Tim Transisi Donald Trump Amburadul, Jared Si Menantu Terlalu Berkuasa
Washington, Antara Jateng - Pemerintahan transisi Presiden terpilih Donald J. Trump dinilai amburadul alias kacau balau, yang ditandai dengan rangkaian pemecatan orang-orang terdekatnya, percekcokan antar-faksi dan bingungnya para pemimpin dunia bagaimana harus menghubungi sang presiden terpilih di Trump Tower.
Seminggu setelah dinyatakan memenangi Pemilu, tim transisi Trump malah melakukan improvisasi terhadap tradisi paling mendasar di AS menjelang seorang presiden terpilih resmi berkuasa. Salah satu improvisasi itu adalah bekerja tanpa arahan Departemen Luar Negeri mengenai bagaimana harus berbicara dengan para pemimpin negara asing.
Dua pejabat yang menangani keamanan nasional masa transisi, bekas anggota DPR Mike Rogers dari Republik daerah pemilihan Michigan dan Matthew Freedman, pelobi yang menjadi penghubung pihak korporasi dengan pemerintah asing, telah dipecat Trump. Banyak yang mengatakan pemecatan ini diorkestrai oleh Jared Kushner, menantu Donald Trump yang juga penasihat utamanya.
Jumat pekan lalu Trump mencampakkan Gubernur New Jersey Chris Christie dari ketua tim transisi untuk digantikan oleh Wakil Presiden terpilih Mike Pence.
Kushner, menurut seorang pejabat transisi, secara sistematis menendang orang-orang seperti Rogers karena dekat dengan Christie. Sewaktu menjadi jaksa, Christie pernah mengirimkan ayahanda Kushner ke penjara.
Para pemimpin dunia juga kebingungan bagaimana harus menghubungi Trump di Trump Tower. Mulai dari Perdana Menteri Inggris Theresa May, sampai Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi yang menjadi orang pertama yang berhasil menghubungi Trump, disusul Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan banyak lagi.
Kendati kacau balau, Donald Trump berkilah masa transisi berjalan mulus dengan menyebut masa ini sebagai "Proses yang sangat terorganisasi'. "Saya adalah orang satu-satunya yang tahu siapa yang menjadi finalis!", tegas Trump.
Menurut orang dalam pada tim transisi, salah satu alasan Rogers ditendang adalah ketika menjadi ketua Komite Intelijen DPR yang menyelidiki serangan teroris ke kompleks diplomatik AS di Benghazi, Libya, pada 2012, Rogers menyimpulkan pemerintahan Barack Obama tidak berniat menyembunyikan peristiwa itu dari publik. Kesimpulan ini berseberangan dengan posisi Trump yang berulang kali menyalahkan Hillary Clinton yang menjadi menteri luar negeri sewaktu serangan Benghazi itu.
Eliot A. Cohen, bekas pejabat Departemen Luar Negeri yang pernah mengkritik Trump selama kampanye namun menyatakan bersedia menjadi penasihat luar negeri Trump, berubah pandangan karena menilai tim transisi Trump itu berisi orang-orang arogan.
Cohen, seorang Republiken konservatif yang pernah bertugas di bawah Presiden George W. Bush, pernah dicela tim transisi Trump karena mengajukan beberapa nama untuk mengabdi kepada pemerintahan Trump. Namun Cohen mengajukan syarat bahwa orang-orang yang diajukannya ini harus dipimpin oleh atasan-atasan yang kredibel.
"Mereka menggampangkan pekerjaan-pekerjaan ini," kata Cohen seperti dikutip Washington Post.
Lain lagi dengan Senator John McCain, Republiken dari Arizona dan Ketua Komite Angkatan Bersenjata Senat, yang pernah mendesak Trump untuk tidak mempercayai Presiden Rusia Vladimir V. Putin.
"Terakhir kali pemerintahan Obama melunak kepada Rusia justru berujung pada invasi Putin ke Ukraina dan intervensi militer di Timur Tengah," kata McCain.
Trump menulikan diri dari kritik dan jalan terus. Menurut New York Times, Trump dan Jared Kushner berusaha mengisi kabinet dengan orang-orang yang sangat loyal kepada Trump, bukan dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan kapasitas.
Salah satu yang dilakukan Trump adalah mengangkat Frank Gaffney sebagai salah seorang anggota tim penasihat keamanan nasionalnya. Padahal, Gaffney yang mantan pejabat di bawah pemerintahan Ronald Reagan dan pendiri Center for Security Policy disebut Southern Poverty Law Center sebagai "salah satu pembenci Islam paling berbahaya di Amerika."
