Dalam gerakan lincah yang merupakan bagian dari Tari Kera tersebut, sebagian dari mereka ada yang memanjat pohon jati dengan gesit dan sebagian lainnya ada yang mencoba mengambil gunungan buah-buahan yang telah disiapkan warga dalam rangkaian Sesaji Rewandha.
Melangkah pelan dengan badan sedikit membungkuk dan tangan berusaha meraih dengan cepat gunungan buah-buahan, mereka lakukan berulang-ulang tetapi gagal mendapatkan buah yang dimaksud.
Anak-anak desa berpenampilan kera tersebut adalah bagian inovasi terbaru yang muncul dalam Sesaji Rewandha tahun ini, dan di antara puluhan anak tersebut akan dipilih satu sebagai peraga terfavorit pilihan pengunjung.
Inovasi lain yang muncul dalam Sesaji Rewandha tahun ini adalah kirab nipak tilas Sunan Kalijaga, tahun-tahun sebelumnya hanya mengarak sesaji atau gunungan buah-buahan yang akan diberikan kepada kawanan kera yang tinggal di kawasan Goa Kreo.
Dalam kirab, deretan peserta dimulai dari warga yang memerankan sebagai Sunan Kalijaga, kemudian diikuti deretan santri. Replika pohon jati dan lima gunungan, yakni gunungan buah-buahan, hasil bumi, nasi kuning, nasi bungkus, dan gunungan ketupat-lepet ikut dalam barisan kirab.
Juga ada empat orang yang menggunakan pakaian ala kera dengan warna berbeda, yakni putih, hitam, merah, dan kuning, seperti yang ada dalam sejarah nipak tilas Sunan Kalijaga.
Sunan Mencari Jati
Kasmani, sesepuh Kampung Talun Kacang, Kelurahan Kandri, dalam kisahnya menjelaskan bahwa napak tilas Sunan Kalijaga berawal pada abad ke-14 atau tepatnya tahun 1475 Masehi setelah Kerajaan Majapahit surut dan digantikan oleh Kerajaan Demak.
Jika pada masa Majapahit agama yang banyak dianut adalah Hindu dan Buddha, di zaman Kerajaan Demak adalah Islam.
"Karena agama baru, belum ada tempat ibadah sehingga dilakukan musyawarah dan disepakati membuat masjid," kata Kasmani.
Sunan Kalijaga kemudian berjalan ke arah barat daya untuk mencari kayu jati untuk digunakan sebagai soko guru masjid. Begitu tiba di bukit Gombel Semarang, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati raksasa.
Karena merasa pohon jati tersebut sudah cukup besar dan umurnya pun sudah layak tebang, Sunan Kalijaga memutuskan untuk menebangnya. Akan tetapi, pada saat akan ditebang, pohon jati tersebut "ngaleh" atau pindah. Sehingga daerah setempat dikenal dengan Jatingaleh.
Sunan melanjutkan perjalanan mencari pohon jati dengan berjalan ke arah barat mendapati sungai dan ada banyak warga yang berkumpul sehingga daerah tersebut disebut Karangkumpul.
Di daerah berikutnya yang dilewati Sunan Kalijaga adalah sebuah kampung yang berada di tengah hutan jati dan ada orang yang tengah "mbarang" sehingga daerah tersebut disebut Jatibarang.
Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan, kemudian menemukan pohon jati raksasa yang dicarinya, tetapi pohon tersebut dikalang (dilingkari) banyak pohon kecil, dan daerah tersebut disebut Jatikalangan. Saat akan menebangnya, pohon jati tersebut pindah kembali.
Sunan kemudian menemukan pohon jati dan karena sudah dua kali pohon jati tersebut selalu pindah saat akan ditebang, akhirnya Sunan Kalijaga mengikat pohon jati dengan selendang dan menebangnya.
Setelah pohon jati ditebang, ternyata tunggak dari pohon jati tersebut menjadi lebih besar atau "ombo" sehingga daerah tersebut disebut dengan Tunggak Jatiombo.
Pohon jati kemudian dibawa melalui aliran sungai. Akan tetapi, kemudian di tengah perjalanan pohon jati melintang di antara tebing.
Sunan Kalijaga kemudian memutuskan untuk beristirahat di puncak bukit dan meminta kepada para santri dan sahabatnya untuk mempersiapkan selamatan. Sementara Sunan Kalijaga menemukan goa dan bersemedi untuk memohon petunjuk agar kayu jati dapat dibawa ke Demak.
"Setelah semedi, persiapan selamatan sudah siap di antaranya ada satai kambing. Saat makan satai kambing kemudian Sunan Kalijaga membuang tusuknya, tusuk tersebut tumbuh menjadi bambu dan berbau kambing. Bambu tersebut sampai sekarang masih ada dan disebut sebagai Bambung Kricing," katanya.
Di tengah acara selamatan tersebut, datanglah empat kera yang berwarna merah, putih, kuning, dan hitam. Kedatangan kera tersebut bermaksud membantu Sunan Kalijaga mengambil kayu jati yang terjebit di antara tebing.
Setelah berbagai usaha untuk mengambil kayu jati tersebut sia-sia, akhirnya diputuskan memotong kayu menjadi dua bagian. Satu bagian kayu tenggelam dan satu bagian lainnya berhasil diselamatkan untuk dibawa ke Demak.
Keempat kera tersebut menyampaikan keinginannya mengikuti Sunan Kalijaga hingga Kerajaan Demak. Akan tetapi, Sunan Kalijaga tidak mengizinkan dan meminta agar para kera "ngreho" (merawat) sungai dan goa.
"Jadi, sebenarnya 'ngreho' tetapi kemudian banyak yang menyebutkan kreo sehingga dikenal sebagai Gua Kreo," kata Kasmani.
Potensi Wisata
Kasmani mengatakan bahwa tradisi sesaji Rewandha atau memberi makan kera ekor panjang yang tinggal di kawasan Goa Kreo sudah menjadi tradisi dan menjadi agenda tahunan warga setempat.
Setelah tradisi Sesaji Rewandha yang digelar sejak 1996, selalu banyak masukan dari tokoh masyarakat untuk mengemas acara menjadi lebih bagus.
"Tujuan Sesaji Rewandha ini adalah upaya untuk melestarikan budaya lokal dan menghidupkan seniman serta menjadi daya tarik wisatawan," kata Kasmani.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Pandanaran Kelurahan Kandri Muhamad Pudji Wibowo mengatakan, hingga saat ini, jumlah kera yang ada di kawasan Goa Kreo ada 278 ekor dan jumlah tersebut terus meningkat bukan berkurang.
"Ada tiga komunitas kera di daerah sini, yakni di luar goa, di goa, dan di parkiran," katanya.
Luasan daerah Kreo, lanjut Wibowo, ada sekitar 10 hektare dan setelah ada pembangunan Waduk Jatibarang diperkirakan saat tergenang daerah yang tersisa sekitar tiga hektare.
Meskipun lahan berkurang, kawanan kera dipastikan tidak akan kekurangan pangan karena warga setempat telah menanam beragam tanaman, seperti pisang, ketela, dan beragam tanaman buah yang disiapkan untuk kera.
"Apalagi dengan adanya waduk Jatibarang, nantinya akan ada penanaman tanaman nusantara sebagai sabuk hijau," katanya.
Jika tahun sebelumnya prosesi Sesaji Rewandha hanya digelar di RW 3, tahun ini pelaksanaannya melibatkan warga satu kelurahan (terdiri empat RW).
Bahkan, masing-masing RW menampilkan ciri khasnya masing-masing, misalnya, RW 2 yang khas dengan warak (badak bercula satu) pada acara kirab membawa replika Warak Gopak.
Pemerintah Kota Semarang melihat bahwa tradisi tahunan ini merupakan potensi yang luar biasa untuk dapat menarik wisatawan.
"Ini adalah bagian untuk melestarikan budaya dan ditargetkan November 2013 pembangunan Waduk Jatibarang selesai sehingga wisatawan selain melihat Sesaji Rewandha juga dapat menikmati indahnya Waduk Jatibarang. Harapannya ini bisa menunjang Visit Jateng 2013 dan program Ayo Wisata ke Semarang," kata Plt. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Pelaksanaan kirab napak tilas Sunan Kalijaga dan Sesaji Rewandha mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.
"Ini sangat menarik. Mereka mampu menyajikan napak tilas untuk melestarikan budaya lokal yang sangat apik," kata Risa, warga Jatingaleh yang datang menyaksikan acara tersebut.
Hal sama juga disampaikan Dharma, rekan Risa, yang datang ke acara tersebut untuk mengabadikan momen budaya tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Nurjanah mengharapkan tradisi tahunan ini dapat menjadi wisata unggulan kota ini.
Potensi wisata ini tidak hanya karena objek wisatanya yang bagus, tetapi karena adanya harmonisasi antara manusia dan kera ekor panjang yang berada di kawasan Goa Kreo. Tidak hanya masyarakat setempat tetapi juga para wisatawan yang menjalin harmonisasi dengan primata tersebut.