Menteri Susi dan Nelayan Perlu Cari Titik Temu
Protes nelayan pengguna alat tangkap cantrang hingga hari ini belum reda. Mereka tetap menuntut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mencabut larangan penggunaan alat tangkap ini yang menurut rencana diberlakukan mulai akhir Desember 2016.
Nelayan pengguna cantrang menilai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik bakal memiskinkan mereka.
"Peraturan tersebut harus dicabut karena menyengsarakan nelayan seluruh Indonesia," protes Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pati, Rasmijan, dalam unjuk rasa akhir pada Maret 2016.
Sebaliknya, Menteri Susi melihat penggunaan cantrang bakal mengganggu kelestarian sumber daya laut sehingga nelayan generasi mendatang bakal kesulitan menggantungkan hidup dari kekayaan laut nasional.
Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan sulit mencari titik temu. Pemerintah hanya sedikit melunak dengan menunda pemberlakuan dari akhir 2015 menjadi akhir 2016. Namun, solusi sementara ini ditolak nelayan cantrang.
Beleid Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut bukan saja bikin nelayan pemilik cantrang berang. Kepala daerah yang memiliki wilayah pantai juga mendapat tekanan untuk menolak kebijakan tersebut.
Jumlah nelayan Jateng pengguna cantrang atau pukat hela/tarik memang banyak. Dari 10.758 nelayan di Jateng, pada 2015 tercatat 1.248 nelayan memakai cantrang.
Kekhawatiran nelayan pengguna cantrang bisa dimaklumi karena mereka sudah puluhan tahun memanfaatkan alat tangkap yang diakui efektif dan efisien. Namun, Menteri Susi punya argumentasi kuat bahwa kebijakan itu demi menyelamatkan sumber daya laut di masa mendatang.
Sejauh ini titik temu kedua pihak belum tercapai. Oleh karena itu, kita mengapresiasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang berjanji mengajak sejumlah bupati/wali kota di wilayah pantai utara Jateng bertemu langsung dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti guna mencari solusi terkait pelarangan cantrang.
Kita berharap segera ada titik temu. Karena persoalan tersebut berada di dua kutup yang berseberangan, kiranya kedua pihak bersedia melakukan kompromi. Yang paling mungkin dilakukan, antara lain, menunda kembali pemberlakuan penggunaan alat tangkap cantrang untuk 2-4 tahun mendatang.
Betapa pun, nelayan juga membutuhkan adaptasi, agar usahanya tetap berjalan. Di pihak nelayan, mereka juga harus menyadari bahwa kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan memang untuk menjamin tetap tersedianya sumber daya laut (ikan) yang lestari.
Bukankah kebijakan tersebut juga demi masa depan anak cucu nelayan itu sendiri? ***
Nelayan pengguna cantrang menilai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik bakal memiskinkan mereka.
"Peraturan tersebut harus dicabut karena menyengsarakan nelayan seluruh Indonesia," protes Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pati, Rasmijan, dalam unjuk rasa akhir pada Maret 2016.
Sebaliknya, Menteri Susi melihat penggunaan cantrang bakal mengganggu kelestarian sumber daya laut sehingga nelayan generasi mendatang bakal kesulitan menggantungkan hidup dari kekayaan laut nasional.
Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan sulit mencari titik temu. Pemerintah hanya sedikit melunak dengan menunda pemberlakuan dari akhir 2015 menjadi akhir 2016. Namun, solusi sementara ini ditolak nelayan cantrang.
Beleid Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut bukan saja bikin nelayan pemilik cantrang berang. Kepala daerah yang memiliki wilayah pantai juga mendapat tekanan untuk menolak kebijakan tersebut.
Jumlah nelayan Jateng pengguna cantrang atau pukat hela/tarik memang banyak. Dari 10.758 nelayan di Jateng, pada 2015 tercatat 1.248 nelayan memakai cantrang.
Kekhawatiran nelayan pengguna cantrang bisa dimaklumi karena mereka sudah puluhan tahun memanfaatkan alat tangkap yang diakui efektif dan efisien. Namun, Menteri Susi punya argumentasi kuat bahwa kebijakan itu demi menyelamatkan sumber daya laut di masa mendatang.
Sejauh ini titik temu kedua pihak belum tercapai. Oleh karena itu, kita mengapresiasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang berjanji mengajak sejumlah bupati/wali kota di wilayah pantai utara Jateng bertemu langsung dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti guna mencari solusi terkait pelarangan cantrang.
Kita berharap segera ada titik temu. Karena persoalan tersebut berada di dua kutup yang berseberangan, kiranya kedua pihak bersedia melakukan kompromi. Yang paling mungkin dilakukan, antara lain, menunda kembali pemberlakuan penggunaan alat tangkap cantrang untuk 2-4 tahun mendatang.
Betapa pun, nelayan juga membutuhkan adaptasi, agar usahanya tetap berjalan. Di pihak nelayan, mereka juga harus menyadari bahwa kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan memang untuk menjamin tetap tersedianya sumber daya laut (ikan) yang lestari.
Bukankah kebijakan tersebut juga demi masa depan anak cucu nelayan itu sendiri? ***