Para Penembus Sekat Primordial
Pesta pernikahan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dan Muhammad Bobbby Afif Nasution, kental dalam nuansa adat budaya Jawa dan Mandailing karena masing-masing berdarah dua akar budaya tersebut.
Akad nikah secara Islam berlangsung pada 8 November 2017 di Kota Surakarta, Jawa Tengah, kampung halaman mempelai perempuan, dengan segala rangkaian upacara pesta adat Jawa (Solo) dalam pesta pernikahan di kota tersebut.
Rombongan keluarga besar Bobby yang berdarah budaya Mandailing, Sumatera Utara, hadir untuk menyaksikan dan ikut bergembira di Kota Solo, dengan mengenakan pakaian adat Jawa.
Rangkaian pesta pernikahan selanjutnya di kampung halaman mempelai laki-laki di Medan, kental dalam balutan adat Mandailing dengan puncaknya pada 25 November 2017.
Rombongan keluarga besar Kahiyang dari Solo hadir di Medan, mengikuti kegembiraan rangkaian acara dengan mengenakan pakaian bernuansa adat Mandailing. Oleh karena perkawinannya, puteri semata wayang Presiden Jokowi itu, beroleh tambahan nama "Siregar", salah satu marga dalam budaya daerah setempat.
Angka perkawinan anak manusia dari dua budaya mungkin telah tak bisa terhitung lagi di muka bumi ini. Perkawinan Kahiyang-Bobby hanyalah bagian dari cerminan tersebut. Oleh karena salah satu mempelai adalah anak petinggi negeri, pesta perkawinan mereka menjadi perhatian publik. Di masyarakat umum, ihwal perkawinan beda latar belakang identitas, lazim terjadi.
Urusan perkawinan memang tidak mengenal sekat-sekat latar belakang identitas kehidupan manusia. Perkawinan, disebut budayawan Cak Nun, sebagai urusan kemanusiaan yang hakiki sehingga mampu menembus batasan-batasan identitas primordial. Jika tak ada negara pun, tetap terjadi perkawinan anak manusia.
Perkawinan adalah soal manusia berjodoh secara lahir-batin. Bahkan, perkawinan sudah ada sebelum ada agama dengan rumusan aturan-aturan sakralnya. Aturan religiuslah yang kemudian menjadikan perkawinan mendapatkan tempat suci dalam hidup manusia. Oleh karena kesucian perkawinan, pasangan suami isteri memiliki kelayakan dan kepatutan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Dalam alam berpikir dan "lelakon" para pegiat dan kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, pertemuan antarmanusia yang tidak sebatas soal perkawinan, juga diakrabi dengan sebutan "berjodoh".
Dengan semangat berjodoh, komunitas tersebut menerima kehadiran siapa saja yang hendak membangun relasi kemanusiaan, bukan sekadar berkesenian dan menjalani pergulatan kritis menyangkut kebudayaan. Dalam aspek kehidupan lainnya dan dengan semangat nilai-nilai desa dan gunung, mereka pun membangun relasi berjodoh antarsesama.
Tidak mudah menjadi para penembus sekat primordial untuk mewujudkan kehendak berjodoh, sebagaimana upaya membangun keluarga dari perkawinan manusia dengan latar berlakang budaya dan aspek-aspek lainnya yang berbeda-beda.
Segala usaha arif dan bijaksana, pergulatan menjalani panggilan hidup bersama, dan menghadapi berbagai tantangan di lapangan riil atau bukan panggung pesta pertunjukan, harus mereka tempuh secara lahir maupun batin, personal maupun dalam kaitan dengan kebersamaan.
Toh, tidak sedikit para penembus sekat primordial merasakan kemampuan tersebut ataupun dipandang berhasil untuk berjodoh hingga relasinya berumur panjang, hidup bahagia, dan bahkan langgeng.
Oleh karena berjodoh pula, para pendiri bangsa dengan latar belakang yang bhineka melahirkan Indonesia Raya. Nama mereka terus disebut, semangat hidupnya dikenang, dan nilai-nilai perjuangannya ditelusuri kekiniannya untuk menjadi teladan berjodoh bagi generasi penerus bangsa.
Pada puncak Malam Kreativitas 2017, acara dua tahunan Seminari Menengah Mertoyudan Kabupaten Magelang, akhir pekan lalu, GOR "Laudato Si", digetarkan bersama-sama dengan lagu yang dipopulerkan Harvei Malaiholo, "Indonesia Jaya".
Syair lagu yang diciptakan pemusik autodidak Chaken M itu, dikumandangkan secara megah oleh ratusan seminaris bersama seluruh hadirin, termasuk para santri dan pelajar dari sekolah lain, dengan lilin menyala di tangan masing-masing dan latar belakang panggung berupa bentangan kain panjang warna merah dan putih.
"Hidup tiada mungkin. Tanpa perjuangan. Tanpa pengorbanan. Mulia adanya. Berpegangan tangan. Satu dalam cita. Demi masa depan. Indonesia Jaya," begitu refrein lagu itu. Siapa pun anak bangsa ini merinding bulu kuduknya, ikut menggelorakan semangat "Indonesia Jaya".