Masih terbuka jalan pencarian peradaban desa
Oleh Sutanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu, "Sumpah Tanah" dinilai bagian penting dari manajemen berkah yang terus-menerus hingga saat ini dihidupi masyarakat desa dan gunung, terutama para seniman petani dan pegiat Komunitas Lima Gunung.
Kehidupan mereka sehari-hari bersama angin, tanah, air, api, dan hawa, baik dalam pengertian wadak maupun simbol, sedemikian melekat bagi kesunyataan masyarakat desa. Sejumlah unsur itu pula, bagian penting dari dukungan yang mengalirkan mereka untuk melahirkan tradisi, ritual, kesenian, dan kebudayaan desa.
Bait terakhir puisi "Peradaban Desa" yang dibaca Hudi, penyair dari bawah Gunung Tidar, Kota Magelang, tampak menjadi bagian dari olah manusia desa yang titis serta tangguh menjalani kehidupan bersama semestanya.
"Kubiarkan mataku menatap. Kubiarkan telingaku mendengar. Kubiarkan langkah kakiku menari. Mencoba mencari makna. Dari bunyi, suara, gerak, dan rasa. Yang mengalir dari hidup, kehidupan, dan peradaban desa," begitu bait terakhir puisi karyanya itu yang dibaca saat peringatan Hari Peradaban Desa 2023 di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Minggu (21/5).
Desa saat ini telah disemarakkan olah kehidupan warganya dengan dukungan kebijakan pemerintah melalui aneka modal, seperti program Dana Desa, bantuan sosial, kredit lunak, layanan kesehatan, jangkauan pendidikan, serta segala rupa literasi dan edukasi.
Oleh karena gelontoran program Pemerintah itu, mungkin sekarang sudah nyaris tak ada jalan tanah atau makadam di desa atau kawasan permukiman warga di gunung, karena sudah beraspal atau dicor semen.
Begitu pula lalu lalang warga desa ke pertanian sayuran di gunung masing-masing yang tak lagi berjalan kaki, namun bersepeda motor, meski kebanyakan tidak berpelat nomor polisi, berspion, dan tak merasa perlu berhelm. Dengan karut-marut rupa moda transportasi itu, tetap saja hilir mudik beroperasi mengusung aneka panenan dan rumput untuk ternak dari areal pertanian ke rumah mereka.
Meskipun mendapatkan gelontoran modal program Pemerintah seperti itu, tetap saja naluri manajemen berkah dalam wujud ziarah kubur dan ziarah ulama, pengajian, merti desa, dan reriungan, menjadi jalan kuat mereka mencapai cita rasa hidup komplet, karena menjangkau berbagai-bagai hal kasat mata dan adikodrati.
Kalau komunitas mereka menabuh gamelan untuk mengiringi tarian tradisional desanya, boleh jadi bukan semata-mata pencarian hiburan setelah berletih lelah bekerja di lahan pertanian atau merayakan hasil panenan. Namun, juga untuk menyapa kebaikan alam dan semesta yang memberikan berkah kehidupan desa.
Ketika mereka menjalani tradisi ziarah dan tirakat, bukanlah kiranya semata-mata mengenang jasa pendahulu yang telah membabat desa atau menyerap nasihat-nasihat luhur para ulama yang telah berpulang, atau hendak membulatkan kehendak dan matiraga untuk sesuatu yang hendak dicapai.
Jalan tradisi itu, juga mengingatkan mereka akan falsafah Jawa tentang "sangkan paraning dumadi", ilmu tentang pengetahuan asal muasal manusia dan akan kembali ke mana manusia, sehingga hidup di dunia fana mesti dijalani secara nastiti.
Tampaknya, peringatan Hari Peradaban Desa dibuat komunitas itu bukan untuk umuk atas keelokan desa, akan tetapi memperkuat naluri ugahari agar mampu berkelanjutan membuka jalan pencarian terhadap kelindanan nilai peradaban.