Aktivitas belajar mengajar mereka tidak di kelas. Para siswa bersama pendamping langsung turun ke lahan pertanian yang dikelola untuk latihan bercocok tanam aneka sayuran, membuat pupuk organik, beternak kambing, memproses pakan ternak, membudidayakan ikan, dan mengelola saluran pengairan.
Pelajaran "Sekolah Sawah" pada hari biasa dijalani siswa kelas III-VI SD Prontakan, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, itu setiap Jumat, mulai pukul 07.00-11.00 WIB. Total 44 siswa wajib ikut program yang dirintis mulai Tahun Ajaran 2012/2013 oleh pengelola sekolah swasta di dusun terakhir sebelah barat daya puncak Gunun Merapi itu.
Kini, mereka memiliki tiga areal pertanian untuk pelajaran "Sekolah Sawah", yakni dua lokasi di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, masing-masing seluas 450 meter persegi dan 500 meter persegi, serta lahan bengkok di Dusun Batur, Desa Ngargomulyo seluas 100 meter.
"Setiap Jumat, anak-anak dari rumah masing-masing, langsung datang ke lokasi 'Sekolah Sawah'. Berpakaian bebas, tidak pakai sepatu. Supaya lebih leluasa untuk mengikuti pelajaran ini," kata Kepala SD Prontakan Suster Rosari, dari komunitas biarawati Abdi Kristus itu.
Akan tetapi, berkaitan dengan kesiapan menjadi tuan rumah "live in" peserta peringatan Hari Pangan Sedunia 2015 yang diselenggarakan Keuskupan Agung Semarang dan didukung antara lain oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (14-18 Oktober 2015), pada Selasa (13/10) pagi, mereka turun ke lahan pertanian sekolahnya.
Peringatan HPS tahun ini, bertepatan dengan "25 Tahun Deklarasi Ganjuran". Deklarasi itu, isinya terutama terkait dengan gerakan pelestarian keutuhan ciptaan dan keberpihakan kepada petani. Peringatan HPS 2015 dengan tema "Bumi sebagai Rahim Pangan Milik Bersama" dipusatkan di Gereja Ganjuran, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berbagai kegiatan peringatan HPS 2015, antara lain sarasehan, "live in", gelar budaya, dan pameran, dengan sekitar 350 peserta yang juga perwakilan dari berbagai keuskupan di Indonesia serta komunitas pemerhati "Green Youth Education".
Sejumlah lokasi "live in" HPS, antara lain di lokasi pertanian organik SD Kalirejo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY, "Sekolah Sawah" SD Prontakan, Desa Ngargomulyo, dan Sanggar Anak di Kampung Sodong, Kecamatan Bedono, Kabupaten Semarang.
Tim Edukasi Tuk Mancur bersama pengelola SD Prontakan telah mendapat informasi dari panitia pusat peringatan HPS 2015 bahwa 24 peserta yang antara lain berasal dari Denpasar, Kupang, Ketapang, Padang, Agats, Malang, dan Timika, menjalani "live in" pertanian organik di "Sekolah Sawah" pada 15-16 Oktober 2015.
Selama dua hari, mereka menginap di rumah para warga dusun setempat untuk belajar dan berlatih mengelola pertanian organik, sebagaimana selama ini dijalani para siswa sekolah itu dengan pendamping Tim Edukasi Tuk Mancur.
"Harapannya untuk bisa dikembangkan di daerah asal peserta 'live in'," kata Suster Rosari saat mendampingi siswanya menjalani "Sekolah Sawah" di salah satu areal pertanian Dusun Gemer, Selasa (13/10).
Di gubug di areal "Sekolah Sawah" pagi itu, para siswa dan siswi telah berkumpul. Selama beberapa saat, mereka mendaraskan doa Rosario sebelum kemudian memulai pelajaran dan pelatihan pertanian organik yang sekaligus sebagai persiapan menyambut peserta "live in" HPS.
Sejumlah pegiat Tim Edukasi Tuk Mancur, seperti Gimin, Longgar, Riyadi, Ratna Raras, dan Suster Rosari, sibuk mendampingi mereka yang telah dibagi menjadi sejumlah kelompok, seperti kelompok bercocok tanam, beternak kambing, budi daya ikan air tawar, dan memasak sayuran.
Areal tersebut telah dipetak-petak, antara lain untuk tempat penanaman sayuran organik, beberapa kolam budi daya ikan mulai dari pemijahan hingga pembesaran, kandang ternak dengan enam ekor kambing, gubuk tempat pembuatan pakan ternak, dan gubuk lainnya tempat pembuatan jamur.
Kawan-kawan Adit bersorak ketika siswi itu berhasil menangkap seekor ikan mas dari kolam dengan menggunakan jaring kecil, atas perintah pendampingnya. Riyadi, sang pendamping kemudian mengambil ikan tangkapan Adit, lalu mengajukan pertanyaan bernada tebakan kepada mereka, apakah ikan itu betina atau jantan.
Mereka juga bersama-sama mengganti air kolam pemijahan, sambil menyimak beberapa pertanyaan sang pendamping tentang cara-cara menjaga benih ikan agar bisa tumbuh dengan sehat. Sejumlah kolam "Sekolah Sawah" digunakan untuk budi daya lele, mas, dan nila.
Dengan menggunakan ember, Panji dan Toni, bersama sejumlah siswa lainnya, asyik mengusung urine kambing dari kandangnya di sudut areal pertanian "Sekolah Sawah" untuk dimasukkan ke tempat penampungan. Urine itu sebagai salah satu bahan pembuatan pupuk cair organik dengan bimbingan Gimin atau yang akrab disebut warga setempat sebagai "Pak Revo".
Sejumlah siswa lainnya didampingi Longgar berjalan bolak-balik mengusung air dengan menggunakan wadah, untuk menyiram bedeng, tempat penanaman sayuran. Beberapa di antara mereka juga mencabuti rumput di sekitar bedeng. Sejumlah bedeng lainnya, telah tumbuh aneka sayuran, seperti terung, cabai, selada, caisim, kapri, loncang, dan kacang panjang.
Longgar yang menjadi pendamping siswa kelompok bercocok tanam itu, juga mengingatkan anak-anak untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia, terlebih saat memberi penjelasan tentang "Sekolah Sawah" kepada para peserta "live in", karena tidak hanya datang dari Jawa, melainkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Hingga saat ini, "Sekolah Sawah" pertanian organik sudah beberapa kali panen sayuran. Mereka juga telah memiliki pengepul sayuran organik yang memasarkan panenan tersebut kepada para pelanggan.
"Di lahan kami sendiri, juga kami kelola sebagian untuk khusus sayuran organik. Kami menyadari terpanggil juga untuk menanamkan pola pertanian organik ini kepada anak-anak kami," kata Gimin.
Bagi para pegiat Tim Edukasi Tuk Mancur, bertani secara organik bukan sebatas bercocok tanam dengan membebaskan diri dari penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian berbahan kimiawi buatan pabrik, yang selama ini dituding sebagai tidak ramah lingkungan dan membuat boros biaya pertanian.
Mereka membangun sikap hidup sebagai petani organik, bukan saja untuk pribadi masing-masing, tetapi menebarkan semangat itu kepada anak-anak agar menjadi generasi petani organik di kawasan Gunung Merapi pada masa mendatang.
Praktik pelajaran "Sekolah Sawah" kelihatannya memang sederhana dan terkesan tidak muluk-muluk. Akan tetapi, hal itu telah membuat anak-anak memiliki perhatian yang lebih membumi terhadap lingkungan pertaniannya.
"Ini tentang hal-hal yang kelihatannya sederhana dan kecil. Tetapi anak-anak di rumah menjadi terbebas dari 'biusan' televisi, apalagi tayangan yang tidak mendidik. Anak-anak menjadi perhatian kepada pertanian yang dikerjakan orang tuanya," katanya.
Kalau mereka kelak tidak menjalani hidup sebagai petani ataupun mereka berpenghidupan di kota besar, katanya, perhatian terkait dengan pertanian dan kecintaannya terhadap lingkungan alam menjadi lebih kuat dan membumi.
"Memiliki kesadaran yang kuat, bahwa yang dia makan setiap hari, adalah hasil karya petani. Mensyukuri setiap bulir nasi yang disantap," katanya.
Uskup Agung Semarang Monsinyur Johannes Pujasumarta dalam Surat Gembala Hari Pangan Sedunia 2015 mengemukakan pentingnya langkah konkret meskipun sederhana, terkait dengan pengutamaan pertanian organik.
Ia juga mengemukakan tentang gerakan menguatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mencintai lingkungan, sebagaimana "Sekolah Sawah".
"Saya mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang dengan gigih memperjuangkan agar bumi dan alam ini tetap lestari melalui gerakan-gerakan yang sangat konkret meski sederhana," katanya dalam surat gembala yang dibacakan dan diterangkan kepada umat oleh para pastur di keuskupan setempat (Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian wilayah Jateng) saat misa kudus di berbagai gereja pada 10-11 Oktober 2015.
Berbagai gerakan dan kepedulian yang telah dikembangkan melalui bentuk solidaritas dan belarasa, kekuatan jejaring dengan komunitas lain serta pemerintah, ujarnya, akan menjadi tindakan yang bermakna agar pencemaran lingkungan dikurangi dan pelestarian lingkungan hidup diperjuangkan.
Ia menyatakan optimistis bahwa melalui gerakan sederhana dan jejaring yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, membuat kearifan lokal semakin tumbuh dan berkembang.
"Diperlukan pertobatan rohani pada diri kita sebagai bentuk pertobatan ekologis yang ditindaklanjuti dengan pertobatan bersama (komunitas) hingga membawa perubahan pada penghormatan dan pemeliharaan alam ciptaan," katanya.
Pelajaran "Sekolah Sawah" untuk anak-anak Gunung Merapi suatu wujud keteladanan sikap hidup petani organik yang dengan kearifan lokalnya menggiring generasi muda memasuki zaman dan buminya, yang bakal bergantung kepada kepribadian organik mereka.