"Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu penyelenggara pemilu?" Pertanyaan kritis itu disampaikan salah satu peserta kegiatan pendidikan politik (dikpol) yang diikuti ratusan siswa dan mahasiswa di Kabupaten Purworejo, baru-baru ini.
Pertanyaan itu menjadi satu di antara sekian banyak ungkapan kegelisahan para peserta dalam merespons isu kepemiluan. Mereka mencermati isu-isu kepemiluan dari berbagai media selama beberapa bulan terakhir.
Menariknya, dalam kegiatan dikpol yang diasumsikan panitia direspons apatis peserta, ternyata berbanding terbalik. Para peserta antusias mengikuti dan merespons materi tentang kepemiluan yang disampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Fakta yang terpotret dari kegiatan dikpol di Kabupaten Purworejo itu, setidaknya mengoreksi pandangan Pirie dan Worcester (1998) serta Haste dan Hogan (2006).
Dalam paradigma klasik, generasi milenial dianggap sebagai kelompok masyarakat paling acuh dengan persoalan politik, cenderung tidak berminat, dan bahkan sinis terhadap berbagai lembaga politik serta pemerintahan.
Arus informasi yang semakin deras tersaji melalui berbagai kanal media, faktanya mampu meningkatkan ketertarikan generasi milenial terhadap isu-isu politik maupun pemerintahan.
Milenial atau yang juga dikenal sebagai Generasi Y adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X).
Dalam beberapa studi dan penelitian, para ahli biasanya menggunakan awal tahun 1980-an sebagai kelahiran kelompok ini, sedangkan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Artinya, dalam perspektif politik, kelompok masyarakat yang termasuk generasi ini secara normatif sudah memiliki hak pilih dalam pelaksanaan pemilu yang akan digelar pada 17 April 2019.
Berdasarkan proses penyusunan daftar pemilih, diketahui bahwa jumlah pemilih milenial ternyata memang sangat signifikan. Persentasenya diperkirakan antara 35 sampai 40 persen, yang secara kuantitatif jumlahnya sekitar 70 juta, bahkan sampai 80 juta orang dari total keseluruhan pemilih.
Hal itu, artinya keberadaan para pemilih milenial ini sangat menentukan bagaimana warna Pemilu 2019.
Suara dari para pemilih milenial inipun menjadi target yang diperebutkan oleh peserta pemilu melalui strategi-strategi pemenangan dengan memproduksi isu-isu dan simbol-simbol politik yang menarik pemilih milenial.
Desain Peran
Jika para peserta pemilu telah menempatkan pemilih milenial pada posisi yang sedemikian penting, bagaimana dengan penyelenggara pemilu mendesain peran mereka agar bisa memberikan kontribusi dalam menyukseskan Pemilu 2019?
Sebab, tidak ada alasan pembenar untuk mengabaikan mereka, apalagi masih menganggap mereka sebagai kelompok yang acuh terhadap persoalan politik dan kepemiluan.
Oleh karena itu, program-program untuk mendorong pemilih milenial melek pemilu layak untuk dipertimbangkan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merumuskan terminologi pemilu sebagai sebuah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melihat frasa pengertian pemilu tersebut, sebenarnya sudah sangat jelas dan terang benderang, bahwa esensi pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pranata-pranata teknis yang dirumuskan dalam kerangka penyelenggaraan pemilu tentu harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan yang lain.
Dalam penyelenggaraan pemilu, rakyat, termasuk pemilih milenial, harus diposisikan sebagai subjek pemilu, bukan sebagai objek pemilu yang hanya dieksploitasi suaranya untuk sekadar memberikan legitimasi hasil pemilu.
Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu mulai mengembangkan program-program pemilih milenial melek pemilu.
Berbagai program itu, harus menempatkan pemilih milenial bukan sekadar objek, akan tetapi sebagai subjek yang terlibat langsung dalam kegiatan penyelenggaraan pemilu di bidang pengawasan.
Kerangka hukumnya mendasarkan pada tugas bawaslu sebagaimana diamanatkan Pasal 94 Undang-Undang 7 Tahun 2017. Bawaslu bertugas meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. Pada tataran operasional, tugas tersebut diterjemahkan oleh bawaslu melalui program pengawasan partisipatif.
Upaya mendorong pemilih milenial melek pemilu ini memiliki urgensi dengan program pengawasan partisipastif.
Para pemilih milenial diajak mengambil bagian secara langsung dalam kegiatan pengawasan pemilu. Hal itu, seperti sudah intens dilakukan Bawaslu dengan menjadikan para pemilih milenial sebagai agen-agen pengawasan melalui program-program pengembangan pengawasan partisipatif yang didesain memiliki daya tarik bagi kelompok pemilih milenial.
Langkah Konkret
Langkah konkret tersebut seperti dilakukan Bawaslu Provinsi Jawa Tengah. Program Kartun Kawal Pemilu (Kakap) dan Sajak Pemilu yang baru saja dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah, bagian dari upaya pelibatan para pemilih milenial yang memiliki gereget di bidang seni kartun dan dunia sastra, agar mereka memiliki ruang dan media aktualisasi karya yang dapat dikontribusikan dalam kegiatan pengawasan pemilu.
Kreativitas dan inovasi untuk mendorong pemilih milenial melek pemilu juga banyak digagas bawaslu kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, seperti lomba vlog, lomba foto pengawasan pemilu, lomba poster pengawasan pemilu. Kegiatan itu, langkah konkret bawaslu dalam mengembangkan pengawasan pemilu partisipatif.
Program lain dalam pelibatan para pemilih milenial dalam pengawasan pemilu di Jawa Tengah adalah mengundang 100 pelajar pengurus OSIS SMA/MA dan SMK dan anggota pramuka di setiap kabupaten/kota dalam kegiatan bimbingan teknis pengawasan partisipatif.
Jika diakumulasikan dari seluruh kabupaten/kota, setidaknya sudah 3.500 pelajar pemilih milenial yang digandeng bawaslu di Jawa Tengah dalam kegiatan pengawasan pemilu partisipatif. Jumlah itu belum termasuk yang direkrut Bawaslu Provinsi Jateng.
Mereka diorganisasi secara sistematis melalui jaringan-jaringan media komunikasi, seperti grup WhatsApp, untuk memberikan informasi-informasi seputar pengawasan pemilu. Hasilnya ternyata sangat efektif.
Urgensi program pengawasan partisipastif dengan mendorong pemilih milenial melek pemilu itu, seperti dinisbahkan Ketua Bawaslu RI Abhan, bertujuan menjadikan pemilu berintegritas dan bermartabat, mencegah terjadinya konflik, mendorong tingginya partisipasi publik, meningkatkan kualitas demokrasi, serta membentuk karakter dan kesadaran politik generasi milenial.
Suatu kesadaran kolektif pemilih milenial bahwa mereka sesungguhnya pemegang kedaulatan dan berhak sepenuhnya menjadi subjek pemilu, bukan sekadar objek pemilu. Semoga!
*) Penulis Ketua Bawaslu Kabupaten Purworejo