Hari Kamis (12/11) makin merangkak siang, cuaca cerah dengan sinar matahari cukup hangat menyentuh tanah kawasan yang dikelilingi lima gunung di daerah itu, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Jarum jam tepat menunjuk pukul 10.27 WIB, ketika mobil jenazah Uskup Agung Semarang diiringi sejumlah mobil pembawa para pangantar dengan pengawalan aparat kepolisian itu, melewati depan kompleks seminari menengah, tempat pendidikan pertama bagi calon imam Katolik, di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
Para seminaris itupun kemudian mengepalkan jari-jemari tangan kanan masing-masing, lalu meletakkan secara menyilang di dadanya secara bersama-sama.
Mereka dengan sepenuh hati, kemudian melantunkan lagu kebanggaan sebagai seminaris, "Mars Seminari Mertoyudan".
"'Hai putra seminari, selalu sehati. Ikut panggilan suci dengan niat murni. Sedia akan karya bagi Greja bangsa. Karna tujuan kita imamat mulia. Usaha hidup suci, sehat, dan berbudi. Dengan bangga berbakti berjiwa mengabdi. Dalam suka dan duka tetap tabah setia. Demi tujuan kita imamat mulia'," begitu dua bait lagu itu berkumandang.
Lagu "Mars Seminari Mertoyudan" diciptakan oleh Romo J. Schouten S.J., sedangkan teksnya diciptakan oleh Romo A. Soenarja S.J.
Mobil pembawa jenazah Monsinyur Pujasumarta melintas perlahan-lahan di depan mereka berdiri dalam iringan lagu mars para seminaris itu. Jalan raya ke arah Yogyakarta di depan Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan lengang karena ditutup selama beberapa saat oleh kepolisian untuk memberi kesempatan secara leluasa iring-iringan mobil pembawa jenazah Sang Uskup itu.
Usai para seminaris melantunkan mars itu, mereka pun kemudian melambaikan kedua tangan ke arah mobil jenazah. Lambaian tangan-tangan para calon penerus kepemimpinan hirarki gereja Katolik itu, seakan ungkapan bersama-sama mereka, "Selamat jalan Bapak Uskup, selamat berbahagia berjumpa dengan Bapa di Surga".
"Setiap lulusan seminari di sini pasti hafal, paham, dan menghayati mars itu," kata seorang pamong seminaris setempat, Romo Geovani Doddy Kurniawan, yang bersama pamong lainnya dan para seminaris, siang itu melepas kepergiaan Uskup Puja dari pinggir kanan dan kiri ruas Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, di depan kompleks pendidikan dengan halaman luas dan pepohonan rindang itu.
Ia mengatakan bahwa Pujasumarta juga pernah menjalankan tugas keimamannya sebagai pamong bagi para seminaris di Seminari Menengah Mertoyudan.
Pujasumarta yang kelahiran di Surakarta, Jawa Tengah, pada 27 Desember 1949 itu, selama beberapa tahun, mulai 1963, juga mengawali pendidikan imamatnya di Seminari Menengah Mertoyudan untuk kemudian melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan di Jalan Kaliurang Yogyakarta, hingga ditahbiskan sebagai imam Katolik pada 25 Januari 1977.
Selama 1983-1987 dia menempuh pendidikan lanjutan di Universitas St. Thomas Aquinas, Roma, Italia, hingga meraih gelar doktor teologi spiritual.
Pada 1998-2008, Pujasumarta menjabat sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, selama 2008-2010 menjadi Uskup Bandung, dan mulai 12 November 2010 hingga wafatnya pada Selasa (10/11) sekitar pukul 23.30 WIB sebagai Uskup Agung Semarang.
Wilayah gereja Keuskupan Agung Semarang meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah.
Kehidupan imamat Pujasumarta dengan semboyan "Duc In Altum" bersumber dari tulisan Santo Lukas 5:4 dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yang artinya "Bertolaklah ke tempat yang dalam".
Monsinyur Pujasumarta wafat dalam usia 65 tahun. Sekitar dua bulan terakhir sebelum mangkat, ia mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Elisabeth Semarang karena sakit kanker yang dihadapi selama 1,5 tahun terakhir. Rencananya pemakaman di Kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta, pada Jumat (13/11).
Persis pertengahan Oktober lalu, ketika dalam perawatan di R.S. Elisabeth Semarang, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja yang juga Uskup Agung Emiritus Jakarta memberikan sakramen pengurapan orang sakit kepada Monsinyur Pujasumarta, atas permintaan yang bersangkutan.
Monsinyur Pujasumarta yang anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan Hubertus Soekarto Pudjasumarto dan Agnes Soekarti Pudjasumarto itu, walaupun menghadapi sakit, tetap berkarya, menjalankan tugas kegembalaan dengan sepenuh cinta kasih, dan melayani umat.
Ketika iring-iringan kendaraan pembawa jenazah Uskup Pujasumarta tak tampak lagi dari depan Seminari Menengah Mertoyudan, para seminaris pun beranjak meninggalkan tepi jalan raya itu, untuk kembali ke kompleks seminari guna melanjutkan agenda belajarnya.
Sekitar 40 menit kemudian, iring-iringan dengan pengawalan "voorijder" melintas dengan perlahan-lahan di ruas jalan raya Magelang-Yogyakarta, di depan Kantor Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
Ratusan umat, terutama kalangan siswa dari sejumlah persekolahan Katolik di kawasan setempat, dengan didampingi sejumlah biarawati dan biarawan, telah berdiri berjajar sepanjang sekitar 100 meter di tepi kanan dan kiri jalan satu arah menuju Yogyakarta tersebut.
Para umat menaburkan bunga mawar warna merah dan putih ke arah mobil pembawa jenazah Uskup Pujasumarta yang melewati depan mereka berdiri.
Suasana terkesan haru menyelimuti sepanjang jalan tersebut. Jalan beraspal di ruas itu pun terkesan berubah menjadi semarak oleh taburan kembang mawar sebagai lambang cinta mereka kepada Sang Gembalanya selama lima tahun terakhir ini.
"Terima kasih, terima kasih," begitu beberapa kali terdengar ungkapan dari Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Romo Fransiskus Xaverius Sukendar Wignyo Sumarto.
Dari mobil warna hitam dengan kaca jendela samping dalam keadaan terbuka, yang melaju di belakang mobil jenazah, Romo Sukendar yang selama ini menjadi orang kedua dalam hirarki gereja keuskupan setempat itu, seakan mengungkapkan apresiasi umat kepada Sang Uskup.
Koordinator Komisi Komunikasi Sosial Kevikepan Kedu Anton Wijayanto menjelaskan tentang gerakan spontan dan tulus oleh umat Katolik setempat untuk mengungkapkan cinta mereka kepada Monsinyur Pujasumarta.
"Umat mencintai gembalanya. Bapak Uskup dekat dengan mereka. Selama ini beliau sering hadir di tengah-tengah mereka, dan berbicara banyak hal tentang kehidupan menggereja dan bermasyarakat," ucapnya.
Umat setempat membangun kenangan terakhir dengan Monsinyur Pujasumarta dengan cara melepas kepergiaannya dari depan seminari dan Muntilan.
Seminari Menengah Mertoyudan pada 2015 berusia 103 tahun, sedangkan Muntilan dengan persekolahan Katolik yang dirintis oleh Romo Van Lith (Franciscus Georgius Josephus Van Lith S.J.) 152 tahun lalu, memiliki arti penting bagi perkembangan gereja Katolik di Indonesia. Perjalanan sejarah pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan pun dirintis dari Muntilan.
Dari Semarang, tempatnya memimpin keuskupan, menuju peristirahatan terakhir di Yogyakarta, Monsinyur Pujasumarta pun melewati seminari dan Muntilan.