Jakarta (ANTARA) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menjadi jalan keluar terakhir guna mengatasi persoalan undang-undang yang saat ini menjadi perdebatan seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Opsi kalau memang terpaksa presiden membuat Perppu. Tentunya berdasarkan kegentingan situasi," kata Mahfud MD di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Masyarakat Sipil Anti-Oligarki Banyumas ajukan petisi terkait UU KPK dan RKUHP
Proses pembuatan Perppu tersebut, kata dia, memang diatur dalam Undang-undang Dasar Pasal 22 ayat 1 yang menjabarkan, dalam ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak mengeluarkan Perppu.
"Kalau memang terpaksa pilihannya perppu ya bisa saja, kalau menurut pandangan presiden dalam situasi seperti sekarang ini genting, ya keluarkan perppu," katanya.
Perppu, menurut Mahfud, bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, di zaman kepemimpinan Presiden SBY pun, pemeriksaan pernah mengeluarkannya Perppu bahkan dua hari pascapengesahan undang-undang.
"Tetapi Perppu berisiko, itu bisa pada masa sidang berikutnya ditolak, Perppu itu dibahas oleh DPR, DPR bisa menentukan itu ditolak atau diterima," ucapnya.
Baca juga: KPK berharap berikan masukan terkait dengan revisi UU
Mahfud lebih menyarankan pihak-pihak yang belum puas dengan UU KPK untuk menempuh jalur legislative review sebagai jalan tengah penyelesaiannya.
"Kalau saya sih menyarankan legislative review saja, dan diagendakan dalam prolegnas, untuk dibahas kembali," katanya
Lewat proses tersebut semua pihak bisa kembali memberikan masukan penyempurnaan terkait pasal-pasal yang masih kontroversial.
Legislative review itu, menurut dia, merupakan cara yang paling lembut atau lunak untuk ditempuh, artinya cara yang paling kecil potensi keributannya.
"Jalan tengah ini bisa diprioritaskan pada awal pemerintahan dan DPR yang baru. Tetapi kalau tidak yakin misalnya, waduh sikap DPR seperti itu, maka bisa menempuh cara konstitusional lain, judicial review," ujar Mahfud.