Tim transisi Trump memang benar-benar jalan sendiri, tanpa pernah meminta rekomendasi dari kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga resmi pemerintah AS. Bahkan, mengutip Washington Post, Kejaksaan Agung dan Departemen Pertahanan sampai detik ini tidak dikontak oleh tim presiden terpilih itu.
Seminggu setelah dinyatakan memenangi Pemilu, tim transisi Trump malah melakukan improvisasi terhadap tradisi paling mendasar di AS menjelang seorang presiden terpilih resmi berkuasa. Salah satu improvisasi itu adalah bekerja tanpa arahan Departemen Luar Negeri mengenai bagaimana harus berbicara dengan para pemimpin negara asing.
Dua pejabat yang menangani keamanan nasional masa transisi, bekas anggota DPR Mike Rogers dari Republik daerah pemilihan Michigan dan Matthew Freedman, pelobi yang menjadi penghubung pihak korporasi dengan pemerintah asing, telah dipecat Trump. Banyak yang mengatakan pemecatan ini diorkestrai oleh Jared Kushner, menantu Donald Trump yang juga penasihat utamanya.
Jumat pekan lalu Trump mencampakkan Gubernur New Jersey Chris Christie dari ketua tim transisi untuk digantikan oleh Wakil Presiden terpilih Mike Pence.
Kushner, menurut seorang pejabat transisi, secara sistematis menendang orang-orang seperti Rogers karena dekat dengan Christie. Sewaktu menjadi jaksa, Christie pernah mengirimkan ayahanda Kushner ke penjara.
Para pemimpin dunia juga kebingungan bagaimana harus menghubungi Trump di Trump Tower. Mulai dari Perdana Menteri Inggris Theresa May, sampai Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi yang menjadi orang pertama yang berhasil menghubungi Trump, disusul Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan banyak lagi.
Kendati kacau balau, Donald Trump berkilah masa transisi berjalan mulus dengan menyebut masa ini sebagai "Proses yang sangat terorganisasi'. "Saya adalah orang satu-satunya yang tahu siapa yang menjadi finalis!", tegas Trump.
Menurut orang dalam pada tim transisi, salah satu alasan Rogers ditendang adalah ketika menjadi ketua Komite Intelijen DPR yang menyelidiki serangan teroris ke kompleks diplomatik AS di Benghazi, Libya, pada 2012, Rogers menyimpulkan pemerintahan Barack Obama tidak berniat menyembunyikan peristiwa itu dari publik. Kesimpulan ini berseberangan dengan posisi Trump yang berulang kali menyalahkan Hillary Clinton yang menjadi menteri luar negeri sewaktu serangan Benghazi itu.
Eliot A. Cohen, bekas pejabat Departemen Luar Negeri yang pernah mengkritik Trump selama kampanye namun menyatakan bersedia menjadi penasihat luar negeri Trump, berubah pandangan karena menilai tim transisi Trump itu berisi orang-orang arogan.
Cohen, seorang Republiken konservatif yang pernah bertugas di bawah Presiden George W. Bush, pernah dicela tim transisi Trump karena mengajukan beberapa nama untuk mengabdi kepada pemerintahan Trump. Namun Cohen mengajukan syarat bahwa orang-orang yang diajukannya ini harus dipimpin oleh atasan-atasan yang kredibel.
"Mereka menggampangkan pekerjaan-pekerjaan ini," kata Cohen seperti dikutip Washington Post.
Lain lagi dengan Senator John McCain, Republiken dari Arizona dan Ketua Komite Angkatan Bersenjata Senat, yang pernah mendesak Trump untuk tidak mempercayai Presiden Rusia Vladimir V. Putin.
"Terakhir kali pemerintahan Obama melunak kepada Rusia justru berujung pada invasi Putin ke Ukraina dan intervensi militer di Timur Tengah," kata McCain.
Trump menulikan diri dari kritik dan jalan terus. Menurut New York Times, Trump dan Jared Kushner berusaha mengisi kabinet dengan orang-orang yang sangat loyal kepada Trump, bukan dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan kapasitas.
Salah satu yang dilakukan Trump adalah mengangkat Frank Gaffney sebagai salah seorang anggota tim penasihat keamanan nasionalnya. Padahal, Gaffney yang mantan pejabat di bawah pemerintahan Ronald Reagan dan pendiri Center for Security Policy disebut Southern Poverty Law Center sebagai "salah satu pembenci Islam paling berbahaya di Amerika."
Tim transisi Trump memang benar-benar jalan sendiri, tanpa pernah meminta rekomendasi dari kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga resmi pemerintah AS. Bahkan, mengutip Washington Post, Kejaksaan Agung dan Departemen Pertahanan sampai detik ini tidak dikontak oleh tim presiden terpilih itu.