 Mei hingga Minggu (14/5), sempat menuai pro dan kontra terkait dengan aturan keterwakilan perempuan di parlemen.
Dalam sejarah kepemiluan di Tanah Air, terutama pasca-Orde Baru, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI belum pernah terpenuhi hingga pemilu terakhir.
Pada Pemilu Anggota DPR RI 2004 persentase keterwakilan perempuan sebanyak 12 persen, kemudian pada Pemilu 2009 naik menjadi 18,3 persen (103 kursi).
Lima tahun kemudian, Pemilu 2014, mengalami penurunan menjadi 17,32 persen (97 kursi) dari total 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Menjelang Pemilu 2019, lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mensyaratkan partai politik peserta pemilu harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Lima belas partai politik yang berlaga pada Pemilu Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon anggota legislatif dalam daftar tersebut.
Namun, hasil Pemilu 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR RI masih di bawah 30 persen, atau 20,8 persen (120 perempuan) dari 575 anggota DPR RI. Kendati demikian, jika dibandingkan pada pemilu sebelumnya, persentase itu meningkat.