Menurut dia, minimnya alokasi anggaran penanganan stunting di desa selama ini sebenarnya bukan karena kekhawatiran menyalahi aturan melainkan kurangnya pemahaman terhadap permasalahan tersebut.
Ia mengatakan dalam peraturan Gubernur Jawa Tengah sebenarnya juga ada ketentuan penggunaan sebagian dana desa untuk penanganan stunting.
"Yang paham soal itu kan kepala desa yang pastinya berkoordinasi dengan BPD. Kalau BPD enggak paham ya tidak saling mendukung," jelasnya.
Terkait dengan angka prevalensi stunting di Jateng, Suwarno mengatakan pada tahun 2022 tercatat sebesar 20,9 persen dan pada tahun 2023 berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) sebesar 20,8 persen yang berarti dalam satu tahun hanya bisa menurunkan 0,1 persen.
Ia mengaku prihatin karena BKKBN Jateng sudah berusaha melibatkan berbagai pihak termasuk BPD dan kecamatan dalam upaya menurunkan angka prevalensi stunting namun ternyata penurunannya sedikit.
"Berdasarkan analisis saya waktu kami memberikan pelatihan pada tahun 2022, itu dilaksanakan pada bulan November-Desember. Jadi pada bulan November-Desember, Pak Camat baru dikasih orientasi pemahaman tentang itu, termasuk BPD," katanya.
Dengan demikian, kata dia, waktu untuk melakukan aksi percepatan penurunan stunting sangat mepet karena pada bulan Desember sudah harus dilakukan evaluasi.
Oleh karena itu, lanjut dia, dengan diadakannya orientasi bagi BPD diharapkan dalam satu tahun ke depan terjadi penurunan kasus stunting sesuai harapan atau minimal 3,5 persen.
Kendati demikian, dia mengakui untuk bisa mencapai target prevalensi stunting yang sebesar 14 persen pada tahun 2024 sangat berat karena saat sekarang di Jateng masih sebesar 20,8 persen, sehingga dalam satu tahun ke depan harus bisa turun 6 persen.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan komitmen dari atas sampai bawah harus betul-betul dijalankan secara maksimal.
"Komitmennya sudah ada sih, dari gubernur sudah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting sampai di tingkat desa itu ada semua. Cuma cara kerjanya belum begitu maksimal," katanya.
Menurut dia, hal itu diakui oleh penyelenggaraan percepatan penurunan stunting bahwa selama ini kegiatan yang dilakukan lebih terfokus pada advokasi dan sosialisasi, namun aksi pengalokasian anggaran untuk intervensi penurunan seperti pemberian gizi bagi balita stunting masih kecil.
"Padahal anggaran untuk intervensi sangat dibutuhkan, sehingga harus ditingkatkan lagi," tegas Suwarno.