Magelang, Antara Jateng - Tentang sosok Sri Ayati yang menjadi inspirasi Chairil Anwar hingga terlahir sajak "Senja di Pelabuhan Kecil", secara singkat diceritakan oleh penyair Kota Magelang, Jawa Tengah, Es Wibowo.
Sehabis hujan di kota kecil itu, warga Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Sabtu (16/4) malam, menggelar acara sastra untuk mengenang Chairil Anwar yang meninggal dalam usia muda, 26 tahun.
Chairil Anwar yang lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922 meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949 karena sakit.
Kampung Potrosaran yang dilewati saluran air Kali Kota, sodetan Kali Manggis yang mengalir di tengah Kota Magelang itu, tempat di mana Es Wibowo (58) tinggal.
Di tempat itu pula, Es Wibowo memimpin Komunitas Kali Kota beranggota warga setempat yang bergiat dalam seni dan budaya. Pada malam itu, komunitas tersebut mengusung tema "Aku, Chairil Anwar" untuk mengenang sang penyair penting Indonesia itu, melalui pembacaan karya-karya sastranya.
Sejumlah karya puisi sang penyair pelopor Angkatan 45 dibacakan oleh beberapa warga setempat, baik tua, muda, laki-laki, maupun perempuan. Seorang warga berumur 74 tahun, Sumaryono, yang mengenakan surjan motif lurik dan belangkon membacakan karya Chairil Anwar berjudul "Cintaku Jauh di Pulau" dan seorang lainnya, Bambang Cahyono, membacakan "Kawanku dan Aku".
Selain itu, seorang perempuan kampung setempat, Yayuk, membaca "Sebuah Kamar", penyair Es Wibowo membaca "Aku", seorang reporter televisi yang bertugas di kota setempat, Widodo Setiawan, turut menyemarakkan suasana acara itu dengan membaca "Kepada Kawan".
Ketua RT03/RW01 Kampung Potrosaran Habibur membacakan karya lain Chairil Anwar berjudul "Doa" dan Lurah Potrosaran Arifudin membaca "Senja di Pelabuhan Kecil" yang disebut-sebut merupakan ungkapan cinta Chairil Anwar terhadap Sri Ayati (1919-2009), namun perempuan yang hingga masa tuanya tinggal di Kota Magelang itu, tidak pernah menangkap bahwa sang penyair menaruh hati terhadap dirinya.
Diceritakan oleh Es Wibowo bahwa keberadaan tinggal di Kota Magelang Sri Ayati bersama suaminya, H.R. Soeparsono, seorang dokter militer dan kemudian menjabat Rektor (pertama) Universitas Tidar, telah mendekatkan Chairil Anwar dengan warga Kota Magelang yang pada 11 April 2016 berumur 1110 tahun.
"Bu Sri Ayati, dulu tinggal di Taman Badaan (Taman rekreasi kecil di Kota Magelang, red)," kata Wibowo yang juga pernah mewawancarai perempuan yang hingga tuanya tetap menampakkan paras cantik itu, ihwal sajak "Senja di Pelabuhan Kecil" untuk Harian Swadesi terbitan 5 Mei 1991.
Semasa muda dan menjadi aktivis di Jakarta, Sri Ayati mengenal Chairil Anwar saat menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta "Jakarta Hoso Kyokam" yang hingga kini menjadi Gedung RRI di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Ia mengemukakan bahwa menjadi inspirasi bagi orang lain, sebagai hal yang tidak begitu saja bisa terjadi.
Akan tetapi, ucapnya, ketika kehadiran seseorang mampu membuat orang lain melahirkan karya besar dan berguna bagi banyak orang, hal itu menjadi mulia.
"Sajak 'Senja di Pelabuhan Kecil' dengan catatan judul 'Buat Sri Ayati', menjadi puncak estetika dari puisi-puisi Chairil Anwar. Paling baik di antara karya lainnya," ujar Wibowo yang pada 2015 membukukan kumpulan 99 di antara ratusan karya puisinya dalam antologi berjudul "Jagad Batin".
Dalam buku berjudul "Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan" terbitan Wacana Bangsa pada 2007, Arief Budiman mengemukakan bahwa sang penyair berusaha mencari arti kehidupan dan memecahkan misteri kehidupan.
Chairil Anwar dikatakannya mendapati bahwa hidup adalah kemungkinan yang terbuka yang tidak pernah bisa selesai. Hidup adalah semesta kemungkinan-kemungkinan dan dia melayang-layang di dalamnya. Hidup adalah berenang di dalam ketidakadaan. Chairil tidak sampai ke mana-mana, dia hanya jadi mengerti.
"'Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap'," demikian sajak "Senja di Pelabuhan Kecil" yang malam tersebut dibacakan oleh Lurah Potrobangsan Arifudin.
Pembacaan karya-karya Chairil Anwar tersebut di teras kecil berbentuk huruf "L" rumah tinggal Es Wibowo. Gemericik air Kali Kota mewarnai kegiatan yang dikemas secara sederhana, dengan warga mendapat suguhan teh hangat dan berbagai camilan tradisional.
"Ini kesempatan baik, saya boleh membacakan puisi bermakna penting itu, 'Senja di Pelabuhan Kecil'. Acara ini kegiatan yang mulia, melestarikan seni sastra" kata Arifudin yang mengaku awam dalam dunia sastra.
Pada kesempatan itu, Lurah Arifudin iuran getuk (kuliner khas Kota Magelang) dalam dua kemasan tampah kecil, untuk camilan warga setempat sembari menyimak pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar.
Camilan lainnya yang disuguhkan malam itu, antara lain kacang godok, nagasari, pisang rebus, ubi rebus, dan menu makan malam nasi kuning lengkap dengan irisan-irisan telur dadar, sambal kering tempe, abon, serta mentimun.
Sumaryono menyebut hingga usianya yang setua sekarang ini, baru pertama membaca puisi. Ia membacakan sajak "Cintaku Jauh di Pulau" dengan suara lantang dan kosa kata yang jelas di tempat berhiaskan dua gambar Chairil Anwar di kanan dan kirinya berdiri.
"Saya tidak mau ketinggalan. Ini pertama saya baca puisi. Ternyata ada sesuatu di hati. Apalagi tadi Pak Bowo (Es Wibowo, red.) mengatakan Chairil Anwar penyair besar Indonesia," ujar lelaki tua yang sehari-hari menjadi penjaga malam di salah satu gedung kantor di kampung setempat.
Penyair Es Wibowo mengemukakan pentingnya menghidupkan dunia sastra di kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan dengan penduduk sekitar 121 ribu jiwa tersebut.
Barangkali rangkaian peringatan momentum hari jadi kota setempat pada masa mendatang, perlu menghadirkan agenda terkait dengan kegiatan sastra, agar generasi muda setempat memahami dengan baik pentingnya dunia sastra dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam pembangunan karakter bangsa.
"Literasi dan sastra hendaknya terus dihidupkan karena memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat. Bisa dirintis dengan cara-cara sederhana seperti malam ini. Supaya sastra pun tidak menjadi karya yang elitis, tetapi boleh dengan leluasa menyusup ke kampung-kampung," ujar Es Wibowo.