Purwokerto (ANTARA) - Peneliti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Gandjar Pamudji, ST, MT mengingatkan bahwa denah bangunan yang sederhana, beraturan dan simetris akan lebih tahan guncangan gempa.
"Untuk membuat rumah tinggal menjadi tahan gempa perlu dipahami prinsip-prinsip dasarnya yang meliputi denah yang sederhana dan beraturan atau simetris," kata Gandjar di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa.
Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsoed tersebut menjelaskan bahwa denah yang sederhana, beraturan dan simetris akan memudahkan masyarakat untuk menentukan letak titik-titik kolom dan fondasi yang akan menjadi rangka struktur utama pada bangunan.
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya riset rumah tahan gempa
Selain itu, kata dia, bahan bangunan harus seringan mungkin dan perlu sistem konstruksi penahan beban yang memadai.
"Supaya suatu bangunan dapat menahan gempa, gaya gempa harus dapat disalurkan dari tiap-tiap elemen struktur kepada struktur utama penahan gaya horizontal yang kemudian memindahkan gaya-gaya ini ke fondasi dan ke tanah. Sangat penting bahwa struktur utama penahan gaya horizontal itu bersifat liat karena akan menghindari terjadinya keruntuhan yang bersifat tiba-tiba," katanya.
Dia mengatakan sebagian wilayah Indonesia merupakan daerah dengan tingkat kegempaan yang cukup tinggi sehingga diperlukan pemenuhan terhadap kaidah-kaidah perencanaan dan pelaksanaan sistem struktur tahan gempa pada setiap bangunan yang akan didirikan termasuk juga untuk rumah tinggal.
"Namun dalam kenyataannya kaidah-kaidah perencanaan atau pelaksanaan struktur bangunan tahan gempa tersebut masih perlu terus dioptimalkan," katanya.
Sementara itu pakar rekayasa struktur dari Unsoed lainnya, Yanuar Haryanto, ST, M Eng menambahkan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat kegempaan yang cukup tinggi harus melakukan upaya mitigasi dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dan menurunkan kerentanan. Yaitu kerentanan akibat kualitas hunian yang buruk.
Baca juga: Memopulerkan rumah tahan gempa
"Membangun rumah antigempa sangat tidak ekonomis sehingga lahirlah konsep rumah tahan gempa yang diharapkan dapat menurunkan kerentanan akibat gempa, sehingga kerusakan bangunan akibat gempa tidak sampai mengakibatkan korban jiwa," katanya.
Dosen jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman bidang keahlian rekayasa struktur spesialisasi rekayasa kegempaan dan perbaikan/perkuatan struktur itu mengatakan taraf keamanan minimun untuk bangunan gedung dan rumah tinggal yang termasuk dalam kategori bangunan tahan gempa pertama adalah bila terkena gempa bumi yang lemah maka bangunan tidak mengalami kerusakan sama sekali.
Kedua, bila terkena gempa bumi skala sedang maka bangunan boleh rusak pada elemen-elemen non-struktural tapi tidak boleh rusak pada elemen struktur.
Sementara yang ketiga, bila terkena gempa bumi yang sangat kuat, bangunan tersebut tidak boleh runtuh baik sebagian atau seluruhnya.
Selain itu bangunan tersebut tidak boleh mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
"Bangunan tersebut boleh mengalami kerusakan tetapi kerusakan tersebut harus dapat diperbaiki dengan cepat sehingga dapat berfungsi kembali," katanya.
Sebelumnya dia juga mengatakan bahwa sruktur bangunan sederhana dan simetris dapat menahan gaya gempa yang lebih baik dari pada bangunan dengan bentuk yang tidak beraturan karena gaya gempa yang terjadi dapat terdistribusi secara merata ke semua elemen struktur.
Dia mengatakan besarnya gaya gempa yang diterima sebuah bangunan berbanding lurus dengan berat bangunan itu sendiri.
"Itu sebabnya penting untuk membuat bangunan menjadi lebih ringan dengan menggunakan bahan bangunan yang ringan. Hunian tradisional Indonesia ternyata dirancang tahan gempa nenek moyang kita. Pemakaian struktur kayu dan bambu dengan atap memakai rumbia atau ijuk terbukti dapat bertahan ketika ada goncangan gempa," katanya.
Baca juga: Akademisi: rumah tahan gempa minimalisasi risiko bencana
Baca juga: Dosen Unsoed: Membangun rumah tahan gempa itu penting