Tahun politik berenergi ramah
Keramahan baru saja ditunjukkan kepada masyarakat dunia oleh bangsa Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games selama 18 Agustus-2 September 2018.
Pujian tanpa basa basi mengalir deras dari berbagai kalangan. Kalau pujian datang dari dalam negeri. Itu mungkin biasa. Akan tetapi, ketika hadirnya pujian menggelora dari luar negeri. Itu istimewa.
Ambil contoh saja, pujian dikemukakan Presiden Dewan Olimpiade Asia Sheikh Ahmad al Fahad al-Sabah saat penutupan Asian Games 2018, Minggu (2/9) malam. Keramahan masyarakat Indonesia menjadi bagian dari energi Asia.
Asia, katanya, tidak akan melupakan Indonesia dengan masyarakatnya yang ramah dan menyambut para tamu serta peserta Asian Games 2018.
Larut dalam pujian mereka akan menjadikan diri lebai, demikian pula menggelorakan pujian oleh diri sendiri, namanya narsis kebangetan.
Apalagi subjek pujian itu menyangkut kepribadian Indonesia yang sesungguhnya telah membumi dan diwariskan nenek moyang bangsa hingga saat ini. Keramahan itu pribadi luhur bangsa.
Tantangan untuk selalu menghadirkan keramahan bangsa, akan hadir dalam tahun politik menuju puncaknya, saat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun depan. Tahapan tahun politik itu telah berlangsung saat ini.
Bagian dari putaran roda tahun politik tempo hari, masih diwarnai ungkapan saling merendahkan antarkubu, khususnya di media sosial. Situasi itu membuat keramahan bangsa seakan terpinggirkan. Setiap kubu, bakal capres petahana dan penantang, memiliki alasan pembenaran masing-masing. Terjadilah perang tanda pagar (tagar), "#2019GantiPresiden" dan "#JokowiDuaPeriode".
Tagar yang awalnya piranti dunia maya, diwujudkan dalam aksi nyata. Meskipun di dunia maya, perang tagar itu tetaplah meminggirkan karakater keramahan. Apalagi saat ini telah merembet ke jagat nyata. Orang Jawa boleh jadi akan mengatakan "ora empan papan" yang artinya tak tepat tempat.
Ingatlah analogi disampaikan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi bahwa kompetisi politik sebagai air yang mengisi setengah gelas. Tinggal siapa yang memandang bahwa gelas itu setengahnya berisi air atau gelas itu setengahnya kosong.
Ketika kegembiraan bersama atas raihan medali emas Asian Games diungkapkan pesilat Hanifan Yudani Kusuma dengan berselimut Sang Merah Putih lalu merangkul Jokowi dan Prabowo, itu bisa simbolisasi jurus sapuan kepada pihak-pihak yang saling berperang ungkapan dalam tahun politik ini.
Ungkapan sang pesilat, Jokowi, dan Prabowo, "Semuanya untuk Indonesia", tentu bisa digiring ke arena tahun politik. Bendera Merah Putih yang menyelimuti tahun politik itu, menyuarakan keramahan pesta demokrasi.
Oleh karena keramahan itu Indonesia banget, tahun politik pun harus menghadirkan wajah Indonesia tersebut. Di dalam tahun politik ini, sepatutnya bergulir juga semangat "Semuanya untuk Indonesia", sedangkan keramahan menjadi jembatan menyatukan perbedaan kepentingan dan sikap politik.
Pesta demokrasi dalam tahun politik ini, mungkin tak kalah hebatnya bila mengusung semangat "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Wujudnya apa? Kemeriahan pesta itu sudah seharusnya tanpa ungkapan saling merendahkan. Yang pasti, pesta itu berupa adu program, visi, dan misi secara ramah, bukan hujatan.
Rakyat sebagai pemilik mutlak suara supaya memberikan hak suara masing-masing bukan bersemangat seteru. Akan tetapi, mereka membawa energi ramah menuju tempat pemilihan. Kontestasi politik dari tataran elite mengalir hingga tingkat rakyat itu, "Semuanya untuk Indonesia".
Pujian tanpa basa basi mengalir deras dari berbagai kalangan. Kalau pujian datang dari dalam negeri. Itu mungkin biasa. Akan tetapi, ketika hadirnya pujian menggelora dari luar negeri. Itu istimewa.
Ambil contoh saja, pujian dikemukakan Presiden Dewan Olimpiade Asia Sheikh Ahmad al Fahad al-Sabah saat penutupan Asian Games 2018, Minggu (2/9) malam. Keramahan masyarakat Indonesia menjadi bagian dari energi Asia.
Asia, katanya, tidak akan melupakan Indonesia dengan masyarakatnya yang ramah dan menyambut para tamu serta peserta Asian Games 2018.
Larut dalam pujian mereka akan menjadikan diri lebai, demikian pula menggelorakan pujian oleh diri sendiri, namanya narsis kebangetan.
Apalagi subjek pujian itu menyangkut kepribadian Indonesia yang sesungguhnya telah membumi dan diwariskan nenek moyang bangsa hingga saat ini. Keramahan itu pribadi luhur bangsa.
Tantangan untuk selalu menghadirkan keramahan bangsa, akan hadir dalam tahun politik menuju puncaknya, saat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun depan. Tahapan tahun politik itu telah berlangsung saat ini.
Bagian dari putaran roda tahun politik tempo hari, masih diwarnai ungkapan saling merendahkan antarkubu, khususnya di media sosial. Situasi itu membuat keramahan bangsa seakan terpinggirkan. Setiap kubu, bakal capres petahana dan penantang, memiliki alasan pembenaran masing-masing. Terjadilah perang tanda pagar (tagar), "#2019GantiPresiden" dan "#JokowiDuaPeriode".
Tagar yang awalnya piranti dunia maya, diwujudkan dalam aksi nyata. Meskipun di dunia maya, perang tagar itu tetaplah meminggirkan karakater keramahan. Apalagi saat ini telah merembet ke jagat nyata. Orang Jawa boleh jadi akan mengatakan "ora empan papan" yang artinya tak tepat tempat.
Ingatlah analogi disampaikan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi bahwa kompetisi politik sebagai air yang mengisi setengah gelas. Tinggal siapa yang memandang bahwa gelas itu setengahnya berisi air atau gelas itu setengahnya kosong.
Ketika kegembiraan bersama atas raihan medali emas Asian Games diungkapkan pesilat Hanifan Yudani Kusuma dengan berselimut Sang Merah Putih lalu merangkul Jokowi dan Prabowo, itu bisa simbolisasi jurus sapuan kepada pihak-pihak yang saling berperang ungkapan dalam tahun politik ini.
Ungkapan sang pesilat, Jokowi, dan Prabowo, "Semuanya untuk Indonesia", tentu bisa digiring ke arena tahun politik. Bendera Merah Putih yang menyelimuti tahun politik itu, menyuarakan keramahan pesta demokrasi.
Oleh karena keramahan itu Indonesia banget, tahun politik pun harus menghadirkan wajah Indonesia tersebut. Di dalam tahun politik ini, sepatutnya bergulir juga semangat "Semuanya untuk Indonesia", sedangkan keramahan menjadi jembatan menyatukan perbedaan kepentingan dan sikap politik.
Pesta demokrasi dalam tahun politik ini, mungkin tak kalah hebatnya bila mengusung semangat "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Wujudnya apa? Kemeriahan pesta itu sudah seharusnya tanpa ungkapan saling merendahkan. Yang pasti, pesta itu berupa adu program, visi, dan misi secara ramah, bukan hujatan.
Rakyat sebagai pemilik mutlak suara supaya memberikan hak suara masing-masing bukan bersemangat seteru. Akan tetapi, mereka membawa energi ramah menuju tempat pemilihan. Kontestasi politik dari tataran elite mengalir hingga tingkat rakyat itu, "Semuanya untuk Indonesia".