Solo (ANTARA) - Mengusung slogan "The Spirit Van Java", Solo dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa. Beberapa ikon budaya Jawa di kota ini, antara lain, Gedung Wayang Orang Sriwedari dan Taman Budaya Jawa Tengah.
Selain itu, ada pula Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran yang juga mengukuhkan diri sebagai pusat perkembangan budaya Jawa. Bahkan, dua keraton ini masih aktif mengadakan kirab dengan gunungan khas Jawa.
Beberapa kegiatan bertema seni tradisional juga menjadi agenda tahunan di Kota Solo.
Di tengah kentalnya nuansa budaya tradisional tersebut, Solo juga bersolek menjadi lebih modern. Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program unggulan.
Ada 17 program prioritas yang dicanangkan oleh Gibran. Beberapa di antaranya merupakan konsep lama yang disulap menjadi lebih modern, seperti kebun binatang Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) diubah menjadi Solo Safari dan Taman Balekambang yang saat ini dilengkapi dengan berbagai bangunan modern.
Upaya ini merupakan bagian menjadikan Solo lebih modern, namun tidak meninggalkan julukannya sebagai kota budaya.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memang menyiapkan Solo dan Semarang menjadi metropolitan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Dewi Virgiyanti mengatakan ini tidak lepas dari visi Pemerintah terkait pengembangan pusat pertumbuhan, seperti metropolitan.
Dalam hal ini, Semarang dan Solo atau Surakarta dianggap bisa menjadi metropolitan baru menuju kota global dan ekonomi hijau. Untuk menuju metropolitan, bisa dilakukan secara fungsional atau tidak hanya sebatas administrasi.
Oleh karena itu, dua kota tersebut harus segera berbenah untuk mengatasi segala permasalahan, termasuk menyiapkan berbagai kebutuhan menuju metropolitan.
Siapkan yang terbaik
Sebagai orang nomor satu di Kota Solo, Gibran merasa bertanggung jawab untuk memajukan Solo dengan tidak meninggalkan akar budaya. Beberapa sektor yang disiapkan, di antaranya pusat pendidikan, pusat kesehatan, hingga kesiapan transportasi.
"Kami persiapkan yang terbaik," katanya.
Di bidang pendidikan, Pemerintah berupaya menyediakan sekolah dengan fasilitas yang memadai. Selanjutnya, dari sisi kesehatan, perlu pembaruan dan modernisasi sarana prasarana serta alat kesehatan.
Untuk transportasi juga harus terintegrasi, khususnya dengan daerah sekitar dan daerah harus mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.
Gibran berpandangan metropolitan baru bisa terselenggara dengan baik jika terjalin kerja sama dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di sekitar Solo. Kerja sama itu bisa dilakukan dari berbagai sektor, di antaranya transportasi publik, pariwisata, dan penyelenggaraan acara.
Kolaborasi dengan daerah sekitar menjadi salah satu modal utama mengingat Solo tidak bisa sendiri tanpa daerah penyangga. Daerah penyangga Solo, di antaranya Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen.
"Kami harus mengejar juga untuk memperbaiki, merevitalisasi sarana dan prasarana," katanya.
Pemkot Surakarta juga sudah menuangkan konsep kota metropolitan ke dalam Rencana Pembangunan Daerah Jangka Panjang Kota Surakarta Tahun 2024 -- 2044.
Sekretaris Daerah Kota Surakarta Budi Murtono mengatakan dari RPJPD 2024-2044, Solo akan diarahkan sebagai kota penghubung untuk pertumbuhan Jawa Tengah, termasuk cetak biru perkembangan industri di Kota Solo sudah tercantum di situ.
Penguatan Solo Raya
Soal kota metropolitan, pegiat wisata Solo Daryono mengatakan hinterland atau kota penyangga memegang peranan penting. Dengan luasan 46,72 km2 Solo tidak bisa sendiri. Perlu pemahaman dan kerja bersama untuk mencapai metropolitan.
Program tersebut harus menjadi prioritas pemda. Jika tidak menjadi prioritas dan ada pemahaman bersama maka tidak akan mungkin terjadi karena pembangunan berbasis kewilayahan menjadi hal penting.
Ia mencontohkan dari sisi MICE, Solo tidak memiliki gedung pertemuan berkapasitas besar. Bahkan untuk membangun pun, Solo sudah tidak memiliki lahan. Oleh karena itu, perlu dorongan kepada daerah penyangga agar membuat gedung pertemuan berkapasitas besar sebagai pelengkap fasilitas yang ada di Solo.
Selain Pemerintah, pihak swasta juga harus siap dan lebih aktif mengingat jika sebatas menunggu regulasi maka membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bahkan, pelaku usaha harus menjadi garda terdepan dalam menginisiasi investasi.
Dari sisi Pemerintah, dibutuhkan insentif dari pembuat regulasi agar percepatan Solo sebagai metropolitan cepat terealisasi.
"Tanpa regulasi yang cepat oleh Pemerintah, insentif akan sulit," katanya.
Di luar negeri, berbagai daerah memberikan insentif yang menjanjikan. Oleh karena itu, diharapkan ini menjadi perhatian penting bagi pemerintah Indonesia, terutama Kota Solo yang akan segera menjadi metropolitan baru.
Insentif ini bisa dari banyak sisi, mulai dari lahan hingga jaminan kepastian dan perizinan lahan. Tidak jarang investor menghadapi masalah nonteknis seperti warga yang kurang mendukung karena kurang memahami pentingnya investasi.
Untuk mengantisipasi agar investor tidak merasa bergerak sendiri, Pemerintah perlu mendampingi. Selanjutnya, insentif pajak juga diperlukan oleh investor.
"Berat kalau di awal sudah bicara pajak tinggi," katanya.
Dengan demikian, diperlukan tindak politik Pemerintah untuk sama-sama mendukung program tersebut, yakni menyongsong Solo menjadi metropolitan baru.
Dalam hal ini, baik Pemerintah, swasta, maupun masyarakat perlu bersinergi. Meski tidak berhubungan langsung dengan investor, setidaknya dengan sikap kooperatif dari masyarakat akan menjadikan investor lebih tenang dalam berinvestasi.
Investasi tidak hanya berhubungan dengan keuntungan investor, namun juga dari sisi ketersediaan lapangan kerja yang akan menguntungkan masyarakat sekitar.
Editor: Achmad Zaenal M