Solo (ANTARA) - Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prabang Setyono berhasil memanfaatkan limbah popok sekali pakai sebagai alat peredam suara dalam ruangan.
"Popok sekali pakai ini dipilih karena memenuhi kriteria bahan baku peredam suara atau panel akustik, salah satunya karena popok sekali pakai berbentuk serabut-serabut," kata Dosen Ilmu Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNS ini di Solo, Selasa.
Selain itu, katanya, popok ini memiliki celah pada bubuk-bubuk di dalamnya yang tersusun secara bertumpuk.
Baca juga: Pabrik popok bayi di Kawasan Industri Candi Ngaliyan ludes terbakar
Dengan demikian, menurut dia, gelombang suara akan lebih mudah diredam atau diresapkan apabila celahnya bertumpuk-tumpuk.
"Celah yang bertumpuk ini lebih efektif daripada yang datar," katanya.
Meski demikian, lanjutnya, popok yang fungsi utamanya untuk menampung kotoran tentu setelah dipakai akan mengandung bakteri dan beragam kuman bawaan dari hasil ekskresi tubuh.
"Dengan demikian pasti menimbulkan aroma tidak sedap. Oleh karena itu, dalam proses pembuatannya harus terlebih dahulu dilakukan disinfektan dengan cairan clorin, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari supaya mikroba infeksinya hilang," katanya.
Selain itu, secara estetika penggunaan popok bekas pakai ini akan terlihat kurang apik. Dengan demikian, ia juga memanfaatkan kertas daur ulang yang biasa digunakan sebagai tempat menyimpan telur sebagai wadah dari popok ini.
"Jadi, kertas ini dijadikan sebagai luaran. Bentuknya kan berlekuk-lekuk, ini sangat bagus untuk meredam suara. Selain itu, secara estetikanya juga bagus, tetapi karena ini masih prototipe jadi belum terlalu rapi pengemasannya," katanya.
Sementara itu, penelitian tersebut dilakukan selama delapan bulan tepatnya pada tahun 2018. Dipilihnya limbah popok sekali pakai menjadi teknologi tepat guna dan bernilai ekonomi lebih tinggi.
Ia mengaku resah dengan keberadaan limbah tersebut yang sulit terurai dan jumlahnya sangat besar di Indonesia.
"Selain itu, saya juga melihat pola kebiasaan impor peredam suara atau panel akustik berbahan 'glasswool' di Indonesia yang memiliki harga cukup mahal," katanya.
Sadar akan kebutuhan strategi industri akan produk tersebut, ia menggandeng rekan lain dari Teknik Industri untuk menyusun strategi pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan industri hingga sampai ke hilir.
"Saya juga berencana melakukan penelitian payung bersama mahasiswa untuk terus mengembangkan produk ini. Saat ini kami masih dalam tahap sosialisasi prototipe dan pengajuan proposal pendanaan penelitian lebih lanjut. Saya sangat berharap segera difabrikasi dan dapat sampai ke hilir, sehingga bermanfaat bagi masyarakat dalam skala besar, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu," katanya.