Brebes (ANTARA) - "Berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu meraih kesuksesan kemudian".
Sepenggal ungkapan para petani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tampaknya pas digunakan untuk menceritakan perjalanan petani bawang.
Sebagai petani komoditas pertanian, menghadapi fluktuasi harga merupakan bagian tak terpisahkan dari petani bawang merah.
Petani Brebes pernah menelan pengalaman pahit pada masa yang seharusnya layak dirayakan: panen besar pada tahun 2016.
Ketika panen raya, petani bawang merah Brebes, kala itu, malah harus sering-sering menyeka air mata akibat harga komoditas pertanian ini terjun bebas.
Saat itu, para petani sedang panen raya, tetapi harga bawang merah meluncur ke bawah hingga Rp6.000--Rp8.000 per kilogram.
Dengan harga bawang serendah itu, para petani menanggung rugi besar. Jangankan untung, balik modal saja tidak bisa. Agar petani tidak rugi, kala itu harga bawang merah paling tidak menyentuh Rp16 ribu per kilogram.
Penyebab jatuhnya harga memang menjadi masalah klasik yang sering dihadapi petani, terutama pada saat panen raya di beberapa daerah penghasil bawang merah, seperti di Brebes, Demak, dan Nganjuk, Jawa Timur, secara bersamaan.
Dengan suplai bawang berlebih namun permintaan cenderung tetap, maka harga komoditas ini menjadi merosot.
Kala itu, aksi protes pun terjadi. Para petani berdemo, bahkan membuang hasil panen di jalan raya.
Namun, dengan cara seperti itu, akhirnya para petani justru bisa berpikir positif agar mereka tidak merugi di kala menghadapi panen raya.
Sekumpulan petani yang berpikir positif itu lalu berhimpun dalam sebuah wadah bernama Kelompok Petani Bawang Sidomakmur. Mereka mengupayakan harga bawang bisa stabil saat panen raya dan para petani tidak dihantui kerugian.
Mereka mengolah bawang merah menjadi beberapa produk turunan, yaitu berupa pasta bawang merah, crispy bawang, dan minyak bawang. Pengolahan atau hilirisasi ini tentu juga memberi nilai tambah sehingga meningkatkan pendapatan petani bawang merah.
Inisiatif Jauhari, anggota kelompok petani bawang ini, lalu disampaikan kepada pemangku kepentingan, terutama Bank Indonesia, Pemerintah Kabupaten Brebes, dan Pemerintah Pusat.
Gaung pun bersambut dan inisiatif tersebut direspons positif oleh pemangku kepentingan. Mereka perlu mengolah bawang merah menjadi produk turunan untuk stabilisasi harga dan agar hasil panen tidak terbuang percuma.
Melihat inisiatif kelompok petani bawang ini, Bank Indonesia dan Pemerintah memfasilitasi, antara lain, dengan memberikan fasilitas alat pengolahan produk.
Bantuan itu memang tidak serta merta diberikan karena mereka harus memenuhi syarat, seperti dibentuknya sebuah kelompok petani bawang, memiliki lahan untuk produksi, dan mendirikan bangun usaha berbadan hukum.
"Petani bawang Brebes lalu dikumpulkan oleh BI yang menawarkan bantuan proyek itu. Saat itu, hanya Kelompok Petani Sidomakmur yang menyanggupi," kata General Manager PT Sinergi Brebes Inovatif Dienda Lora Buana.
Dengan tekad kuat dan komitmen, akhirnya kelompok tani tersebut membuat perseroan terbatas (PT) agar mereka bisa mengatur pemegang saham dan bisa pula mendapatkan deviden dari hasil produk sendiri.
Saat ini anggota kelompok itu memiliki sekitar 100 orang dan yang sudah berinvestasi atau menjadi pemegang saham sebanyak 34 orang di PT tersebut.
Setiap saham dihargai Rp100 ribu per lembar dan rata-rata para petani yang berada di dalam kelompok ada yang memiliki 10 lembar hingga 100 lembar, bahkan ada yang mencapai Rp600 juta. Total pemegang saham untuk modal awal mencapai sekitar Rp800 juta.
Setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan oleh BI, PT Sinergi Brebes Inovatif berdiri dan mulai beroperasi.
Melalui program sosial atau semacam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), Bank Indonesia memberikan bantuan mesin produksi senilai sekitar Rp600 juta kepada kelompok petani itu dan pada 2019, usaha pengolahan bawang merah mulai beroperasi.
Ekspor ke Arab Saudi
Kali pertama beroperasi, perusahaan ini memasarkan produk pasta bawang pada sebuah perusahaan di Tangerang. Seiring perjalanan waktu, PT tersebut terus melebarkan sayap pemasaran produknya melalui daring (online).
