Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, mengungkapkan, jika sudah pada tahap TB MDR, maka penderita harus menjalani masa pengobatan jauh lebih lama yakni 1 hingga 1,5 tahun.
Bahkan, dalam sejumlah kasus, kata dia, penderita TB MDR tidak dapat diobati dengan panduan standar.
"Ini karena resisten Kuinolon (obat TB), Aminoglikosida, efek samping atau alergi kedua obat tersebut atau tidak merespon dua atau lebih obat tersebut," ujar Tjandra di Jakarta, Jumat.
TB MDR sama halnya seperti TB biasa dapat menular dari satu orang ke orang lainnya. Penyakit ini muncul disebabkan kuman Mycobacterium Tuberculosis yang telah kebal obat anti TB (OAT), yakni Rifampisin dan INH.
"Ini akibat pengobatan pasien tidak adekuat dan penularan dari pasien TB MDR," kata Tjandra.
Di Indonesia saja, data hasil laporan global badan kesehatan dunia WHO pada 2013 menunjukkan terdapat 6800 kasus TB MDR. Dari total kasus ini, 5700 di antaranya merupakan kasus baru.
Lebih lanjut menurut dia, selain TB MDR, kasus TB lainnya seperti TB HIV, TB Diabetes Melitus, TB rokok dan TB perempuan juga menjadi penyebab sulitnya TB hilang dari muka bumi.
Tjandra mengatakan, untuk kasus TB HIV saja misalnya, saat ini di dunia terdapat 1,1 juta kasus. Dari jumlah kasus ini, 360 ribu orang di antaranya meninggal.
"Sepertiga dari 35 juta ODHA TB laten. Ini menjadikan risiko mereka menjadi penderita TB aktif menjadi 29 kali juga lebih sering MDR dan XDR (Ekstensively Drug Resistant Tuberculosis)," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, sepertiga penduduk dunia atau sekitar dua miliar orang saat ini menderita TB laten atau sudah terinfeksi kuman TB. Hanya saja kuman ini tak aktif dan akan aktif bila daya tahan tubuh seseorang buruk.
Di samping itu, jutaan kasus TB yang kini masih ditemui juga menyulitkan penanggulangan TB. waktu pengobatan TB yang relatif lama yakni lebih dari enam bulan dan faktor sosi ekonomi, turut menjadi alasan TB belum bisa hilang hingga kini.
"Sosio ekonomi yang buruk kemungkinan meningkatkan kasus TB," pungkas Tjandra.