Satu pasal masuk UUD bakal sentuh kebutuhan konstitusional
Bila tidak ada pasal pemberhentian terhadap Presiden terkait dengan pasal PPHN, akan percuma.
Semarang (ANTARA) - Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945 bakal menyentuh kebutuhan konstitusional lainnya meski hanya satu pasal mengenai kewenangan MPR RI untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Begitu pasal ini masuk, ada kebutuhan untuk mengubah pasal lain untuk melihat UUD sebagai satu sistem.
Sebelum UUD 1945 diamendemen sampai keempat kali (mulai 1999 hingga 2002), Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
Jika Presiden tidak menjalankan GBHN, DPR dapat mengundang MPR untuk mengadakan sidang istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban Presiden.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: UUD 1945 sebagai refleksi bernegara Bangsa Indonesia
Kalau tidak bisa bertanggung jawab atau tidak mampu mempertanggungjawabkan mengenai pelaksanaan GBHN, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR.
Apabila ketentuan pemberhentian itu ada dalam amendemen kelima UUD NRI Tahun 1945 sebagai konsekuensi tidak melaksanakan PPHN, bakal mengubah sejumlah pasal, misalnya Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C.
Ketiga pasal terkait dengan Mahkamah Konstitusi ini merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 1999.
Pada tahun 1960—1967, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu merupakan pidato-pidato presiden pertama RI Soekarno yang di-transform ke dalam ketetapan MPR.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan H.M. Soeharto, apa yang dibuat oleh presiden ke-2 RI melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) itu direncanakan sedemikian rupa, kemudian dibawa ke MPR, lalu diputuskan MPR. Artinya, perencanaan pembangunan itu dibuat oleh eksekutif atau Presiden.
Pada pemerintahan sekarang, PPHN yang merupakan transformasi dari GBHN ini yang membuat MPR. Jika tidak melibatkan Presiden dalam penyusunan PPHN, sebagaimana kata Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013—2015 Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., akan menjadi masalah dalam implementasinya.
Pada zaman dahulu, GBHN itu disiapkan sedemikian rupa oleh Pemerintah. Di sisi lain, GBHN terkait dengan sistem pemerintah secara keseluruhan.
Sistem pemerintahan pada masa itu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR membuat sketch design (desain sketsa) besar haluan negara, kemudian Presiden selaku mandataris MPR harus melaksanakan GBHN.
Begitu pula, pasal mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara ini masuk dalam UUD, juga ada keharusan Presiden melaksanakan PPHN. Bila tidak ada pasal pemberhentian terhadap Presiden terkait dengan pasal ini, akan percuma.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD
Sebelum UUD 1945 diamendemen sampai keempat kali (mulai 1999 hingga 2002), Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
Jika Presiden tidak menjalankan GBHN, DPR dapat mengundang MPR untuk mengadakan sidang istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban Presiden.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: UUD 1945 sebagai refleksi bernegara Bangsa Indonesia
Kalau tidak bisa bertanggung jawab atau tidak mampu mempertanggungjawabkan mengenai pelaksanaan GBHN, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR.
Apabila ketentuan pemberhentian itu ada dalam amendemen kelima UUD NRI Tahun 1945 sebagai konsekuensi tidak melaksanakan PPHN, bakal mengubah sejumlah pasal, misalnya Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C.
Ketiga pasal terkait dengan Mahkamah Konstitusi ini merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 1999.
Pada tahun 1960—1967, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu merupakan pidato-pidato presiden pertama RI Soekarno yang di-transform ke dalam ketetapan MPR.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan H.M. Soeharto, apa yang dibuat oleh presiden ke-2 RI melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) itu direncanakan sedemikian rupa, kemudian dibawa ke MPR, lalu diputuskan MPR. Artinya, perencanaan pembangunan itu dibuat oleh eksekutif atau Presiden.
Pada pemerintahan sekarang, PPHN yang merupakan transformasi dari GBHN ini yang membuat MPR. Jika tidak melibatkan Presiden dalam penyusunan PPHN, sebagaimana kata Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013—2015 Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., akan menjadi masalah dalam implementasinya.
Pada zaman dahulu, GBHN itu disiapkan sedemikian rupa oleh Pemerintah. Di sisi lain, GBHN terkait dengan sistem pemerintah secara keseluruhan.
Sistem pemerintahan pada masa itu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR membuat sketch design (desain sketsa) besar haluan negara, kemudian Presiden selaku mandataris MPR harus melaksanakan GBHN.
Begitu pula, pasal mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara ini masuk dalam UUD, juga ada keharusan Presiden melaksanakan PPHN. Bila tidak ada pasal pemberhentian terhadap Presiden terkait dengan pasal ini, akan percuma.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD