Puncak kemarau berkelindan musim festival
Puncak musim kemarau 2018 diprakirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tiba antara Agustus hingga September mendatang.
Berbagai agenda yang melibatkan massa di ruang terbuka bakal berlangsung selama musim kemarau. Bisa dipahami hal itu karena perhelatan semacam itu saat puncak kemarau, menjadi tidak terkendala jatuhnya hujan. Dengan demikian, hajatan bersama diperkirakan berjalan lancar dan menghadirkan daya pikat lebih kuat.
Tak heran jika informasi berbagai festival seni budaya bersifat massal dengan arena di ruang terbuka seakan terasa menyeruak untuk dihadirkan saat kemarau berada di puncak musimnya.
Sebut saja sebagai contoh, sejumlah agenda festival seni budaya di beberapa tempat di Jawa Tengah selama puncak kemarau tahun ini, Dieng Culture Festival di Desa Wisata Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara sebagai agenda tahunan kesembilan, pada 3-5 Agustus 2018 dan Festival Perahu Pasir atau Festival Serayu Banyumas di kawasan Bendung Gerak Serayu Desa Tambak Negara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada 11-12 Agustus 2018.
Selain itu, Festival Lembah Merapi di Gunung Gono, Desa Banyubiru, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang pada 10-12 Agustus 2018 dan Festival Lima Gunung XVII pada waktu yang sama, namun diselenggarakan secara mandiri oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung dengan lokasi di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang.
Di Solo, sebagai contoh juga, ada agenda tahunan berupa Festival Payung Indonesia yang bakal digelar di Istana Mangkunegaran Kota Surakarta pada 20 Agustus hingga 8 September 2018. Ada juga pertunjukan Solo International Performing Arts dengan lokasi di dalam bangunan cagar budaya Benteng Vastenburg di pusat kota itu pada 6-8 September 2018.
Belum lagi, selama Agustus, setiap tahun masyarakat bahkan hingga tingkat rukun tetangga dan perumahan, menggelar acara pesta lokal secara beruntun yang dikemas masing-masing untuk menghadirkan sang meriah, cerdas, rileks, dan memikat. Acara mereka itu dikenal sebagai "tujuhbelasan" atau "pitulasan" karena dorongan syukur bersama atas hari kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Berbagai agenda festival dan pesta masyarakat itu berpayungkan puncak musim kemarau tahun ini.
Festival memang dimengerti sebagai agenda pesta untuk menghadirkan kemeriahan dan membuat gembira masyarakat banyak.
Tak jarang, festival dipraktikan sebagai kemasan untuk menjuluki suatu ajang penilaian atau lomba. Ihwal itu pun menghadirkan kemeriahan dan kegembiraan warga. Penjurian atas penampilan peserta festival seperti itu juga menjadi kekuatan tersendiri untuk mengungkit motivasi kepesertaan. Siapa yang tidak bangga dan bahagia menjadi juara atau meraih titel dalam suatu ajang?
Tentu saja festival yang diputuskan penyelenggaranya bukan sebagai ajang penilaian kejuaraan, namun untuk menyerap secara dalam atas pemaknaan nilai-nilai, sebagaimana diungkapan Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto sebagai "memancing yang dalam", juga menghadirkan makna atas bahagia dan meriah.
Semoga saja kegembiraan bersama masyarakat melalui berbagai festival berpayung puncak kemarau tahun ini, juga menjadi daya redam kuat terhadap makin panasnya tahun politik karena bertepatan dengan tahapan pendaftaran pasangan bakal calon presiden dan wakilnya masing-masing.
Oleh karena gaung tahapan pesta demokrasi dengan ujung tombak membara partai politik tersebut selalu dikapitalisasi beragam narasi pembenaran dan peyakinan para elite masing-masing sehingga bisa membelah masyarakat dalam kubu-kubu dan kompetisi politik, maka berbagai festival itu pun memiliki guna alternatif yang penting, yakni sebagai filter publik dalam menjaga persatuan, kesatuan, dan jagat "pasrawungan".
Selamat datang puncak kemarau, pemayung kegembiraan berfestival pada tahun politik!
Berbagai agenda yang melibatkan massa di ruang terbuka bakal berlangsung selama musim kemarau. Bisa dipahami hal itu karena perhelatan semacam itu saat puncak kemarau, menjadi tidak terkendala jatuhnya hujan. Dengan demikian, hajatan bersama diperkirakan berjalan lancar dan menghadirkan daya pikat lebih kuat.
Tak heran jika informasi berbagai festival seni budaya bersifat massal dengan arena di ruang terbuka seakan terasa menyeruak untuk dihadirkan saat kemarau berada di puncak musimnya.
Sebut saja sebagai contoh, sejumlah agenda festival seni budaya di beberapa tempat di Jawa Tengah selama puncak kemarau tahun ini, Dieng Culture Festival di Desa Wisata Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara sebagai agenda tahunan kesembilan, pada 3-5 Agustus 2018 dan Festival Perahu Pasir atau Festival Serayu Banyumas di kawasan Bendung Gerak Serayu Desa Tambak Negara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada 11-12 Agustus 2018.
Selain itu, Festival Lembah Merapi di Gunung Gono, Desa Banyubiru, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang pada 10-12 Agustus 2018 dan Festival Lima Gunung XVII pada waktu yang sama, namun diselenggarakan secara mandiri oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung dengan lokasi di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang.
Di Solo, sebagai contoh juga, ada agenda tahunan berupa Festival Payung Indonesia yang bakal digelar di Istana Mangkunegaran Kota Surakarta pada 20 Agustus hingga 8 September 2018. Ada juga pertunjukan Solo International Performing Arts dengan lokasi di dalam bangunan cagar budaya Benteng Vastenburg di pusat kota itu pada 6-8 September 2018.
Belum lagi, selama Agustus, setiap tahun masyarakat bahkan hingga tingkat rukun tetangga dan perumahan, menggelar acara pesta lokal secara beruntun yang dikemas masing-masing untuk menghadirkan sang meriah, cerdas, rileks, dan memikat. Acara mereka itu dikenal sebagai "tujuhbelasan" atau "pitulasan" karena dorongan syukur bersama atas hari kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Berbagai agenda festival dan pesta masyarakat itu berpayungkan puncak musim kemarau tahun ini.
Festival memang dimengerti sebagai agenda pesta untuk menghadirkan kemeriahan dan membuat gembira masyarakat banyak.
Tak jarang, festival dipraktikan sebagai kemasan untuk menjuluki suatu ajang penilaian atau lomba. Ihwal itu pun menghadirkan kemeriahan dan kegembiraan warga. Penjurian atas penampilan peserta festival seperti itu juga menjadi kekuatan tersendiri untuk mengungkit motivasi kepesertaan. Siapa yang tidak bangga dan bahagia menjadi juara atau meraih titel dalam suatu ajang?
Tentu saja festival yang diputuskan penyelenggaranya bukan sebagai ajang penilaian kejuaraan, namun untuk menyerap secara dalam atas pemaknaan nilai-nilai, sebagaimana diungkapan Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto sebagai "memancing yang dalam", juga menghadirkan makna atas bahagia dan meriah.
Semoga saja kegembiraan bersama masyarakat melalui berbagai festival berpayung puncak kemarau tahun ini, juga menjadi daya redam kuat terhadap makin panasnya tahun politik karena bertepatan dengan tahapan pendaftaran pasangan bakal calon presiden dan wakilnya masing-masing.
Oleh karena gaung tahapan pesta demokrasi dengan ujung tombak membara partai politik tersebut selalu dikapitalisasi beragam narasi pembenaran dan peyakinan para elite masing-masing sehingga bisa membelah masyarakat dalam kubu-kubu dan kompetisi politik, maka berbagai festival itu pun memiliki guna alternatif yang penting, yakni sebagai filter publik dalam menjaga persatuan, kesatuan, dan jagat "pasrawungan".
Selamat datang puncak kemarau, pemayung kegembiraan berfestival pada tahun politik!