Semarang (ANTARA) - Secara etimologis, kurban berasal dari bahasa Arab qarraba–yuqarribu–qurbanan, yang berarti mendekatkan diri. Dalam konteks syariat Islam, kurban berarti menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari Idul Adha dan hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa kurban adalah salah satu bentuk nyata dari ibadah yang menunjukkan kedekatan spiritual manusia kepada Tuhannya. Ia menekankan bahwa makna kurban adalah taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), bukan sekadar menyembelih hewan:
“Sesungguhnya hakikat ibadah Kurban adalah memotong hawa nafsu dan menyembelih rasa cinta terhadap dunia.”
Ghazali juga membandingkan kurban dengan sikap Nabi Ibrahim, bahwa Allah ingin melihat apakah cinta Ibrahim kepada anaknya lebih besar dari cintanya kepada Allah — dan pengorbanan itu menjadi simbol kesempurnaan tauhid.
Kurban juga dikenal sebagai udhiyah, yaitu menyembelih hewan kurban atau ternak (kambing, sapi, unta) yang memenuhi syarat syariat.
Dalam perspektif fiqih Islam, kurban adalah ibadah sunah muakkadah bagi yang mampu, sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Tirmidzi: "Tidak ada suatu amalan yang lebih dicintai Allah dari Bani Adam pada hari nahr (Idul Adha) selain menyembelih hewan."
Sementara dalam aspek sosial, kurban adalah bentuk konkret solidaritas, menumbuhkan empati terhadap sesama, khususnya kaum dhuafa. Pembagian daging kurban menjadi medium untuk mempererat ikatan sosial dan menghadirkan keadilan pangan.
Filosofi Kurban: Ketulusan dan Kepasrahan
Kurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan simbol kepatuhan dan ketulusan seorang hamba kepada Sang Pencipta. Ia adalah ekspresi spiritual untuk melepaskan ego, keserakahan, dan cinta dunia, demi meraih cinta Sang Pencipta.
Ibadah ini juga menjadi ujian keikhlasan: apakah kita bersedia memberikan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan yang lebih besar?
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hajj ayat 37:
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya..."
Imam Qurtubi dalam Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat 37 Surah Al-Hajj (“...tidak akan sampai daging dan darahnya kepada Allah...”) menunjukkan bahwa kurban bukan pada daging atau bentuk lahiriah, melainkan niat dan keikhlasan.
"Allah ingin menguji hamba-Nya dengan kurban, apakah mereka rela melepaskan sesuatu yang mereka cintai (hewan ternak yang berharga) demi perintah-Nya."
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam Zad al-Ma'ad menjelaskan bahwa kurban adalah penyembelihan hewan sebagai simbol penyembelihan sifat-sifat tercela dalam diri manusia:
“Setiap tetes darah yang mengalir dari hewan kurban akan menjadi saksi atas niat dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya... Maka barang siapa yang menyembelih dengan hati yang lalai, tidak akan mendapat bagian apa pun selain dagingnya saja.”
Ibnu Qayyim juga mengaitkan kurban dengan konsep tazkiyatun nafs (pensucian jiwa), karena kurban melatih kita untuk meninggalkan egoisme dan kekikiran.
Dengan kata lain, nilai kurban bukan pada fisik sembelihannya, tapi pada nilai dibalik itu – yakni niat, ketulusan, dan ketakwaan yang mengikutinya.
Sejarah kurban dalam Perspektif Agama-Agama Samawi
Ibadah kurban memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama ini memiliki narasi yang mirip mengenai kisah pengorbanan besar oleh seorang nabi.
Dalam tradisi Yahudi, kisah pengorbanan disebut sebagai "Akedah" (pengikatan), di mana Nabi Ibrahim (Abraham) hendak mengorbankan putranya, Ishak (Isaac), sebagai bukti ketaatan kepada perintah Tuhan. Namun Tuhan menggantikannya dengan domba.
Berbeda dalam tradisi Kristen, kisah ini tetap dihargai sebagai simbol ketaatan Abraham. Namun dalam teologi Kristen, pengorbanan terbesar diyakini adalah penyaliban Yesus Kristus (Isa Almasih) sebagai penebus dosa manusia.
Perspektif Islam menjelaskan bahwa, kisah ini tercantum dalam Al-Qur’an, khususnya QS. As-Saffat ayat 102–107. Islam mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Dengan penuh keikhlasan, keduanya siap menjalankan perintah tersebut, hingga Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk ujian dan rahmat, dan pengorbanan itu menjadi simbol kesempurnaan tauhid.
Manfaat dan Hikmah Ibadah Kurban
Kurban mengandung nilai spiritualitas dan ketakwaan, adalah latihan rohani untuk meningkatkan kualitas iman. Dengan berkurban, seorang Muslim melatih diri untuk ikhlas (istiqamah, konsisten) memberi yang terbaik, seperti Nabi Ibrahim dan Ismail yang menyerahkan dirinya demi perintah Tuhan.
Dalam praktiknya, kurban memiliki nilai keseimbangan sosial dan ekonomi, ini terdeskripsikan pada mekanisme distribusi daging yang adil. Di tengah masyarakat yang masih banyak kekurangan gizi, kurban membantu pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya protein hewani, tentu akan lebih menarik jika dapat kolaborasi dalam Makan Bergizi Gratis (MBG).
Berkurban melatih kita mensyukuri nikmat rezeki dan menumbuhkan semangat berbagi. Ini mendidik hati agar tidak tamak, serta melatih empati kepada sesama.
Membangun Solidaritas Umat melalui momen Idul Adha adalah sarana mempererat ukhuwah Islamiyah. Dari salat Id berjamaah hingga proses penyembelihan dan pembagian daging, semua dilakukan secara kolektif, memperkuat rasa kebersamaan.
Dalam tatanan kehidupan modernitas yang berkecenderungan individualistik dan materialistik, ibadah kurban menjadi pengingat untuk tidak diperbudak oleh harta dan kepentingan pribadi. Ia mengajarkan arti pengorbanan demi kebaikan bersama.
Kurban bukan hanya ritual tahunan, melainkan sebuah pesan moral yang abadi: tentang keikhlasan, ketaatan, dan pengorbanan. Di tengah dunia yang penuh dengan ketimpangan, konflik, dan egoisme, semangat kurban perlu dihidupkan dalam berbagai aspek kehidupan: dalam pekerjaan, keluarga, dan kontribusi sosial.
Semoga kita tidak hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih sifat buruk dalam diri: kesombongan, ego, dan kerakusan. Karena sejatinya, kurban adalah tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih dekat kepada Tuhan.
*Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PWM Jateng