Solo (ANTARA) - Oleh Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. Psikolog*
Tersiar kabar seorang mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo diduga mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke Sungai Bengawan Solo, kawasan jembatan Jurug pada Selasa (1/7/2025).
Tentu saja peristiwa ini mengundang keprihatinan mendalam, tidak hanya dari kalangan akademisi tetapi juga masyarakat luas. Banyak pihak bertanya-tanya, apa yang mendorong seorang mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan tinggi memilih jalan tragis seperti itu?
Bunuh diri merupakan salah satu isu kesehatan mental paling kompleks dan sensitif yang masih menjadi tantangan besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut data dari World Health Organization (WHO), setiap 40 detik, satu orang di dunia meninggal karena bunuh diri.
Pertanyaannya adalah Mengapa manusia Bunuh Diri. Tulisan ini akan mengekplansikan hal tersebut dari perspektif psikologi sosial.
Tindakan bunuh diri bukan merupakan tindakan atau perilaku spontan dan mendadak, melainkan dari tekanan sosio-emosional yang berkepanjangan.
Secara umum, bunuh diri bukanlah keinginan untuk mati, melainkan keinginan untuk mengakhiri ”rasa sakit” yang dianggap tak tertanggungkan. Bunuh diri seringkali merupakan manifestasi dari kesedihan mendalam, putus asa, atau rasa putus harapan yang mendalam pada diri seseorang yang telah disimpannya dalam waktu yang panjang.
Peristiwa bunuh diri tidak selalu berkaitan dengan masalah gangguan kejiwaan klinis seperti gangguan bipolar manik depresif seperti banyak disebut pada peristiwa bunuh diri mahasiwa UNS tersebut. Tidak sedikit peristiwa bunuh diri yang berberlatar belakang pada masalah-masalah psikososial dan personal yang tidak teruraian dengan baik dan benar.
Individu yang mengalami depresi berat, rasa putus asa yang mendalam, atau perasaan tidak berharga bisa merasakan bahwa hidup ini tidak lagi layak dijalani. Beban akademik, konflik dalam relasi sosial, isolasi emosional, serta tekanan keluarga dapat memperparah pada kondisi mental seseorang.
Dalam banyak kasus bunuh diri, individu tidak mampu mengomunikasikan penderitaannya, dan merasa bahwa tidak ada jalan keluar lain selain mengakhiri hidup. Dalam kebanyakan kasus, bunuh diri adalah peristiwa tunggal, namun sering kali memiliki dampak yang luas bagi banyak orang lain.
Hal ini seperti melempar batu ke dalam kolam; riaknya menyebar. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran akan kesehatan mental dan perlunya sistem dukungan psikososial yang empatik, baik dari lingkungan kampus, keluarga, maupun masyarakat dan komunitas.
Dimensi Psikososial Bundir
Perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekwensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi dan merubah nilai nilai moral etika dan gaya hidup tradisional yang simple sederhana menjadi gaya hidup modern yang kompleks dan meletihkan.
Secara psikologis keletihan ini bisa dituding sebagai faktor pemicu terjadinya tindak bunuh diri. Sebagaimana surat yang ditinggalkan oleh pelaku bunuh diri UNS, dia memilih tindakan bunuh diri karena sudah merasa terlalu letih capek dalam menjalani hidup. Memang tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, yang pada gilirannya ketidakmampuan itu dapat menyebabkan seseorang terjatuh dan terpuruk dalam kenestapaan sosial atau mengalami gangguan penyesuaian diri.
Perubahan tata nilai kehidupan ini sering menjadi pemicu terjadinya mental disaster atau bencana mental. Diantaranya adalah pola hidup masyarakat dari yang semula sosial religius cenderung berubah kearah pola kehidupan yang invidualis materialistis dan sekuler. Gejala ini dapat dilihat melalui berbagai perubahan perilaku masyarakat, seperti menurunnya partisipasi sosial masyarakat, pengabaian terhadap nilai nilai agama, konsumerisme dan gaya hidup hedon.
Pun demikian akibat tingginya kompetisi dan rendahnya empati menyebabkan kehidupan inti keluarga seperti menjadi terkunci atau terisolasi.
Perubahan pola hidup semacam ini berakibat pada meningkatnya stres dan kesepian karena lemahnya hubungan sosial. Juga meningkatnya konflik nilai antar generasi dimana generasi muda cenderung lebih liberal, sedangkan generasi tua masih memegang nilai tradisional.
Selain daripada itu perubahan perubahan ini juga berdampak pada terjadinya krisis identitas dan makna hidup, karena hilangnya ikatan spiritual dan sosial yang kuat. Kesenjangan sosial yang meningkat ini karena masyarakat lebih menilai orang dari kekayaan dan status, bukan dari kontribusi sosial atau moralitas.
Dalam konteks kehidupan sosial Indonesia, dampak dari perubahan sosial yang begitu cepat ini tidak dapat diabaikan. Ketika individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan modern yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan, mereka rentan mengalami tekanan mental yang berat.
Ketika ikatan sosial melemah, empati menurun, dan kehidupan beragama menjadi formalitas tanpa makna spiritual yang mendalam, banyak orang merasa kehilangan arah, kehilangan makna hidup, dan merasa hidupnya tidak lagi bernilai.
Dalam kondisi seperti ini, sebagian individu mengalami apa yang disebut sebagai keputusasaan eksistensial, yang merupakan kondisi di mana seseorang merasa tidak memiliki tujuan atau makna dalam hidup.
Fenomena bunuh diri yang kini semakin sering terjadi, khususnya di kalangan remaja dan mahasiswa, merupakan salah satu ekspresi paling tragis dari bencana mental (mental disaster) yang lahir dari perubahan sosial yang tidak seimbang dengan kesiapan psikologis masyarakat.
Kesenjangan antara harapan sosial dan kenyataan hidup, perasaan tidak diterima, serta kegagalan membangun identitas diri dalam dunia yang serba menuntut dan impersonal, bisa memicu depresi berat, rasa putus asa, dan akhirnya dorongan untuk mengakhiri hidup.
Sayangnya, dalam masyarakat yang makin individualis, sinyal-sinyal krisis psikologis ini sering kali tidak terbaca karena lemahnya dukungan sosial, bahkan dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan teman.
Oleh karena itu, memahami korelasi antara perubahan sosial dengan meningkatnya kasus bunuh diri menjadi penting agar kita dapat membangun kembali sistem sosial yang lebih sehat secara mental, memperkuat solidaritas, dan menanamkan kembali nilai-nilai hidup yang memberi makna, harapan, dan ketahanan psikologis dalam menghadapi tekanan kehidupan modern.
Untuk mengeliminir atau setidaknya menekan angka kejadian bunuh diri agar tidak menjadi trend atau kecenderungan sepintas maka marilah kita melihat permasalahan ini bukan hanya dari sisi individu, tetapi juga dari relasi sosial, lingkungan, dan sistem nilai yang membentuk kehidupan seseorang.
Psikologi sosial menekankan pentingnya interaksi sosial, dukungan sosial, peran kelompok, dan norma-norma sosial dalam membentuk kesehatan mental seseorang. Dukungan dari keluarga, teman, komunitas, dan institusi sosial dapat menjadi pelindung utama dari risiko bunuh diri.
Selain itu membangun konesi dan relasi sosial yang bermakna sangat penting untuk pencegahan bunuh diri. Dalam masyarakat yang terlalu menekankan keberhasilan materi dan prestasi akademik, individu yang gagal sering merasa tak bernilai.
Maka mendorong budaya sosial yang inklusif, yang menghargai keberagaman kemampuan, latar belakang, dan pengalaman hidup sangat perlu di hidup hidupakan dan dimajukan.
Mengembangkan narasi sosial yang mengajarkan bahwa kegagalan bukanlah akhir dan bahwa mencari bantuan adalah tindakan berani dan sehat sangat perlu di promosikan sebagai bagian dari pengembangan gaya hidup sehat.
Mari budayakan hidup sehat karena sehat adalah gaya hidup. ”Untuk siapa pun di luar sana yang terluka, meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan. Itu adalah tanda kekuatan”. SMHWS ((Student Mental Helth Well being Support) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hadir dan ada membantu anda yang sedang terluka.
*Dosen Fakultas Psikologi UMS Solo