Semarang (ANTARA) - Dirasakan atau tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia, di tengah pandemik Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) terjadi perubahan tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan bernegara.
Sejumlah warga yang biasanya melakukan konvoi di jalan protokol pada malam takbiran, nyaris pada Idulfitri 1441 Hijriah tidak terdengar lagi suara beduk bertalu-talu mengiringi takbiran. Kalaupun ada yang bertakbiran di jalan raya, polisi melarang mereka.
Walau demikian, gema takbir masih terdengar di sejumlah masjid atau musala meski tidak semarak pada hari raya tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah tetap membolehkan umat Islam bertakbiran di masjid/musala asal peserta takbir jumlahnya terbatas serta memperhatikan protokol keselamatan COVID-19.
Baca juga: Presiden tegaskan pemerintah tak larang warga ibadah selama pandemi
Bagi masyarakat yang berada di zona merah, mereka tidak bisa melaksanakan salat Id di masjid maupun di lapangan karena ada larangan. Bahkan, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) memutuskan keharaman sunah dua rakaat pada Idulfitri, 1 Syawal 1441 Hijriah, di masjid maupun lapangan yang daerahnya termasuk zona merah. Mereka pun salat berjemaah di rumah masing-masing.
Agar tidak menjadi bahan polemik berkepanjangan, tampaknya perlu memberi pemahaman kepada semua umat beragama di Tanah Air bahwa Pemerintah tidak melarang mereka mendatangi tempat ibadahnya masing-masing. Umat Islam di masjid/musala, umat Kristen Katolik/Kristen Protestan di gereja, umat Hindu di pura, umat Buddha di vihara, dan Konghucu di kelenteng. Pemerintah hanya mencegah terjadinya kerumunan orang di suatu tempat yang berpotensi penularan virus corona. Itu saja.
Wabah ini juga mengubah kebiasaan para pejabat. Mereka yang biasa menyelenggarakan gelar griya (open house) secara langsung dengan masyarakat usai salat Id, pada Lebaran tahun ini mereka meniadakannya. Sebagai gantinya, mereka (termasuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo) melakukan gelar griya secara daring guna mengantisipasi meluasnya penyebaran COVID-19.
Secara langsung maupun tidak langsung, pandemik COVID-19 ini mengubah kebiasaan masyarakat sekaligus melahirkan peradaban baru yang mendapat dukungan teknologi informasi (TI). Meski ada pembatasan aktivitas masyarakat, mereka mampu mengatasinya dengan teknologi yang makin canggih dan memenuhi ekspektasinya.
Tidak menutup kemungkinan, pascapandemik COVID-19 bakal melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi semua pihak. Misalnya: tidak perlu mudik, cukup video call atau pesan melalui media sosial; bekerja dari rumah atau work from home (WFH); guru bisa memberi tambahan pelajaran via daring; rapat cukup mengandalkan aplikasi video konferensi, seperti Zoom.
Peradaban baru ini bakal melahirkan penghematan, mulai pemakaian listrik di kantor/sekolah, bahan bakar minyak (BBM), biaya transportasi, hingga kudapan untuk peserta rapat. Kendati demikian, plus minus peradaban baru ini juga perlu diantisipasi sedini mungkin agar tidak terjadi gejolak sosial di tengah masyarakat di kemudian hari.
Baca juga: Runtuhkan ego agar pandemi jadi jalan kehidupan normal baru
Baca juga: Melepas "jebakan" krisis pangan dampak pandemi COVID-19