Semarang (ANTARA) - Tantangan literasi dan numerasi di ruang kelas Indonesia masih menjadi pekerjaan bersama. Guru membutuhkan bahan bacaan yang tidak hanya menarik, tetapi juga memandu kegiatan belajar yang konkret, terukur, dan inklusif bagi seluruh murid.
Menjawab kebutuhan tersebut, sebanyak tiga puluh guru jenjang SD mengikuti Pelatihan Penulisan Bahan Bacaan 3D berbasis QR Code di aula Penerbit Erlangga bulan lalu. Kegiatan ini merupakan bagian dari dukungan proyek literasi numerasi fasilitator daerah (fasda) Tanoto Foundation.
Pelatihan ini berfokus pada pengembangan buku 3D atau buku pop-up yang mengangkat cerita kearifan lokal, diperkaya dengan QR Code berisi audio. Bahan bacaan dirancang agar murid tidak hanya membaca, tetapi juga melihat, menyentuh, dan mendengar, sehingga pemahaman teks, kosakata, serta penalaran bilangan dan pola dapat tumbuh bersama. Format multimodal ini diharapkan membantu guru mengintegrasikan literasi dan numerasi dalam satu alur pembelajaran yang runtut.
Target dari pelatihan tersebut adalah agar para guru mampu menulis dan memproduksi buku 3D yang tidak hanya menarik, tetapi juga ramah bagi anak berkebutuhan khusus karena QR Code akan memunculkan suara. Pelatihan juga menyertakan komponen “Proyek Kecilku”, yakni catatan kecil berisi panduan kegiatan keterampilan atau aksi murid. “Lewat panduan ini, murid diharapkan terampil membuat karya atau melakukan uji coba sesuai instruksi,” tambah Kepala SDN Rejosari 01 sekaligus Bendahara Tim Green Squad Rustantiningsih.
Kegiatan tersebut tidak hanya mendapat dukungan penuh dari Tanoto Foundation, tetapi juga dari mitra lain seperti Penerbit Erlangga. Dukungan yang diberikan tidak hanya penyediaan tempat untuk pelatihan, melainkan juga pendampingan proses editorial hingga kemungkinan pencetakan buku. Kolaborasi ini membuka jalan agar naskah hasil pelatihan memiliki standar editorial yang baik, sekaligus memperbesar peluang adopsi di sekolah.
Konten buku dirancang berangkat dari kearifan lokal Kota Semarang. Cerita menampilkan budaya, ragam kuliner, tempat bersejarah, dan destinasi wisata. Setiap halaman pop-up mengajak murid mengamati bentuk, warna, dan pola, kemudian ditautkan dengan aktivitas numerasi sederhana seperti menghitung, mengelompokkan, atau membandingkan.
Ketika QR Code dipindai, murid mendengar narasi, efek suara, atau instruksi singkat yang memperkuat pemahaman bacaan. Dengan cara ini, kemampuan memahami informasi, menyimpulkan isi cerita, serta mengenali pola bilangan dan satuan ukur dapat dibangun melalui pengalaman yang menyenangkan.
Contoh skenario halaman: satu halaman menampilkan miniatur Pasar Semawis yang terangkat ketika buku dibuka. Murid diminta menebak jumlah lampion, membedakan ukuran gerobak, lalu memindai QR Code untuk mendengarkan penjelasan tentang sejarah pasar dan kosakata baru yang muncul di narasi. Guru dapat menutup sesi dengan “Proyek Kecilku”, misalnya membuat lampion kertas sederhana, menuliskan tiga kosakata baru, serta menyusun tabel kecil berisi jumlah bahan yang dipakai. Alur ini menggabungkan membaca pemahaman, menulis, dan operasi hitung dasar dalam satu rangkaian.
Dari sisi aksesibilitas, rancangan buku 3D memperhatikan aspek keterbacaan huruf, kontras warna, dan elemen taktil. Audio narasi diprioritaskan dalam Bahasa Indonesia yang jelas, dengan opsi penyelarasan kosakata lokal sesuai konteks sekolah. Mekanisme ini diharapkan memberi ruang partisipasi lebih luas bagi murid dengan ragam kebutuhan belajar, sekaligus memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran.
Pelatihan menekankan tiga keluaran utama. Pertama, draf naskah cerita yang memadukan unsur literasi dan numerasi dengan jelas. Kedua, purwarupa pop-up yang fungsional, termasuk penempatan QR Code yang mudah dipindai dan aman bagi anak. Ketiga, paket “Proyek Kecilku” berisi langkah kerja, alat dan bahan, indikator keberhasilan, serta catatan refleksi. Paket ini membantu guru menilai kemajuan murid secara sederhana, misalnya melalui rubrik membaca nyaring, lembar cek urutan cerita, tabel pencatatan jumlah, atau lembar pola.
Proses pendampingan mencakup penyuntingan bahasa, konsistensi istilah, dan validasi instruksional agar bahan bacaan relevan dengan tujuan pembelajaran. Tim pelatih juga mendorong strategi uji coba di kelas melalui siklus kecil: coba pakai, kumpulkan umpan balik murid, perbaiki naskah, dan sempurnakan produk. Dengan begitu, bahan bacaan tidak berhenti sebagai prototipe, melainkan tumbuh menjadi media belajar yang benar-benar digunakan.
Tim Green Squad yang terdiri dari Lia Maylani, Rustantiningsih, Susilo Adi, dan Joko Susanto berharap naskah hasil pelatihan dapat terbit melalui penerbit yang andal lalu dimanfaatkan oleh murid di Semarang maupun luar kota. “Saat ini kami masih berproses ke arah itu. Semoga dukungan yang telah diberikan dapat terjaga sampai pelatihan ditutup dengan penerapan buku bahan bacaan ini pada murid,” kata Kepala SDN Jatisari &
Sekolah Mitra Tanoto Foundation Lia Maylani H.

