Kendal (ANTARA) - Budaya literasi di sekolah sering kali berhenti pada rutinitas membaca pagi, lalu menghilang begitu bel masuk berbunyi.
Setelah itu, semangat membaca dan menulis siswa perlahan menurun. Hasil karya mereka jarang mendapat ruang apresiasi yang layak, sehingga kegiatan literasi belum benar-benar menjadi kebutuhan belajar yang bermakna.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, terutama di sekolah yang memiliki keterbatasan sarana. Guru perlu menghadirkan strategi kreatif agar literasi tumbuh secara hidup dan berkelanjutan.
Dari kegelisahan itulah lahir gagasan menghadirkan Tembok Literasi, sebuah ruang publik sederhana di sekolah tempat karya tulis dan visual murid dipajang.
Tembok kosong di depan kelas disulap menjadi galeri kecil yang setiap hari menampilkan hasil karya anak-anak. Setiap coretan, komik, dan tulisan di dinding itu menjadi saksi tumbuhnya semangat membaca, menulis, dan berekspresi di sekolah.
Program ini dijalankan dengan mengintegrasikan metode MIKiR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi, Refleksi) yang diinisiasi oleh Tanoto Foundation. Pendekatan ini membantu murid membangun keterampilan berpikir tingkat tinggi sekaligus memberi pengalaman belajar yang mendalam dan menyenangkan.
Pada tahap Mengalami, murid membaca berbagai sumber ajar tentang cara membuat komik, baik dari buku maupun dari situs digital berbasis kecerdasan buatan. Setelah itu mereka memasuki tahap Interaksi, berdiskusi dalam kelompok kecil untuk membuat skenario cerita, lalu berkolaborasi menggunakan Gemini, ChatGPT, dan Canva dalam menyusun komik digital.
Proses belajar menjadi lebih menarik karena murid dapat berkreasi dan memanfaatkan teknologi dengan tujuan positif.
Karya yang sudah selesai dikomunikasikan di depan kelas untuk mendapatkan umpan balik dari guru dan teman sebaya sebelum akhirnya dipajang di Tembok Literasi.
Momen ini selalu menghadirkan kebanggaan tersendiri bagi anak-anak. Pada tahap Refleksi, murid menuliskan jurnal literasi harian dan melakukan refleksi lisan agar pengalaman belajar benar-benar tertanam dan bermakna.
Perubahan mulai terlihat. Murid menjadi lebih antusias membaca dan menulis karena karya mereka diapresiasi secara terbuka. Kemampuan memahami bacaan meningkat, begitu pula kepercayaan diri mereka dalam mengemukakan ide. Diskusi di kelas menjadi lebih hidup, dan orang tua ikut mendukung karena dapat melihat langsung hasil karya anak-anak yang terpajang di sekolah.
Beberapa ungkapan murid menjadi bukti perubahan itu.
“Jadi suka membaca karena karya ditempel di Tembok Literasi. Rasanya bangga sekali,” tutur Viola, murid kelas 5.
Adit, teman sekelasnya, menambahkan, “Seru baca, diskusi, dan bikin poster pakai Canva. Jadi lebih percaya diri.”
Sementara Naira dari kelas 4 mengungkapkan, “Setiap habis baca jadi ingin membuat komik. Tembok Literasi bikin semangat baca!”
Meski demikian, masih ada hal yang perlu diperbaiki. Beberapa murid memerlukan pendampingan tambahan dalam penggunaan teknologi, dan proses kurasi karya masih dilakukan secara manual. Ke depan, direncanakan pengembangan katalog digital agar dokumentasi karya lebih sistematis serta pelibatan orang tua dalam kegiatan membaca bersama di rumah untuk memperkuat sinergi antara sekolah dan keluarga.
Tembok Literasi membuktikan bahwa ruang belajar tidak selalu harus berada di dalam kelas. Dinding sekolah yang sederhana dapat berubah menjadi wadah penuh makna, tempat anak-anak menumbuhkan kecintaan terhadap literasi sekaligus mengekspresikan gagasannya.
Dari tembok sederhana di sekolah, tumbuh semangat membaca yang hidup dan wajah-wajah kecil yang percaya diri menulis kisahnya sendiri.
#Guru SDN 4 Banyuringin, Kendal

