Oleh Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. *)
Suasana memanas menjelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta seolah mendominasi pemberitaan serta analisis di berbagai media "mainstream", khususnya televisi.
Hiruk pikuk menjelang pemilihan kepala daerah itu seolah menenggelamkan 101 wilayah lainnya yang juga akan menggelar pilkada serentak pada tahun 2017.
Entah apakah karena DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau karena faktor ekonomi politik media yang menyadari bahwa 80 persen uang beredar di Jabodetabek, hiruk pikuk menjelang pilkada di DKI Jakarta mendominasi berbagai pemberitaan serta analisis terkait dengan pilkada lainnya.
Sayangnya, ekonomi politik media yang terjadi saat ini tampak sekali mendominasi berbagai sajian media, khususnya televisi yang menamakan dirinya televisi nasional, seolah melupakan kegiatan yang sama di berbagai wilayah lainnya.
Yang perlu dicermati serta dikritisi adalah seolah pemberitaan serta analisis media yang ada saat ini hanyalah antara mendukung petahana dan nonpetahana pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pemberitaan serta analisis media terkait dengan kapasitas, kapabilitas, dan karakter para calon sangatlah minim. Yang lebih menonjol hanyalah siapa mendukung siapa, bahkan kesan yang muncul selanjutnya adalah koalisi atau konspirasi mendukung atau melawan petahana.
Dua kubu yang seolah mengelu-elukan petahana, berhadap-hadapan dengan kubu lainnya, yang seolah asal bukan petahana. Beberapa alternatif figur ataupun kekuatan politik yang lebih ditonjolkan. Namun, menafikan kapasitas, kapabilitas, integritas, bahkan karakter para calonnya.
Pertanyaannya apakah cukup menonjolkan figur tertentu, termasuk petahana, disertai dengan kekuatan pendukungnya kepada pemilih yang cukup cerdas? Sebaliknya, bijaksanakah hanya menyajikan penonjolan figur dengan dukungan politiknya tanpa menjelaskan kapasitas, kapabilitas, karakter, dan integritasnya kepada para calon pemilih yang secara objektif belum cukup cerdas?
Kemampuan dan Karakter
Memilih calon gubernur, wali kota, atau bupati beserta wakilnya yang cerdas sangatlah penting. Namun, yang tidak kalah pentingnya juga adalah memilih figur yang memiliki karakter, serta konsistensi dalam bersikap serta beroperilaku.
Terkait dengan hal itu, Yale mengatakan bahwa selain keahlian (expertness), karakter merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika kita akan memilih seorang calon.
Dalam politik, memang ada prinsip tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Permasalahannya, benarkah kepentingan yang sering dipersonifikasikan sebagai kepentingan rakyat itu benar-benar dilaksanakan?
Bagi petahana, sebenarnya calon pemilih lebih mudah memahami dan merasakan. Tengok saja, misalnya, ketika Jokowi mampu meraup suara di atas 90 persen saat Pemilihan Wali Kota Surakarta periode kedua.
Rakyat Solo ketika itu merasakan bagaimana Jokowi bekerja dan melayani rakyat di berbagai lapisan. Prinsip komunikasi bahwa "hasil kerja berkata lebih nyaring dibanding wacana" terjadi kala itu.
Bila yang terjadi di Solo kita tarik ke DKI Jakarta, tinggal bagaimana para calon pemilih menilai kinerjanya, termasuk karakter dan integritasnya.
Dari sisi opini publik yang di dalamnya selalu mengandung kontroversi, tentu ada yang menilai positif. Namun, ada pula yang melihat kelemahan-kelemahannya. Yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana bisa menyenangkan relatif banyak orang karena secara prinsip tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang.
Bagi petahana, dari sisi komunikasi, yang penting sebenarnya cukup menunjukkan kinerjanya, memantapkan dukungan sebagai syarat bisa maju kembali, serta menjaga karakter, serta hubungan dengan media. Memberikan pernyataan yang mungkin bisa menyakiti pihak lain, termasuk para calon pemilih yang dari hasil survei lebih separuh belum punya pilihan sangatlah kontraproduktif.
Adu Figur
Pilkada DKI memang layak mendominasi pemberitaan serta analisis terkait dengan pilkada. Selain paling dekat dengan poros kekuasaan serta poros ekonomi, menjadikan pilakada DKI Jakarta sebagai barometer bukanlah salah.
Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menjaga muruah pilkada sebagai cermin demokrasi modern yang kita anut sekarang ini dengan baik sehingga hasilnya adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat.
Persaingan antarkandidat serta partai pengusung adalah hal yang lumrah. Kampanye negatif melalui kritik terhadap program para pesaingnya adalah mutlak. Melalui cara itu, rakyat akan makin dicerdaskan dengan program-program aplikatif yang saling mereka kemukakan, kritik, bahkan yang akan mereka perdebatkan di forum yang disediakan KPUD kelak.
Bagi parpol pengusung serta media, sebaiknya sajian yang mereka tampilkan lebih pada bagaimana mencerdaskan rakyat. Memang secara sosiologis, tampaknya naf melepaskan produksi media, baik dari para pekerja media, rutinitas media, organisasi media, ekstramedia, bahkan ideologi, seperti kata Schoemacker dan Reese.
Namun, penyajian yang komprehensif dan seobjektif mungkin dengan memperhatikan fakta, relevansi, netralitas, dan keberimbangan, seperti kata Westersthal, tetap perlu dipertahankan.
Bagi media, menyajikan sesuatu yang masyarakat butuhkan, jauh lebih baik daripada sekadar memberi masyarakat apa yang mereka inginkan. Bagi parpol serta para pendukung lainnya, memenangi pertarungan adalah penting. Namun, memenangi pertarungan dengan menhalalkan segala cara adalah tidak bijaksana.
Bila tujuan pilkada adalah memilih calon pemimpin yang paling layak dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, jalan ke arah tercapainya hal tersebut itu pun haruslah yang layak. Berkaoalisi dengan siapa pun adalah sah. Namun, berkomunikasi secara apik, tanpa harus saling menyakiti jauh lebih bijaksana.
Harapannya pilkada pada tahun 2017 akan menghasilkan para calon kepala dan wakil kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat. Bermain drama dengan melakukan komunikasi dramatisme sangat perlu dilakukan untuk merebut hati rakyat.
Namun, yang perlu diingat adalah menepati janji yang telah mereka serta para pendukungnya dramakan tatkala berkampanye merebut hati para pemilihnya. Keberimbangan antara dramatisasi, janji kampanye, dan penerapannya saat terpilih perlu mereka perhitungkan secara cermat. Dengan harapan, para pemilihnya akan menikmati hasil pilihannya yang saat sosialisasi serta berkampanye seakan telah memberinya angin surgawi.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang