Setelah membiarkan hampir dua tahun harga daging sapi tenang bertengger pada kisaran Rp110.000-Rp120.000/kg, pemerintah akhirnya memutuskan impor daging sapi beku. Daging sapi beku ini mulai menyebar di pasar-pasar dengan harga Rp85.000/kg. Jadi, ada selisih Rp25.000-Rp35.000/kg dengan harga daging sapi lokal.
Kehadiran daging sapi beku ini di Jateng memang belum terlalu terasakan karena peredarannya masih sangat terbatas. Namun, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong jauh hari sudah mempromosikan bahwa daging sapi impor lebih higienis.
Reaksi konsumen saat ini masih memihak daging sapi lokal. Alasannya, daging sapi lokal lebih segar karena dipotong pada pagi hari dan dijual pagi hari itu juga. Akan tetapi, harga murah dan promosi daging beku impor lebih higienis menjadi kekuatan besar untuk memukul daging sapi domestik.
Ada satu hal yang layak ditanyakan soal impor daging sapi beku. Memang ada kekurangan stok daging sehingga harganya dinilai mahal. Namun, kalau impor daging sapi memang ditujukan untuk memaksa turun harga daging sapi lokal, itu sama saja memangkas keuntungan peternak lokal. Sebenarnya dengan harga daging sapi yang sekarang ini sudah cukup ideal bagi peternak karena mereka mendapatkan insentif yang memadai. Insentif itulah yang membuat peternak lokal bergairah menekuni usaha ternak sapi.
Anggota DPRD Jateng Riyono menyebutkan harga jual daging sapi impor Rp80.000-Rp85.000/kg itu tidak realistis. Ia menghitung harga bakalan Rp41.000/kg dan setelah digemukkan membutuhkan biaya hingga Rp100.000/kg. "Jadi tak masuk akal bila harga daging sapi akan dijual di bawah Rp85.000/kg," katanya.
Oleh karena itu, Riyono menolak daging sapi beku impor karena hampir dipastikan bakal menekan posisi peternak sapi lokal.
Kalau melihat pola konsumsi daging masyarakat Indonesia, itu lebih didominasi oleh kelas menengah ke atas yang memang memiliki daya beli kuat.
Data Badan Pusat Statistik 2014 menunjukkan penduduk dengan pengeluaran di bawah Rp150.000/bulan, hanya beli daging Rp1.572/bulan. Pengeluaran terbesar kelompok ini untuk belanja padi-padian yang besarnya Rp45.236/bulan.
Bandingkan dengan kelompok dengan pengeluaran Rp1.000.000/bulan yang belanja daging sebesar Rp38.920/bulan. Kelompok dengan pengeluaran Rp300.000-Rp499.999 hanya belanja daging Rp6.422/bulan.
Data BPS tersebut menunjukkan bahwa selama ini konsumen daging sapi adalah kelompok menengah atas dengan daya beli kuat, sementara itu kelompok di bawah lebih banyak menghabiskan pedapatannya untuk beli karbohidrat.
Melihat komposisi belanja kelompok berpenghasilan rendah, tidak ada jaminan bahwa penurunan harga daging sapi akan otomatis menjadikan mereka mampu membeli daging sapi. Yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana meningkatkan daya beli dengan mendongkrak pendapatan mereka.
Jadi, jika harga daging sapi nantinya turun hingga Rp85.000/kg, pihak yang paling diuntungkan adalah importir daging sapi beku dan konsumen kelas menengah atas yang bisa memperoleh daging sapi dengan harga murah.
Padahal dengan harga lama, mereka tetap bisa beli. Di sisi lain, peternak lokal mendapatkan insentif cukup atas usaha yang digelutinya.
Namun, nasib peternak lokal bisa berubah 180 derajat bila daging beku dengan harga Rp85.000/kg memasuki pasar rakyat di Jateng. Selisih yang begitu lebar dengan harga daging lokal bisa saja membuat konsumen beralih ke daging sapi impor.
Kalau hal demikian yang terjadi, kita khawatir peternak domestik bakal bakal gulung tikar atau alih usaha. Padahal keberadaan mereka sangat penting untuk mewujudkan swasembada daging.
Impor pangan termasuk daging sapi, memang wajar ketika di dalam negeri kekurangan stok. Namun, seyogyanya pemerintah tetap menyelamatkan ratusan ribu peternak lokal dengan memberi insentif yang cukup agar mereka tetap menekuni usahanya.
Untuk apa harga daging murah bila akhirnya peternak lokal gulung tikar?