Semarang, Antara Jateng - Lilis Suryani, perempuan paruh baya itu terlihat mondar mandir, sesekali berhenti dekat tempat tidur suaminya yang tengah diinfus di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Kota Semarang, menanti jatah kamar.
Ibu empat anak dengan potongan rambut cepak sebahu yang terlihat sebagian rambutnya diwarna cokelat itu, mengaku sudah puluhan kali masuk rumah sakit menunggu suami yang diagnosa beragam penyakit, seperti usus buntu, jantung, dan yang terakhir pada 10 September 2016, suaminya didiagnosa penyakit paru-paru.
"Sudah bertahun-tahun keluar masuk rumah sakit. Hutang di mana-mana dan tidak terhitung jumlahnya. Belum lagi ditambah biaya anak sekolah," kata Lilik mengenang beban keuangannya saat itu.
Beban keuangan Lilis Suryani berkurang sejak mendaftarkan diri pada program mandiri Jamsostek --saat ini program tersebut menjadi bagian program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) atau masyarakat lebih mengenalnya dengan BPJS Kesehatan.
Jaminan
Kasus yang dialami Lilis Suryani tersebut, juga dialami Solikah (36), warga Keser, Kabupaten Blora yang harus menghadapi kenyataan anak ketiganya didiagnosa sakit Jantung. Sejak usia dua bulan, 10 kuku jari tangan anak perempuan satu-satunya itu membiru dan diikuti batuk kering yang tidak kunjung sembuh.
Setelah melewati pengobatan lama di Blora, saat usia anaknya enam bulan, pengobatan dilanjutkan di Semarang, namun kemudian dirujuk ke rumah sakit Jantung di Jakarta, karena dokter khawatir usia anaknya tidak lama.
Mendengar kekhawatiran tersebut, sontak menjadikan Solikah berminggu-minggu tidak "berhenti" menangis, mudah pingsan, dan mengurung diri karena sedih saat melihat orang lain tertawa.
Semangat dari keluarga dan adanya jaminan pengobatan gratis dari BPJS Kesehatan yang kemudian mengubah Solikah berangsur-angsur bisa menerima keadaan dan bersedia berobat ke Jakarta.
"Alhamdulillah, dari awal berobat hingga nanti berobat di Jakarta, semuanya gratis karena ditanggung BPJS Kesehatan," kata Irham Majid, suami Solikah.
Ungkapan syukur menggunakan kartu BPJS Kesehatan juga dirasakan Suminah (46), warga Kabupaten Grobogan yang tidak mengeluarkan biaya pengobatan sama sekali selama suaminya menjalani pengobatan Leukemia.
Jasmani (48), suami Suminah harus dirawat di rumah sakit di Kota semarang berbulan-bulan karena perlu dilakukan pemulihan kondisi dan menjalani suntikan Sitostatika (Kemoterapi) rutin.
Ia mengaku seluruh biaya berobat ditanggung BPJS Kesehatan, tetapi masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan, seperti tenaga, waktu, dan siap mental menerima kondisi yang ada.
Hal itu juga dirasakan Lilis Suryani yang mengaku harus tetap bekerja, malam tidur di rumah sakit menunggu suami, pagi harus pulang untuk menyiapkan kebutuhan anak sekolah.
"Saya dulu ikut sakit, karena beban hutang, tenaga dan waktu yang terkuras. Puji Tuhan, sekarang ada BPJS Kesehatan, makanya saya sering mengajak orang lain mendaftar BPJS Kesehatan," kata Lilis.
Subsidi Silang
Pada kasus Lilis Suryani, Solikah, dan Suminah hanya merupakan sebagian kecil masyarakat yang merasakan manfaat menggunakan kartu BPJS Kesehatan dan masih banyak masyarakat lainnya yang merasakannya.
Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang Ngargono mengatakan program JKN-KIS atau masyarakat lebih mengenalnya BPJS Kesehatan memiliki konsep subsidi silang.
Bagi masyarakat yang sehat dan tidak menggunakan, memberikan subsidi bagi masyarakat yang sedang sakit agar bisa berobat.
Sifatnya yang subsidi silang, lanjut Ngargono, diperlukan sosialisasi bagi yang sehat dan tidak menggunakan kartu BPJS Kesehatan, jangan pernah merasa rugi, karena preminya berguna untuk orang lain.
Apalagi, meskipun dengan kartu BPJS Kesehatan biaya pengobatan gratis, masyarakat tentu lebih memilih sehat yang merupakan karunia Tuhan yang luar biasa, seperti pameo "Kesehatan tidak ternilai harganya, sampai ketika penyakit itu datang" (Thomas Fuller).