Pada tahun 2006 jumlah pengusaha rokok di Kabupaten Kudus tercatat lebih dari 500 unit industri dengan berbagai skala usaha.
Akan tetapi, saat ini jumlah perusahaan yang bergerak di bidang rokok semakin berkurang dan diperkirakan hanya tersisa 123 perusahaan rokok yang ada di wilayah kerja Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus.
Menurut salah satu pengusaha rokok di Kudus, Rusdi Rahman, di Kudus, Minggu, salah satu penyebab berkurangnya perusahaan rokok, yakni munculnya aturan bangunan industri rokok dengan luas minimal 200 meter persegi.
Akibatnya, kata dia, pengusaha rokok golongan kecil dengan modal terbatas, tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut.
"Jika dipaksakan, tentunya lahan seluas itu tidak akan terpakai karena pabrik rokok kecil hanya mempekerjakan karyawan dalam jumlah sedikit," ujarnya.
Saat ini, kata dia, dirinya hanya memanfaatkan Lingkungan Industri Kecil Industri Hasil Tembakau yang dibangun oleh Pemkab Kudus untuk membantu pengusaha rokok kecil.
Selama ini, lanjut dia, perusahaan rokok sudah terbebani dengan kenaikan tarif pita cukai yang setiap tahun berubah, kini aturan terbaru etiketnya juga harus disertai gambar peringatan akibat merokok pada bungkus rokok sebagai syarat pengajuan pita cukai rokok.
Padahal, kata dia, dirinya maupun pengusaha rokok sekelasnya juga masih memiliki stok etiket yang cukup banyak.
Untuk memesan etiket sesuai aturan, katanya, butuh tambahan biaya besar, karena terdapat lima warna dibanding sebelumnya hanya tiga warna.
Ia memperkirakan jumlah perusahaan rokok yang gulung tikar akan semakin bertambah, karena selain faktor persaingan juga ketatnya aturan.
Untuk itu, kata dia, dirinya bersama 30 pengusaha rokok lainnya mencoba mengajukan surat permohonan penundaan pemberlakuan aturan Kementerian Kesehatan itu kepada Kementerian Keuangan.
Dari hasil aksi yang dilakukan di Jakarta beberapa waktu lalu, kata dia, pemerintah memberikan respons untuk menundanya dalam jangka waktu satu atau dua bulan.
Akan tetapi, kata dia, dirinya belum mengetahui apakah penundaan tersebut akan dilakukan secara nyata atau tidak, mengingat pelaksana di lapangan merupakan Bea dan Cukai.
Apabila sejumlah upaya tersebut belum juga membuahkan hasil, dia terpaksa mengikuti ketentuan tersebut dalam hal pemenuhan persyaratan pengajuan pita cukai di KPBBC Kudus.
Terlebih lagi, kata dia, dirinya juga belum siap untuk beralih usaha selain di bidang rokok sehingga harus berupaya keras agar usahanya tidak gulung tikar.
Meskipun keberatan dengan sejumlah aturan yang baru, ternyata ada pula perusahaan rokok yang lebih memilih mematuhinya dengan harapan pemerintah juga tetap memperhatikan keberlangsungan usaha di bidang rokok.
Pemilik Pabrik Rokok Janur Kuning Kudus, Muhammad Guntur mengaku, sejak awal Juni 2014 sudah menyiapkan etiket baru yang disertai gambar akibat merokok pada bungkus rokoknya.
"Aturan baru yang cukup ketat memang berpotensi menurunkan omzet penjualan selama tiga bulan pertama. Setelah itu, penjualannya dimungkinkan normal kembali," ujarnya.
Ia mengaku tetap berupaya agar rokok hasil produksinya bisa diterima di pasaran, meskipun ada perubahan gambar pada kemasannya.
Harapan terbesarnya, kata dia, pemerintah bersedia menerapkan perimbangan batasan produksi secara nasional, termasuk batasan penerimaan hasil cukai rokok.
Meski demikian, Guntur yang merupakan Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Jateng juga meminta kelonggaran kepada pemerintah dalam hal pemberlakuannya.
Peter Muhammad Farouk, pemilik PR Kembang Arum mengaku sudah menyiapkan etiket model baru sesuai ketentuan Menkes.
"Kami optimistis, pelanggan tetap membeli rokok meskipun kemasannya terdapat gambar akibat merokok," ujarnya.
Pengawasan Etiket Baru
Meskipun pemberlakukan aturan baru soal etiket masih menuai pro dan kontra, ternyata sejumlah perusahaan rokok sudah mengajukan pemesanan pita cukai dengan menyertakan persyaratan desain bungkus rokok yang disertai gambar akibat merokok.
"Hingga pekan kedua bulan Juni 2014, diperkirakan sudah ada belasan pengusaha rokok yang sudah mencantumkan gambar akibat merokok pada pemesanan pita cukainya," kata Kasubsi Layanan Informasi KPPBC Kudus, Deyna Kurniawan.
Ia memperkirakan, saat ini sudah bertambah, mengingat pemberlakuan aturan tersebut mulai 23 Juni 2014.
Terkait informasi adanya penundaan, kata dia, hingga kini belum mengetahui hal itu. Dalam hal pengawasan di lapangan, kata dia, bukan tanggung jawab KPPBC, melainkan dari instansi kesehatan untuk memastikan apakah perusahaan rokok benar-benar mencantumkan gambar akibat merokok atau belum.
"Tugas kami hanya dalam hal pelanggaran di bidang cukai," ujarnya.
Adapun jumlah pengusaha rokok yang berada di wilayah KPPBC Kudus, kata dia, saat ini tersisa 123 perusahaan dari jumlah sebelumnya mencapai ratusan perusahaan rokok.
Rusdi Rahman memperkirakan, sejumlah pengusaha rokok golongan kecil tidak akan mematuhi aturan tersebut dalam memasarkannya.
"Kepatuhan dipastikan hanya saat pemesanan pita cukai baru, sedangkan dalam memasarkannya dimungkinkan ketentuan tersebut tidak dipatuhi karena beberapa alasan," ujarnya.
Salah satunya, kata dia, dampak psikologis pembeli ketika menerima bungkus rokok dengan gambar yang dinilai kalangan pengusaha rokok kurang wajar.
Berdasarkan ketentuan, lanjut dia, untuk industri rokok golongan III dengan tingkat produksi kurang dari 24 juta batang per tahun harus mencamtumkan tiga variasi gambar akibat merokok yang berbeda untuk setiap slop yang berisi 10 bungkus.