Regenerasi Lima Gunung dalam "Gatotkaca Wangsa Bumi"
Proses demokrasi menuju pergantian kepemimpinan itu telah dilalui rakyat Indonesia melalui pemilihan langsung pada tanggal 9 Juli 2014, sedangkan hasilnya tinggal menyisakan proses hukum karena satu di antara dua pasangan kandidat mengajukan gugatan atas keputusan komisioner penyelenggara pesta demokrasi.
Dialog dalam pentas wayang dengan lakon "Gatotkaca Wangsa Bumi", antara Petruk, Bagong, dan Gareng yang disajikan dalang, mengisyaratkan pentingnya setiap warga negara menyiapkan diri untuk memasuki perubahan menuju babak baru perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun ke depan.
Tidak disebut oleh dalang muda Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Sih Agung Prasetyo dalam pentas wayang kulit berpadu wayang golek dengan lakon itu di panggung terbuka Studio Mendut, Jumat (15/8) malam, tentang siapa yang bakal menjadi pemimpin Indonesia periode 2014--2019. Apakah pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atau Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Proses persidangan atas gugatan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi tentang Pilpres 2014 masih berlangsung di Jakarta, sedangkan agenda putusan pada tanggal 21 Agustus mendatang.
"'Mula ayo saiki awak e dhewe kabeh, padha wiwit nyiapke ati, mantepke tekad, kanggo ngadhepi jaman perubahan mengko, sing bakal dipandhegani pemimpin anyar'. (Ayo kita semua menyiapkan hati, menguatkan tekad, memantapkan batin, dan menggelorakan semangat untuk memasuki babak baru dengan pemimpin yang baru, red.)," demikian Petruk berbicara kepada Gareng dan Bagong pada akhir babak goro-goro pentas itu.
Hadir pada acara hingga menjelang tengah malam itu, antara lain sutradara Garin Nugroho dan Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Lailly Prihatiningtyas, pegiat Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Cipto Purnomo, dan pegiat komunitas Borobudur "Warung Info Jagat Cleguk" Dimyati.
Pada kunjungan ke Magelang kali ini, Garin dengan diantar budayawan Magelang yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, juga berkesempatan melihat persiapan lokasi Festival Lima Gunung XIII (23--24 Agustus 2014) di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Merbabu.
Pementasan wayang oleh dalang Sih Agung tidak sekadar merespons bakal terjadinya pergantian kepemimpinan nasional, tetapi juga menjadi perayaan syukur para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung atas kelahiran cucu pertama pemimpin tertingginya itu, yang kemudian diberi nama Kinasih Wangsa Bumi.
Makna nama itu pun dibeberkan oleh Sang Dalang sebagai harapan agar bayi laki-laki tersebut kelak menjadi keluarga insan terkasih yang membumi dan menjadi pemimpin masyarakat, bangsa, dan negara.
Ulama muda Komunitas Lima Gunung Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil) dalam pengajiannya mengemukakan betapa kehadiran bayi menjadi kabar kegembiraan bagi kehidupan manusia di dunia.
Ia menyebut kelahiran bayi menjadi tanda bahwa kebaikan akan bisa terus dilanggengkan di muka bumi. Kebaikan menjadi sesuatu yang selalu diperebutkan oleh manusia-manusia dewasa selanjutnya.
"Tidak lain karena kebaikan tidak boleh berhenti barang sedetik pun. Kabar gembira harus dirayakan sekaligus dikabarkan kepada sesama manusia, setidaknya agar manusia selalu memperolah derajat yang mulia dibandingkan makhluk lainnya," katanya malam itu.
Kelahiran bayi, kata Gus Kholil dari Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang itu, menjadi tanda berlangsung estafet kepemimpinan, karena akan tumbuh generasi baru yang bakal melanjutkan perjuangan manusia dalam memperoleh kebaikan dan ketakwaan.
"Regenerasi juga tumbuh dan terjadi di komunitas kami," kata seorang pemimpin Komunitas Lima Gunung dari Gunung Merbabu, Riyadi, setelah pementasan malam itu.
Anak-anak para pegiat komunitas yang tinggal di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang itu, katanya, terus tumbuh menjadi dewasa, menjalani masa-masa pendidikan formal dan informal, bergulat dengan alam dan masyarakat dusun masing-masing untuk menjadi dewasa serta menyongsong masa depan kehidupan yang lebih baik.
Mereka, katanya, bakal melahirkan zaman dan kepemimpinannya yang tentunya berbeda pergulatan, tantangan, dan situasi yang dibangun dan dihadapi para orang tua dan masyarakat dusun masing-masing.
Akan tetapi, kata Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis di kawasan Gunung Merbabu itu, generasi muda Komunitas Lima Gunung telah mendapat sentuhan para orang tua masing-masing yang selama ini membangun semangat persaudaraan dan jalinan kekeluargaan dalam komunitas itu sebagai "sanak kadang" (persaudaraan, red.).
Kisah kepemimpinan baru melalui lakon wayang itu, dimainkan oleh dalang Sih Agung dari Desa Sudimoro, Kecamatan Grabag, bahwa anak Werkudara dengan Arimbi (Kesatriaan Jodipati) yang masih bayi bernama Tetuka diminta oleh Batara Narada untuk diasuh.
Tetuka dimasukkan ke kawah Candradimuka. Dengan berbagai pusaka dari para dewa, Tetuka menjadi dewasa dan mendapat tugas menghadapi pasukan raksasa dipimpin Patih Sekipu dari Kerajaan Gilingwesi yang mengancam khayangan, saat hendak meminang Dewi Supraba untuk rajanya, Kalapracona.
Meskipun masih bayi, Sekipu dengan pasukannya takmampu mengalahkan Tetuka. Sang Patih itu pun dikisahkan Sang Dalang lalu melapor kepada Raja Kalapracona dan selanjutnya mereka meminta maaf kepada para dewa atas perbuatan yang tidak sopan dan meresahkan khayangan. Para dewa kemudian memberi nama Tetuka dengan sebutan Gatotkaca.
"'Mbesok bakale dadi pimpinan kang ngayoni bangsa' (Kelak menjadi pemimpin yang mengayomi rakyat, red.)'," begitu Sang Dalang mengisahkan tentang sosok Gatotkaca dalam pentas durasi padat yang diwarnai dengan humor segarnya karena respons spontan yang tidak berkesudahan dari para penonton selama pementasan.
Berbicara dalam perspektif gunung, Garin melalui kesempatan pidatonya malam itu mengemukakan bahwa akan lahir pemimpin-pemimpin baru sebagaimana kodrat gunung.
Komunitas Lima Gunung dengan keteguhan menggelar secara mandiri pesta seni budayanya secara tahunan dalam nama Festival Lima Gunung selama ini, katanya, juga mengalami regenerasi.
"Bagaimana regenerasi Lima Gunung? Kembali kepada kodrat gunung. Bagi orang kota, gunung meletus sebagai bencana, tetapi bagi orang gunung sebagai siklus hidup. Kaderisasi harus kembali pada siklus hidup. Gunung membawa batu dan abu. Batu yang dikeluarkan dari gunung, itu regenerasi dalam dirinya," katanya.
Melalui pementasan wayang dengan lakon "Gatotkaca Wangsa Bumi" malam itu, Komunitas Lima Gunung memasuki kedalaman "semadi" untuk menguatkan kehendak tentang pentingnya regenerasi.