Kisah Kapolri Hoegeng larang anaknya jadi polisi
Jakarta (ANTARA) - Nama Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso mungkin tidak terdengar asing lagi bagi masyarakat di Tanah Air, terutama bagi Korps Bhayangkara.
Jenderal Hoegeng merupakan seorang polisi melegenda dan selamanya akan terus dikenang atas apa yang telah ia torehkan semasa hidup. Lahir pada 14 Oktober 1921, ia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) kelima tepatnya periode 1968 hingga 1971.
Hoegeng menikah dengan seorang perempuan bernama Meriyati Roeslani atau yang kerap disapa Merry. Dari pernikahannya, mereka dikarunia tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki.
Jenderal Hoegeng kini memang telah tiada. Ia berpulang pada 14 Oktober 2004 di usia 82 tahun. Namun, nama besar yang disandangnya tetap abadi dan akan terus dikenang.
Bertepatan dengan 100 tahun memperingati Hoegeng 1921-2021, keluarga besar mempersembahkan sebuah buku yang berjudul "Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan".
Buku yang ditulis langsung oleh seorang wartawan senior bernama Farouk Arnaz tersebut bercerita tentang kisah-kisah humanis dan kepribadian yang begitu kuat dari bapak tiga orang anak tersebut.
Bagi keluarga, Hoegeng tidak hanya sekadar suami, ayah atau Kapolri. Jauh dari itu, sosok Hoegeng merupakan tauladan dari berbagai hal.
Suatu ketika, Aditya Soetanto Hoegeng yang merupakan anak kedua dari polisi Hoegeng berniat masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).
Adit, sapan akrabnya, masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Ia bercita-cita masuk Akabri. Untuk bisa mendaftar, salah satu syarat ialah harus melampirkan atau menyertakan surat izin dari orang tua.
Dengan rasa penuh semangat dan percaya diri, Aditya datang ke Markas Besar (Mabes) Polri untuk meminta surat izin orang tuanya. Sesampainya di sana, ia diminta tunggu oleh ajudan Hoegeng.
Di momen pertemuan tersebut, untuk pertama kalinya ia melihat sosok Hoegeng bukan sebagai seorang ayah yang biasanya ramah dan hangat kepada anak-anaknya.
Aditya mengenang kala itu Hoegeng hanya melihat ke arahannya dan bertanya ada keperluan apa menemuinya di kantor. Sontak saja hal itu membuatnya gugup karena melihat dua sosok yang berbeda dalam waktu bersamaan.
Di satu sisi, ia melihat Hoegeng sebagai ayah kandungnya namun di sisi lain ia sedang berhadapan dengan seorang Kapolri dan memperlakukan dirinya seperti tamu-tamu lainnya.
Setelah menyampaikan niatan membutuhkan surat izin dari orang tua, Hoegeng hanya menjawab nanti saja kepada anaknya tersebut. Pembicaraan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan, selepas itu Hoegeng sama sekali tidak menyapa atau mempersilakan anaknya duduk. Ia malah meneruskan segudang pekerjaannya yang menumpuk di meja kerja.
Mengetahui sikap ayahnya seperti itu, Aditya langsung pulang. Uniknya, ketika Hoegeng kembali ke rumah ia sudah bersikap layaknya seperti seorang bapak kepada anak dan suami kepada istri.
"Saya masih ingat saat itu bapak bertanya, hai Dit kamu sudah makan? Beliau sama sekali tidak membicarakan soal tadi yang di kantor," kenangnya.
Setelah kurang lebih tiga hari menunggu, tiba-tiba ajudan Hoegeng memberitahu Aditya kalau dirinya telah ditunggu oleh bapaknya di Mabes Polri.
Mengetahui sikap orang tuanya dari pertemuan sebelumnya, Aditya menyiapkan mental dengan matang. Saat tiba di Mabes Polri, Hoegeng bertanya kemantapan hati putranya tersebut masuk ke dunia militer.
Anehnya, kala itu Hoegeng berpesan agar anaknya tidak masuk polisi. Sebab ia tidak ingin ada Hoegeng lainnya di instansi kepolisian.
