Magelang (ANTARA) - Bima tak menemukan Dewa Ruci di Gunung Gohmuka, sebagaimana dinarasikan oleh para dalang ketika menggelar pementasan pekeliran.
Dalam referensi yang lain, nama gunung tempat pertama satria pewayangan itu mencari Dewa Ruci ditulis Gunung Candramuka, sedangkan sekelompok seniman desa di Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bernama Sanggar Batara, yang dipimpin Sujono, menamai karya tarian rakyat mereka sebagai "Tari Gohmuko".
Namun, Durna, gurunya Bima, berdalih memerintah satria Pandawa itu mencari Dewa Ruci ke Gunung Gohmuka untuk menguji keteguhan pribadinya. Akhir lakon itu, justru di dasar samudralah Bima atau Werkudara menemukan Dewa Ruci. Dalam wujud Bima kecil, ia masuk ke tubuh Dewa Ruci melalui telinga.
Pesan cerita lakon itu, kira-kira tentang fondasi karakter seseorang berada dalam pribadinya sendiri atau tentang suara batin, sedangkan dalam skala lebih luas, barangkali boleh ditarik kepada ihwal tentang kearifan lokal dan kepemilikan kepribadian bangsa. Gunung menjadi salah satu tempat penting untuk perjalanan manusia menemukan jati diri.
Di Gunung Gohmuko, ujar dalang Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sih Agung Prasetyo, Bima menjalani ujian keteguhan dan ketangguhan yang diajarkan Durna. Kiranya cocok nilai karakter manusia itu dialegori dalam kegagahan sosok gunung.
Terlebih, tatkala Gunung Merapi mengalami erupsi sebagaimana pada Sabtu (11/3) siang yang terus berlanjut hingga Senin (13/3), ia bagai sedang menampakkan aura kegagahan tertinggi atas keteguhan dan ketangguhan manusia.
Baca juga: Magelang City govt anticipates impact of Mt Merapi eruption
Erupsi secara berentetan ditandai dengan luncuran awan panas guguran yang dibawa terpaan arah angin barat-barat laut pada hari itu, hingga mengakibatkan hujan abu dalam sebaran skala terluas mencapai Kabupaten Banjarnegara, berjarak 96 kilometer dari Gunung Merapi. Erupsi Merapi pada malam hari terlihat elok karena berupa lava pijar yang meluncur berkali-kali dari puncak gunung.
Wilayah Merapi meliputi Kabupaten Magelang, Klaten, Boyolali (Jawa Tengah) dan Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta). Letusan dahsyat atau besar yang terakhir atas gunung itu, sebagaimana disebut Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, terjadi pada 2010 disusul banjir lahar hujan secara bertubi-tubi selama sekitar setahun di kawasan Merapi.
Material lahar hasil erupsi eksplosif Merapi 2010 yang terbawa banjir memenuhi berbagai alur sungai yang airnya berhulu di Merapi. Aliran material lahar hujan juga menerjang beberapa kawasan pemukiman warga, termasuk salah satu ruas jalan utama Yogyakarta-Semarang di Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Banjir lahar hujan juga melewati lahan pertanian serta infrastruktur publik lainnya.
Dalam peristiwa Merapi 2010 tercatat ratusan kurban meninggal dunia, terutama karena awan panas, ratusan ribu warga mengungsi, dan ratusan rumah rusak. Erupsi pada 26 Oktober 2010 petang hari, mengakibatkan juru kunci Merapi, Raden Ngabehi Surakso Hargo (Mbah Marijan), menjadi salah satu korban meninggal dunia. Tokoh dan legenda Merapi itu tersapu awan panas di tempat tinggalnya, Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Arah luncuran material vulkanik ketika itu lebih intensif ke selatan (sebagian besar di wilayah Kabupaten Sleman), terutama Kali Gendol. Luncuran material tersebut mengakibatkan tempat yang dikenal dengan Gegerboyo berangsur-angsur runtuh. Proses runtuh bukit itu dimulai saat fase erupsi 2006.
Baca juga: Bupati Magelang imbau warga waspada dan jauhi kawasan puncak Merapi
Peristiwa Merapi 2010 menjadi bagian penting pelajaran berharga generasi masyarakat hingga saat ini dan bagian kekayaan pengalaman bersama atas erupsi-erupsi gunung berapi tergolong teraktif di dunia itu, sejak masa atau abad lampau.
Setelah 2010 hingga sebelum 11 Maret 2023, bukan berarti Merapi tidak mengalami erupsi. Aktivitas vulkanik gunung tersebut tetap tercatat BPPTK sebagai bahan kajian penting, mitigasi bencana Merapi, dan pengalaman penglihatan langsung masyarakat kawasannya yang bermakna.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam berbagai kesempatan mengingatkan warga memperhatikan perkembangan aktivitas vulkanik Merapi berdasarkan informasi saintifik terkini BPPTKG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan "ngelmu titen" (kearifan lokal) yang tetap hidup dalam masyarakat kawasan.
Pentingnya memperhatikan tanda-tanda yang saintifik maupun ngelmu titen untuk meminimalkan risiko bencana, mencegah jatuhnya korban, dan memutuskan secara arif serta bijaksana hidup bersama dengan alam Merapi.
Masyarakat di berbagai kawasan desa sekitar Merapi hingga saat ini masih tetap memperhatikan kearifan lokal dalam menyikapi gunung tersebut, terutama kewaspadaan dan sikap tenang yang berkelindan ketika gunung itu menghadirkan tanda-tanda erupsi.
Baca juga: Petugas bersihkan lingkungan sekolah terdampak hujan abu Merapi
Seorang warga Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Ismanto melihat sejumlah burung terbang di kawasan Merapi tatkala gunung itu erupsi, Sabtu (11/3). Ia mengirimkan foto burung terbang itu ke grup percakapan dengan kawan-kawannya. Seorang warga lainnya di Desa Ngargomulyo, Sibang, bertutur bahwa warga setempat berjaga-jaga antara lain dengan lebih rajin memandang kondisi puncak gunung dan memperhatikan arah angin, sembari tetap beraktivitas di areal pertaniannya.
Aktivitas warga setempat di salah satu desa di Kecamatan Srumbung juga disampaikan Muslim, bahwa masyarakat tetap beraktivitas seperti hari biasa, namun selalu waspada ketika situasi bersamaan waktunya dengan erupsi Merapi.
Kepala BPPTKG Agus Budi Santoso mengatakan saat ini di puncak Merapi bertengger kubah lava di barat daya 1.598.700 meter kubik dan bagian tengah kawah 2.267.400 meter kubik. Erupsi pada Sabtu (11/3) bersumber dari longsoran kubah lava barat daya, berupa awan panas guguran dengan jarak terjauh empat kilometer ke alur Kali Bebeng dan Krasak. Belum diketahui secara pasti jumlah material yang turun dalam erupsi akhir pekan lalu itu.
Tiupan angin ke arah barat laut-utara membuat hujan abu, terutama turun di wilayah Magelang atau barat daya puncak gunung itu.
Baca juga: Kabupaten Magelang terdampak hujan abu Merapi
Potensi bahaya guguran lava dan awan panas di sektor selatan-barat daya meliputi Kali Boyong sejauk maksimal lima kilometer, Kali Bedok, Krasak, Bebeng tujuh kilometer, sektor tenggara Kali Woro tiga kilometer dan Kali Gendol lima kilometer.
BPPTKG nampaknya belum memberikan informasi secara detail tentang kondisi terkini bukaan kawah Merapi yang mengarah ke Kali Gendol, yang sejak letusan dahsyat 2010 menjadi "jalur tol" untuk luncuran material erupsi.
Hingga Minggu (12/3), pukul 15.30 WIB, BPPTK mencatat 54 kejadian awan panas guguran mengarah ke barat daya. Berbagai indikator pengamatan dan analisis instansi tersebut belum menjadi petunjuk mengubah status aktivitas Siaga Merapi, sejak November 2020. Status aktivitas vulkanik gunung berapi meliputi Normal, Waspada, Siaga, dan Awas. Wilayah rawan bencana erupsi Merapi ditetapkan tujuh kilometer dari puncaknya.
Pihak Pemkab Magelang dan Pemkot Magelang nampak sigap dan meningkatkan kesiapsiagaan menangani dampak hujan abu pada Sabtu (11/3). Begitu pula peningkatan kesiagaan dilakukan Pemkab Klaten dan Sleman. Aparat gabungan Pemkot Magelang misalnya, melakukan penyemprotan air ke jalan-jalan utama kota untuk menyingkirkan abu vulkanik selama Sabtu (11/3) dan Minggu (12/3).
Baca juga: Siswa SDN 2 Tlogolele tetap laksanakan kegiatan belajar mengajar pascahujan abu
Hasil pemantauan secara manual maupun menggunakan perangkat BPPTK, aktivitas seismik dan deformasi yang tinggi menunjukkan aktivitas magma masih berlangsung dan akan berlanjut. Belum lagi, temuan pergerakan inflasi di sektor barat laut puncak Merapi yang harus diwaspadai perkembangannya.
Meskipun jarak terdekat pemukiman warga dengan puncak Merapi sekitar delapan kilometer masih dinilai relatif aman dari dampak erupsi, kewaspadaan terutama di kawasan barat daya tetaplah penting mendapatkan perhatian masyarakat. Demikian pula dengan peningkatan kesiapsiagaan pihak pemerintah daerah di kawasan itu, untuk tanggap bencana.
Pada 1986, tayang film remaja "Merpati Tak Pernah Ingkar Janji" (1986) dengan sutradara Wim Umboh. Bintang utama film tersebut, Paramitha Rusady dan Adi Bing Slamet. Film itu terinspirasi novel dengan judul sama, karya Mira Widjaja (Mira W.) yang terbit pertama pada 1984.
Judul itu nampaknya dipelesetkan masyarakat ketika harus menghadapi masa-masa erupsi setelah 1986, menjadi "Merapi Tak Pernah Ingkar Janji", karena kesetiaan gunung mereka menunjukkan ketangguhan memenuhi janji erupsi. Secara fonetik terasa enak untuk mereka hingga saat ini menyebut demikian tatkala menghadapi peristiwa erupsi Merapi.
Oleh karena Merapi selalu menepati janji erupsi, sudah wajar masyarakat kawasan itu setia menghidupi karakter keteguhan dan ketangguhan siaga atas erupsinya.
Baca juga: Petugas bersihkan lingkungan sekolah terdampak hujan abu Merapi
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merapi tepati janji erupsi