Dari situlah, perusahaan mendapatkan agregator eksportir yang membutuhkan produk pasta bawang merah ke Arab Saudi pada tahun 2019 dengan nilai kontrak 56 ton pasta atau senilai sekitar Rp1 miliar.
Kelompok tani melalui perusahaan tersebut mengirim empat kontainer, masing-masing peti kemas itu mengangkut 16 ton pasta bawang.
Dalam perjalanan usaha itu, perusahaan di Arab Saudi ini meminta tambahan 90 ton pasta bawang. Namun, rintisan usaha yang sudah menjanjikan tersebut, harus menghadapi situasi sangat sulit. Saat itu dunia tengah dilanda COVID-19 sehingga pengiriman tambahan produk ekspor dibatalkan.
Meski dunia dilanda COVID-19, usaha pasta bawang yang dikelola oleh perusahaan itu masih bisa berkembang dan dikenal pasar nasional.
Untuk pemasaran domestik, mereka mengarah pada beberapa segmen seperti hotel, restoran, dan katering (horeka), ritel seperti toko oleh-oleh dan swalayan, serta pasar industri.
Sebelum COVID-19, perusahaan ini baru mampu memproduksi sekitar 1,5 ton pasta bawang per hari atau sekitar 26 ton per bulan mengingat produk tersebut belum banyak dikenal konsumen atau lebih fokus ke segmen industri.
Permintaan industri pada pasta bawang hanya 500 kilogram per minggu atau sekitar 2 ton per bulan, sedangkan sisa produk dijadikan stok dan dijual langsung ke pedagang maupun ritel.
Tren pasta bawang seperti mengulang hukum pasar, yakni ketika harga bawang tinggi maka permintaan pasta naik. Demikian pula, ketika harga bawang anjlok maka permintaan turun.
Oleh karena itu, seiring perjalanan waktu maka perusahaan tetap menyediakan stok produk pasta bawang dan menyediakan produk-produk turunan bawang merah seperti crispy bawang merah, minyak bawang, dan bawang goreng.
Harga eceran pasta bawang dengan kemasan dan gramasi beragam itu dijual dari Rp15 ribu hingga Rp200 ribu.
Pengolahan produk
Proses pembuatan pasta bawang itu dimulai bawang merah petani masuk ke pabrik untuk ditimbang. Setelah ditimbang harus disortir untuk memisahkan bawang busuk dan jelek serta terkontaminasi.
Setelah disortir, bawang merah dikupas dan dicuci, serta dilakukan pelayuan sekitar 5 menit pada suhu 80 derajat celcius lalu dilakukan penggilingan bawang merah. Rata-rata proses penggilingan 100 kilogram bawang merah butuh waktu 1 jam.
Pada proses penggilingan, produk pasta bawang merah akan dicampur bahan tambahan serta melalui proses antioksidasi dan dan zat pengatur keasaman. Kemudian dimasak sekitar 15 menit dengan suhu 80 derajat celcius, dan proses pengemasan dengan alumunium foil.
Produk pasta bawang yang sudah dikemas tersebut, terakhir dilakukan sterilisasi supaya aman agar steril dari mikroorganisme atau bakteri yang tumbuh.
Apabila sterilisasi dinilai sudah cukup, produk pasta bawang bisa disimpan di suhu ruang dengan suhu sekitar 25--30 derajat celcius, atau biar lebih awet disimpan pada suhu dingin atau kulkas.
Ketika pemasaran pasta bawang masih sepi, perusahaan mengekspor produk turunan lain ke Arab Saudi, seperti minyak bawang.
Sebenarnya, permintaan produk ekspor pasta bawang seperti ke Arab Saudi, Brunei Darussalam, dan India cukup banyak. Namun, karena persaingan harga pasta bawang dengan negara lain--yang menjual produk lebih murah-- pihaknya belum bisa memenuhi permintaan itu.
Kompetitor dari China bisa memberikan harga sekitar Rp15 ribu per kilogram bahkan Rp8 ribu per kilogram. Perusahaan tentu tidak bisa mengikuti permintaan pasta bawang dengan harga tersebut. Kelompok tani itu menetapkan harga standar penjualan sekitar Rp20 ribu per kilogram.
Meski demikian, pengolahan bawang merah menjadi pasta, minyak, dan produk olahan lainnya, setidaknya bisa membentengi petani bawang dari ancaman harga anjlok pada masa panen raya.
Editor: Achmad Zaenal M
Baca juga: Mengendalikan inflasi dengan cabai kering dan pasta bawang