"Mendengar ucapan itu, saya mau ketawa tapi takut," ujar dia.
Selepas berbincang ringan, Aditya menanyakan perihal surat izin yang ia minta beberapa hari lalu. Akan tetapi, Hoegeng tidak memberikannya dan meminta anaknya pergi.
Dalam pikirannya, mungkin saja ayahnya hanya tinggal mengirimkan radiogram dari Mabes Polri untuk syarat pendaftaran Akabri. Setelah keluar dari Mabes Polri, ia baru menyadari bahwa pendaftaran sudah tutup dua hari yang lalu.
"Jadi beliau monitor sampai hari pendaftaran tutup, baru dia panggil saya," ujarnya.
Rasa kecewa dan marah menyelimuti hatinya. Sebab, cita-citanya ingin masuk Akabri tidak kesampaian hanya karena ayahnya tidak memberikan surat izin orang tua.
Saking emosinya, Aditya meluapkan kemarahannya kepada kuas-kuas milik Hoegeng yang digunakan untuk melukis. Tanpa pikir panjang semua kuas tersebut digunduli.
Ketika Hoegeng pulang bekerja, ia meminta pembantu untuk memanggil anaknya laki-lakinya itu. Namun, karena sudah terlanjur kesal dan marah Aditya menolak bertemu dengan bapaknya
Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng sendiri yang datang ke kamarnya dan mengajak anaknya tersebut berbicara dari hati ke hati.
Dengan perasaan yang masih gondok, akhirnya ia mau keluar kamar dan berbicara di meja makan bersama ayahnya. Selama pembicaraan, ia sama sekali tidak mau melihat wajah ayahnya karena masih kesal atas kejadian sebelumnya.
"Kala itu Bapak bilang, Dit, sekarang kita bicara antara Hoegeng dengan dirimu, antara anak dan ayah," kata dia mengulangi pembicaraan saat itu.
Sebelum masuk pada topik utama, Hoegeng terlebih dahulu mengatakan kepada anaknya tersebut jangan berkomentar atau menyanggah sebelum ia selesai bicara.
"Dalam hati ku yang paling dalam, jangan ada lagi yang mengikuti jejak saya di angkatan. Cukup saya saja yang merasakan itu semua," kata Hoegeng seperti yang diceritakan ulang oleh anaknya.
Selain itu, Hoegeng juga menjelaskan kenapa ia tidak mengizinkan anaknya bergabung di Akabri Hoegeng sama sekali tidak ingin jabatan yang disandangnya sebagai Kapolri, akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.
Selepas menjelaskan panjang lebar alasan ia tidak memberi izin anaknya bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya sembari meminta maaf.
Di akhir pembicaraan yang berlangsung di meja makan tersebut, Hoegeng dengan polosnya bertanya kepada anaknya kenapa kuasnya digunduli. Sontak saja hal itu membuat perasaan anaknya yang tadi penuh amarah langsung berubah drastis sambil menahan senyum.
Dari kejadian tersebut Aditya mengaku belajar banyak dari ayahnya. Padahal, jika ingin masuk Akabri apalagi jadi anggota polisi, tentu saja bisa dikatakan peluangnya jauh lebih besar dari calon lainnya. Akan tetapi, sosok Hoegeng melihat satu langkah lebih jauh dari yang dipikirkan anaknya.
Selain itu, ia menilai bapaknya adalah orang yang sangat humanis dalam mendidik anak-anaknya.
Larangan pakai kendaraan dinas
Dewasa ini mungkin cukup banyak ditemukan pejabat-pejabat yang dengan bangganya memberikan atau meminjamkan kendaraan dinas kepada anaknya untuk kepentingan pribadi. Tentu saja hal itu bertentangan atau tidak etis.
Berbeda dengan Hoegeng, ia melarang tegas ketika anaknya ingin menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan apa pun.
Kepada istri dan ketiga orang anaknya, Hoegeng selalu menekankan bahwa selain dirinya, tidak boleh ada orang yang memakai atau menggunakan fasilitas yang dipinjamkan oleh negara.
Bahkan, diketahui, di dalam mobil dinas yang digunakan Hoegeng untuk bekerja terdapat tulisan yang melarang siapa saja menggunakan kendaraan itu kecuali untuk dinas kepolisan.
Mengenai sosok Hoegeng, ada satu hal yang bisa dikatakan ikonik dari dirinya. Ialah kebiasannya naik sepeda ontel tua saat berdinas. Ia lebih suka mengayuh sepeda ontel berwarna kecokelatan tersebut, sembari memonitor kejadian di sekeliling.
Suatu ketika, Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri yang saat itu masih kuliah bertemu dengan Jenderal Hoegeng di jalan. Mega yang hendak menuju Universitas Indonesia berpapasan dengan Hoegeng.
Melihat Hoegeng mengayuh sepedanya, Mega menyapa dan memanggil "Om" serta menawarkan tumpangan kepada Hoegeng. Namun, dengan sopan dan rendah hati ia menolak tawaran itu.
Sebab, bagi Hoegeng, selain berolahraga menggunakan sepeda akan membuatnya lebih mengetahui secara langsung apa yang terjadi di masyarakat dengan mata kepalanya secara langsung.
Jika tidak sempat mengunjungi titik-titik lainnya, Hoegeng memanfaatkan "handy talky" (HT) sebagai sarana mendapatkan informasi. Berdasarkan pengakuan anaknya, Jenderal Hoegeng memiliki empat hingga lima HT yang selalu hidup 24 jam dan dibawa kemana ia pergi.
Saat malam tiba, atau hendak ingin beristirahat suara HT milik Hoegeng selalu berisik. Kelima HT itu ditaruh di samping tempat tidur. Merry, istri dari Hoegeng sendiri mengaku sampai terganggu akibat riuh suara HT milik suaminya itu.
Kini, 17 tahun sudah sosok Hoegeng telah tiada. Ia memang telah pergi untuk selamanya, namun namanya akan selalu dikenang. Dengan kepribadian yang kuat dan terkenal idealis, sudah sepatutnya para polisi meneladani sikap-sikap dari Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso.
Jenderal Hoegeng merupakan seorang polisi melegenda dan selamanya akan terus dikenang atas apa yang telah ia torehkan semasa hidup. Lahir pada 14 Oktober 1921, ia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) kelima tepatnya periode 1968 hingga 1971.
Hoegeng menikah dengan seorang perempuan bernama Meriyati Roeslani atau yang kerap disapa Merry. Dari pernikahannya, mereka dikarunia tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki.
Jenderal Hoegeng kini memang telah tiada. Ia berpulang pada 14 Oktober 2004 di usia 82 tahun. Namun, nama besar yang disandangnya tetap abadi dan akan terus dikenang.
Bertepatan dengan 100 tahun memperingati Hoegeng 1921-2021, keluarga besar mempersembahkan sebuah buku yang berjudul "Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan".
Buku yang ditulis langsung oleh seorang wartawan senior bernama Farouk Arnaz tersebut bercerita tentang kisah-kisah humanis dan kepribadian yang begitu kuat dari bapak tiga orang anak tersebut.
Bagi keluarga, Hoegeng tidak hanya sekadar suami, ayah atau Kapolri. Jauh dari itu, sosok Hoegeng merupakan tauladan dari berbagai hal.
Suatu ketika, Aditya Soetanto Hoegeng yang merupakan anak kedua dari polisi Hoegeng berniat masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).
Adit, sapan akrabnya, masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Ia bercita-cita masuk Akabri. Untuk bisa mendaftar, salah satu syarat ialah harus melampirkan atau menyertakan surat izin dari orang tua.
Dengan rasa penuh semangat dan percaya diri, Aditya datang ke Markas Besar (Mabes) Polri untuk meminta surat izin orang tuanya. Sesampainya di sana, ia diminta tunggu oleh ajudan Hoegeng.
Di momen pertemuan tersebut, untuk pertama kalinya ia melihat sosok Hoegeng bukan sebagai seorang ayah yang biasanya ramah dan hangat kepada anak-anaknya.
