Saat puncak Festival Lima Gunung XI/2012 di Gunung Sumbing, Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (1/7) selepas zuhur itu, ia bacakan karya prosa delapan halaman yang terdiri atas 17 item dengan panjang masing-masing yang bervariasi.
Prosa yang konon dibuat saat penyair itu berada di Yogyakarta dan sedang sakit belum lama ini, bagaikan mengajak khususnya seniman petani komunitas yang meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, mencapai tempat merenung terdalam atas gerakan kebudayaan petani dan alam gunungnya. Setidaknya selama 11 tahun terakhir.
Mungkin juga, ribuan orang terutama para petani yang berkumpul menyaksikan pentas kesenian di panggung terbuka di halaman sekolah dasar di lokasi festival, itu pun larut dalam refleksi massal atas karya sastra Rosa.
Mereka adalah saksi atas festival seniman petani untuk tahun ke-11, di satu dusun terakhir berketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut, sebelum puncak Gunung Sumbing yang tingginya sekitar 3.700 mdpl.
Festival Lima Gunung XI/2012 secara khusus berlangsung di dua lokasi yakni Gunung Sumbing Dusun Krandegan (30 Juni-1 Juli) dan Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis (4-15 Juli).
Umumnya festival digelar satu kali dalam setahun, namun Komunitas Lima Gunung memutuskan secara musyawarah untuk menjalani dua kali di dua lokasi, dengan tetap berpegang kepada komitmen penyelenggaraan secara mandiri, tanpa sponsor dan tanpa mengedarkan proposal sumbangan kepada berbagai pihak.
Festival tahunan yang intinya ajang silaturahim dan puncak kegembiraan tahunan seniman petani Komunitas Lima Gunung itu mendapatkan perhatian luas, khususnya kalangan seniman, pemerhati seni, dan budayawan, tak hanya dari Magelang tetapi juga berbagai kota di luar daerah itu, termasuk luar negeri. Apresiasi mereka khususnya yang berasal dari luar Magelang tampak ingar bingar melalui jejaring sosial.
Melalui prosa liriknya itu, Rosa nampak membalik paradigma petani yang katrok dan kuper (kurang pergaulan). Petani yang tergabung dalam komunitas itu dengan basis kesenian rakyat dan tradisi budaya mereka berlandaskan kalender desa (kalender Jawa), sesungguhnya adalah para pengembara yang berlabuh setiap tahun di dermaga bernama Festival Lima Gunung.
"Sebagai pengembara alam, biarkan ia terus mengembara dan berburu, bukan ilmu kanuragan, namun 'ilmu kebahagiaan' yang dicari para ilmuwan dan kaum sastrawan," demikian satu bait ke-16 prosa itu.
Dalam bait lainnya, ia menggambarkan betapa pergaulan mereka menjadi beragam dan melingkupi jangkauan tak terhingga karena kekuatan tradisi berkesenian yang khas dan dinamis.
"Jangan pandang sebelah mata. Inilah petani masa kini. Megang cangkul di tangan. Belepotan pupuk kandang yang baunya tak karuan. Tapi mereka paham worhshop dan filsafat. Tak kikuk nonton bioskop twenty one atau nyanyi ngawur di ruang karaoke atau ngopi mahal di starbuck dan excelso. Luwes menjamu tamu jet set Amanjiwo. Pernah nge-jazz bareng Idang Rasidi. Tak minder pentas di gedung kesenian kosmopolitan macam Salihara, bahkan jangan heran pernah juga pentas di depan Presiden negara.
Horotoyo! Inilah zaman petani, zaman gunung, zaman sungai, zaman alam, zaman edan. Yang nyunggi suket itu punya Black Berry di sakunya! Pemuda ceking itu juga lantang bicara mengritik kebijakan pemerintah," begitu penggalan lainnya prosa itu.
Ia menyebut petani Lima Gunung yang intensif berkesenian itu hidup makmur dengan aneka tanaman pertanian sayuran dan menghidupi tradisi berkesenian.
Kekayaan mereka digambarkan Rosa sebagai mobil yang bertengger bersama sang ternak sapi kesayangan, ruang tamunya ada organ, sedangkan di sudut lain rumah mereka terpajang seperangkat gamelan.
Tentang khasanah kesenian petani Lima Gunung, Rosa pun melalui karya itu menuturkan dengan tak sulit dipahami publik penonton festival itu.
"Wahai saudara, singgahlah di Gunung Sumbing. Warok putri, warok putra, warok anak, topeng ireng. Tak ada topeng putih. Memang tak ada yang bertopeng di sini. Manusia tampil sebagaimana adanya. Ada jathilan, ada sajian gadung mlati, ada grasak, ada kuda lumping, soreng, truntung, madya pitutur, jingkrak sundang, dayak, wayang orang," katanya.
Sedangkan tentang festival mereka, digambarkan Rosa sebagai petani yang menyembul dari semak di puncak gunung-gunung, tanpa beban membangun ruang ceria. Melalui prosa "Ancala dalam Kala" itu, Rosa juga mengajak semua orang mendekat dan menyimaknya.
"Inilah pesta paling merakyat. Dari rakyat untuk rakyat. Atas nama rakyat. Atas biaya rakyat, merti bumi. Semua tulus hati riang gembira. Jangan bilang ini rakyat jelata. Sesungguhnya ini adalah persembahan para elit panca gunung. Mereka adalah para brahmana. Yang lembah manah. Hatinya jujur. Penuh kasih dan rasa tresna. Namun mereka tetap petani. Yang sederhana. Tapi jangan salah duga. Walau tampak sederhana, mereka simpan kekuatan singa pada mulutnya," demikian sepenggal bait lain prosa itu.
Melalui bahasa sastranya itu juga, Rosa membeberkan agenda Festival Lima Gunung XI/2012 baik di Gunung Sumbing maupun Gunung Merbabu.
Agenda pementasan kesenian FLG XI/2012 di Gunung Sumbing antara lain performa sesaji "Ngundang Roh Gunung", pentas ketoprak "Kabut di Bukit Tidar", tradisi "Nyadran", tarian warok putri, topeng ireng, warok putra, tarian "Jathilan Panji Kinasih", margo utomo.
Selain itu, arak-arakan Komunitas Lima Gunung, pembacaan puisi, tarian "Hip Hop Sapu Jagad", performa "Ngupadi Bayu Sejati", tarian grasak, kuda lumping, soreng, warok anak, truntung, lengger Sumbing, madya pitutur, jingkrak sundang, dayak, sendratari "Sekar Agung", mars gentha, mudra braja gentha, dan wayang orang "Sayembara Dewi Kunthi".
Sedangkan di Gunung Merbabu, telah diagendakan pameran foto, sarasehan budaya, pengajian, ketoprak, ritus "Tlompak", malam pembacaan puisi dan geguritan humor, pentas ronggeng, tradisi "Nyadran", peluncuran novel, pentas mahasiswa pendidikan kesenian.
Selain tu, pentas anak-anak Sekolah Mendut, kirab budaya Komunitas Lima Gunung "Khitanan Gunung", pentas tarian "Soreng Kemunafikan", sendratari "Klono Sewandono Kromo", performa "Limo Werno", tarian geculan bocah, kukilo gunung, gupolo gunung, kipas mego, wayang bocah "Hanoman Duta", dan tari lengger.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryono mengatakan, festival tahunan seniman petani itu memang dikemas secara musyawarah, tanpa beban, dan untuk kegembiraan anggota komunitas.
"Kami para seniman petani ini diperkaya kehidupannya oleh kebersamaan dalam komunitas, dengan berbagai dinamika dan beragam pementasan baik kesenian tradisional maupun kolaborasi dengan kelompok lain antargunung maupun dengan jaringan kami di luar kota," kata Supadi yang juga pemimpin grup Sanggar Andong Jinawi, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong itu.
Meskipun Festival Lima Gunung sesungguhnya untuk kepentingan silaturahim antarkelompok seniman petani komunitas itu, pihaknya tetap membuka kesempatan kepada kelompok lainnya secara mandiri untuk berkolaborasi dan turut mementaskan keseniannya.
Seperti terjadi dengan pementasan "Hip Hop Sapu Jagad" oleh mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang tergabung dalam kelompok Sahabat Lima Gunung pada Minggu (1/7). Mereka datang ke Gunung Sumbing dengan koordinator tim itu yang juga seorang dosen mereka dan koreografer, Eko "Pebo" Supendi.
"Pentas kami memang bukan kesenian nontradisional nusantara. Tarian 'Hip Hop' memang dari Barat, akan tetapi ini juga bisa menjadi apresiasi seniman petani. Kami pun juga ingin mengapresiasi hal-hal yang kerakyatan untuk mengembangkan karya seni," kata Eko "Pebo".
Setidaknya, katanya, hingga saat ini mahasiswa ISI Surakarta itu telah empat kali berkesempatan bergaul melalui kesenian dengan Komunitas Lima Gunung.
Pengajar sosiolinguistik Jurusan Studi Komunikasi Internastional Universitas Akita Jepang, Yosimi Miyake, juga hadir dalam festival di kawasan Gunung Sumbing itu.
Saat pentas ketoprak "Kabut di Bukit Tidar" di panggung Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sabtu (30/6) malam, oleh para petinggi Komunitas Lima Gunung, Yosimi mengemukakan bahwa bentuk kesenian tersebut syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan para lakon untuk menggapainya.
Pada Minggu (1/7) siang, Yosimi yang fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu pun hadir lagi di kawasan Sumbing untuk melanjutkan keinginan kuatnya menyimak sajian seniman petani melalui Festival Lima Gunung.
Ketika petani Lima Gunung itu melabuhkan sejenak pengembaraan melalui festival tahunan kesenian mereka, orang banyak pun berkeinginan berbagi kegembiraan dengan mengapresiasi secara tulus dan istimewa.
Dan, ketika mereka hendak berangkat dari pelabuhan festival itu untuk melanjutkan pengembaraan kebudayaan, "Ancala dalam Kala" menggambarkan dengan kalimat sastra, "Bintang Barat terbit petang. Bintang Timur terbit pagi. Jika tidak melarat panjang. Ada umur ketemu lagi".