Semarang (ANTARA) - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai masa kerja penjabat kepala daerah yang relatif lama sesungguhnya bertolak belakang dengan argumen Pemerintah yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada masa Pandemi COVID-19.
"Salah satu argumennya adalah selain menjaga komitmen berdemokrasi, juga agar daerah tetap memiliki pemimpin definitif hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sehingga upaya mengatasi dampak pandemi COVID-19 lebih optimal," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Jumat.
Hal itu dikatakan Titi sehubungan dengan pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 yang konsekuensinya 101 daerah pada tahun 2022 harus diisi penjabat, sedangkan pada tahun 2023 tercatat 170 daerah yang akan dipimpin penjabat hingga pelantikan kepala daerah/wakil kepala daerah produk Pilkada 2024.
Semestinya, menurut Titi, pembuat UU bisa memilih desain keserentakan pilkada secara nasional yang lebih kompatibel dengan sistem pilkada langsung di Indonesia. Dengan demikian, tidak mendistorsi kedaulatan rakyat dan membuat daerah tidak memiliki kepemimpinan definitif hasil pilkada terlalu lama.
Masyarakat dalam waktu cukup panjang menjadi terhambat dalam menyalurkan hak pilihnya untuk memilih kepala daerah definitif yang dikehendakinya. Hal itu, lanjut dia, akibat penjadwalan pilkada serentak secara nasional yang akan berlangsung pada bulan November 2024.
Titi menegaskan bahwa keberadaan penjabat kepala daerah yang menjabat sangat lama di tengah sistem pilkada langsung yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan persoalan yang problematik.
Selain itu, kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini, kehadiran penjabat di tengah masih maraknya kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) juga menjadi catatan tersendiri.
Meskipun ada skema pengawasan internal dan terdapat Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk mengawasi netralitas ASN, menurut dia, kekhawatiran terhadap penjabat dan upaya politisasi ASN untuk kepentingan politik praktis Pemilu dan Pilkada 2024 tetap perlu diantisipasi maksimal oleh Pemerintah, khususnya Kemendagri.
Selama tidak ada perubahan UU Pilkada, lanjut dia, artinya akan ada kebutuhan besar-besaran terhadap jumlah penjabat di 271 daerah yang tidak menyelenggarakan pilkada pada tahun 2022 dan 2023.
Dalam rangka itu, penunjukan penjabat harus transparan dan akuntabel serta dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan daerah.
"Jangan elitis, apalagi tertutup prosesnya," kata Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi mewakili Indonesia dalam International Institute for Electoral Assistance (International IDEA).
Ia memandang penting agar Pemerintah tidak menempatkan anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat sebab berpotensi menimbulkan kontroversi, kegaduhan, dan potensi konflik di tengah masyarakat karena penolakan kehadiran TNI/Polri di jabatan politik yang mestinya diisi melalui pemilihan langsung.
"Hal-hal seperti itu sudah semestinya dihindari Pemerintah agar tidak kontraproduktif," ujar Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.
Berita Terkait
KPU Kota Semarang telah terima 2.502 kotak suara
Sabtu, 5 Oktober 2024 15:09 Wib
Tokoh agama di Solo ajak masyarakat ciptakan kondusivitas
Rabu, 2 Oktober 2024 9:09 Wib
Bawaslu Kota Semarang perpanjang masa pendaftaran pengawas TPS
Selasa, 1 Oktober 2024 15:27 Wib
DKPP tangani pengaduan penyelenggara pemilu, dari asusila hingga judi online
Jumat, 27 September 2024 16:42 Wib
Dugaan pelanggaran pemilu Pj Bupati Kudus, ini penjelasan bawaslu
Jumat, 27 September 2024 15:54 Wib
Pemkab Kudus persilakan parpol ajukan pencairan bantuan keuangan
Rabu, 25 September 2024 15:45 Wib
Tim KUB dan FKUB se - Jateng deklarasikan Pemilu Damai
Selasa, 24 September 2024 20:02 Wib
Ayo daftar jadi Pengawas TPS Pemilihan 2024 di Provinsi Jawa Tengah
Selasa, 24 September 2024 9:54 Wib