Aditya mengenang kala itu Hoegeng hanya melihat ke arahannya dan bertanya ada keperluan apa menemuinya di kantor. Sontak saja hal itu membuatnya gugup karena melihat dua sosok yang berbeda dalam waktu bersamaan.
Di satu sisi, ia melihat Hoegeng sebagai ayah kandungnya namun di sisi lain ia sedang berhadapan dengan seorang Kapolri dan memperlakukan dirinya seperti tamu-tamu lainnya.
Setelah menyampaikan niatan membutuhkan surat izin dari orang tua, Hoegeng hanya menjawab nanti saja kepada anaknya tersebut. Pembicaraan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan, selepas itu Hoegeng sama sekali tidak menyapa atau mempersilakan anaknya duduk. Ia malah meneruskan segudang pekerjaannya yang menumpuk di meja kerja.
Mengetahui sikap ayahnya seperti itu, Aditya langsung pulang. Uniknya, ketika Hoegeng kembali ke rumah ia sudah bersikap layaknya seperti seorang bapak kepada anak dan suami kepada istri.
"Saya masih ingat saat itu bapak bertanya, hai Dit kamu sudah makan? Beliau sama sekali tidak membicarakan soal tadi yang di kantor," kenangnya.
Setelah kurang lebih tiga hari menunggu, tiba-tiba ajudan Hoegeng memberitahu Aditya kalau dirinya telah ditunggu oleh bapaknya di Mabes Polri.
Mengetahui sikap orang tuanya dari pertemuan sebelumnya, Aditya menyiapkan mental dengan matang. Saat tiba di Mabes Polri, Hoegeng bertanya kemantapan hati putranya tersebut masuk ke dunia militer.
Anehnya, kala itu Hoegeng berpesan agar anaknya tidak masuk polisi. Sebab ia tidak ingin ada Hoegeng lainnya di instansi kepolisian.
"Mendengar ucapan itu, saya mau ketawa tapi takut," ujar dia.
Selepas berbincang ringan, Aditya menanyakan perihal surat izin yang ia minta beberapa hari lalu. Akan tetapi, Hoegeng tidak memberikannya dan meminta anaknya pergi.
Dalam pikirannya, mungkin saja ayahnya hanya tinggal mengirimkan radiogram dari Mabes Polri untuk syarat pendaftaran Akabri. Setelah keluar dari Mabes Polri, ia baru menyadari bahwa pendaftaran sudah tutup dua hari yang lalu.
"Jadi beliau monitor sampai hari pendaftaran tutup, baru dia panggil saya," ujarnya.
Rasa kecewa dan marah menyelimuti hatinya. Sebab, cita-citanya ingin masuk Akabri tidak kesampaian hanya karena ayahnya tidak memberikan surat izin orang tua.
Saking emosinya, Aditya meluapkan kemarahannya kepada kuas-kuas milik Hoegeng yang digunakan untuk melukis. Tanpa pikir panjang semua kuas tersebut digunduli.
Ketika Hoegeng pulang bekerja, ia meminta pembantu untuk memanggil anaknya laki-lakinya itu. Namun, karena sudah terlanjur kesal dan marah Aditya menolak bertemu dengan bapaknya
Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng sendiri yang datang ke kamarnya dan mengajak anaknya tersebut berbicara dari hati ke hati.
Dengan perasaan yang masih gondok, akhirnya ia mau keluar kamar dan berbicara di meja makan bersama ayahnya. Selama pembicaraan, ia sama sekali tidak mau melihat wajah ayahnya karena masih kesal atas kejadian sebelumnya.
"Kala itu Bapak bilang, Dit, sekarang kita bicara antara Hoegeng dengan dirimu, antara anak dan ayah," kata dia mengulangi pembicaraan saat itu.
Sebelum masuk pada topik utama, Hoegeng terlebih dahulu mengatakan kepada anaknya tersebut jangan berkomentar atau menyanggah sebelum ia selesai bicara.
"Dalam hati ku yang paling dalam, jangan ada lagi yang mengikuti jejak saya di angkatan. Cukup saya saja yang merasakan itu semua," kata Hoegeng seperti yang diceritakan ulang oleh anaknya.
Selain itu, Hoegeng juga menjelaskan kenapa ia tidak mengizinkan anaknya bergabung di Akabri Hoegeng sama sekali tidak ingin jabatan yang disandangnya sebagai Kapolri, akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.
Selepas menjelaskan panjang lebar alasan ia tidak memberi izin anaknya bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya sembari meminta maaf.
Di akhir pembicaraan yang berlangsung di meja makan tersebut, Hoegeng dengan polosnya bertanya kepada anaknya kenapa kuasnya digunduli. Sontak saja hal itu membuat perasaan anaknya yang tadi penuh amarah langsung berubah drastis sambil menahan senyum.
Dari kejadian tersebut Aditya mengaku belajar banyak dari ayahnya. Padahal, jika ingin masuk Akabri apalagi jadi anggota polisi, tentu saja bisa dikatakan peluangnya jauh lebih besar dari calon lainnya. Akan tetapi, sosok Hoegeng melihat satu langkah lebih jauh dari yang dipikirkan anaknya.
Selain itu, ia menilai bapaknya adalah orang yang sangat humanis dalam mendidik anak-anaknya.
Larangan pakai kendaraan dinas
Dewasa ini mungkin cukup banyak ditemukan pejabat-pejabat yang dengan bangganya memberikan atau meminjamkan kendaraan dinas kepada anaknya untuk kepentingan pribadi. Tentu saja hal itu bertentangan atau tidak etis.
Berbeda dengan Hoegeng, ia melarang tegas ketika anaknya ingin menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan apa pun.
Kepada istri dan ketiga orang anaknya, Hoegeng selalu menekankan bahwa selain dirinya, tidak boleh ada orang yang memakai atau menggunakan fasilitas yang dipinjamkan oleh negara.
Bahkan, diketahui, di dalam mobil dinas yang digunakan Hoegeng untuk bekerja terdapat tulisan yang melarang siapa saja menggunakan kendaraan itu kecuali untuk dinas kepolisan.
Mengenai sosok Hoegeng, ada satu hal yang bisa dikatakan ikonik dari dirinya. Ialah kebiasannya naik sepeda ontel tua saat berdinas. Ia lebih suka mengayuh sepeda ontel berwarna kecokelatan tersebut, sembari memonitor kejadian di sekeliling.
Suatu ketika, Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri yang saat itu masih kuliah bertemu dengan Jenderal Hoegeng di jalan. Mega yang hendak menuju Universitas Indonesia berpapasan dengan Hoegeng.
Melihat Hoegeng mengayuh sepedanya, Mega menyapa dan memanggil "Om" serta menawarkan tumpangan kepada Hoegeng. Namun, dengan sopan dan rendah hati ia menolak tawaran itu.
Sebab, bagi Hoegeng, selain berolahraga menggunakan sepeda akan membuatnya lebih mengetahui secara langsung apa yang terjadi di masyarakat dengan mata kepalanya secara langsung.
Jika tidak sempat mengunjungi titik-titik lainnya, Hoegeng memanfaatkan "handy talky" (HT) sebagai sarana mendapatkan informasi. Berdasarkan pengakuan anaknya, Jenderal Hoegeng memiliki empat hingga lima HT yang selalu hidup 24 jam dan dibawa kemana ia pergi.
Saat malam tiba, atau hendak ingin beristirahat suara HT milik Hoegeng selalu berisik. Kelima HT itu ditaruh di samping tempat tidur. Merry, istri dari Hoegeng sendiri mengaku sampai terganggu akibat riuh suara HT milik suaminya itu.
Kini, 17 tahun sudah sosok Hoegeng telah tiada. Ia memang telah pergi untuk selamanya, namun namanya akan selalu dikenang. Dengan kepribadian yang kuat dan terkenal idealis, sudah sepatutnya para polisi meneladani sikap-sikap dari Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso.