Massa seakan tak mau beranjak dari sekitar panggung festival di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Andong, Minggu (16/8), sedari tengah siang hingga menjelang magrib itu.
Mereka yang datang dari kawasan desa-desa setempat dan berbagai kota di Indonesia serta luar negeri, menyaksikan dengan bahagia dan riang atas rangkaian agenda padat festival yang diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Festival Lima Gunung XIV berlangsung pada 14-17 Agustus 2015 di dua lokasi, yakni Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan dan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Sekitar 800-1.000 orang tampil dalam festival yang antara lain berupa pementasan tarian tradisional, kontemporer, dan kolaborasi, pentas musik modern dan tradisional, pembacaan puisi, monolog, kirab budaya, sarasehan dan pidato kebudayaan, ziarah, peresmian masjid, peluncuran buku, peringatan HUT Ke-70 RI, pentas wayang kulit dan ketoprak, serta pameran seni rupa.
Puncak acara pada Minggu (16/8) di Gunung Andong hadir sejumlah tokoh terkemuka, antara lain K.H . Mustofa Bisri (Gus Mus) yang juga pengasuh Pondok Pesantren Raudhatuh Tholibin, Leteh, Kabupaten Rembang, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga motor penggerak Gusdurian, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid).
Selain itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, penyair Semarang Triyanto Triwikromo, Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta Hariadi Saptono, dan pimpinan Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang yang juga tokoh spiritual Komunitas Lima Gunung K.H. Muhammad Yusuf Chudlori, dan tentu saja Presiden Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut.
Tidak tanggung-tanggung, salah satu pembawa acara puncak festival tahunan komunitas seniman petani itu, adalah Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatingtyas. Ia bertugas penting menjadi pembawa acara, mendampingi dalang Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo.
Para tokoh itu mendapatkan daulat dari panitia untuk mereguk mantra gunung dalam kemeriahan festival serta menebarkannya melalui pidato secara bergantian dalam jeda pementasan berbagai kesenian di atas panggung terbuka berlatar belakang Gunung Andong.
Arena pementasan dan dusun setempat tampak semarak dengan berbagai instalasi seni menggunakan bahan baku alam setempat seperti janur, belarak, dan ranting kering tanaman cabai, garapan Sujono, seorang petinggi Komunitas Lima Gunung bersama warga Mantran Wetan.
Keramahan warga desa menyambut para tamu festival dengan suasana lingkungan yang alami, juga menjadi kesan tersendiri sebagaimana diungkapkan Yenny Wahid bahwa festival tersebut menjadi tempat belajar orang kota seperti dirinya dari Jakarta.
"Saya dari Jakarta hendak belajar semangat istikamah dalam melestarikan tradisi seni dan budaya. Tradisi adalah penjaga identitas bangsa kita di tengah arus globalisasi yang membuat adat dan budaya di negara-negara ini menjadi sama. Ekspresi budaya menjadi hampir sama," katanya.
Ia menyebut tentang sulitnya saat ini mencari apem dan getuk di Jakarta, sedangkan di Jakarta semua orang memakai jeans dan jas, minum kopi starbucks dan makan hamburger yang banyak dijual di toko-toko.
Pelestarian budaya, katanya, sebagai jalan untuk pertahanan indentitas dan kemandirian Bangsa Indonesia dari arus kesejagatan.
Kembali menjadi orang normal, itulah ihwal yang disebut Eros ketika menyampaikan kesannya menghadiri Festival Lima Gunung XIV di kawasan Gunung Andong dengan udara sejuk dan hampir semua masyarakat hidup dari pertanian sayuran.
Ia mengaku berjumpa dengan nilai-nilai keragaman hayati melalui berbagai pementasan kesenian dalam pesta kebudayaan yang diselenggarakan para seniman petani tersebut.
"Dua tiga hari ini, saya kembali jadi manusia, kalau di Jakarta tidak jelas. Datang ke sini (Festival Lima Gunung, red.) kembali ke jalan yang benar. Yang menarik, di sini bukan Islam Nusantara tetapi Islam ragam hayati," katanya.
Dalam bahasa jawa, Gus Mus memperkirakan betapa Allah SWT menyayangi orang desa karena kehidupannya yang penuh tantangan dan kegembiraan itu, selalu dimaknai sebagai bagian dari nilai-nilai syukur dan sabar. Orang desa, demikian perkiraan Gus Mus, selalu menggembirakan Allah.
"'Wong ndeso njagi kamanungsane, ora pengin dadi boyo utowo macan. Yen buaya darat itu wong kutho' (Orang desa menjaga kemanusiaannya, tidak ingin menjadi buaya atau macan. Kalau buaya darat itu orang kota, red.)," katanya.
Kehendak kota yang selalu untuk mencengkeram desa, kata Gus Mus dalam pidato yang seakan membius massa yang hadir dalam festival itu, sudah selayaknya dilawan oleh orang desa.
Orang desa yang kemudian menjalani kehidupan di kota, katanya, hendaknya selalu membawa nilai-nilai syukur, sabar, hidup sederhana, tulus, dan gotong-royong di kota dan bukannya tergerus oleh keruwetan dan keserakahan kota.
Pada kesempatan itu, ia bercerita tentang perbedaan keramahan orang desa dan kota, serta ekspresi kegembiraan orang desa dan kota yang saling bertolak belakang.
"'Sing kenemenen ki wong kutho. Wong ndeso wis sabar. Kiro-kiro iso ora wong ndeso nglawan wong kutho'. (Yang keterlaluan itu orang kota. Orang desa sudah sabar. Kira-kira apa bisa orang desa melawan orang kota, red.)," katanya.
Festival Lima Gunung XIV seakan menjadikan Gus Mus memperkukuh kekuatan orang desa dalam menghadapi arus kesejagatan yang datang dari kota. Tentu saja, apa yang hendak ditebarkan Gus Mus melalui pesan penuh "mantra" dalam festival itu adalah perlawanan terhadap nilai-nilai yang merusak kebudayaan bangsa dan kemanusiaan.
Nilai-nilai kehidupan masyarakat desa dan gunung yang sabar, tulus, sederhana, guyup, dan penuh syukur, itulah kiranya apa yang dikatakan sebagai "mantra gunung", mantra yang menjadi nilai kebaikan untuk menyerbu kehidupan kota, menghadapi dampak buruk era kesejagatan.
Tonny Haryanto dari Jakarta yang menjadi peraya Festival Lima Gunung sejak pertama pada 2002 hingga ke-14 pada 2015, di dalam Masjid Al-Mubarok Dusun Mantran Wetan, siang itu memeluk erat sahabatnya yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto karena kebahagiaannya mengikuti perjalanan festival tersebut selama ini.
Pengajar Sosiolinguistik Jurusan Studi Komunikasi Internastional Universitas Akita Jepang, Profesor Yoshimi Miyake, terlihat matanya berkaca-kaca tanda gembira menyaksikan puncak acara Festival Lima Gunung XIV yang menjelang magrib itu, antara lain ditandai dengan pementasan berturut-turut tarian soreng, geculan bocah, dan musik truntung gunung, serta kuda lumping massal dengan melibatkan 250 pemain dari desa-desa sekitar.
Sambil duduk di ruang tamu rumah warga di samping panggung pementasan, seorang petinggi Komunitas Lima Gunung, Riyadi, mengungkapkan kegembiraan tidak terkira atas "Mantra Gunung" yang terkuak dalam kemeriahan festival.
Ia mengemukakan kesannya dengan kalimat singkat berbahasa jawa atas festival itu, "'Atiku mak gregel'. (Hatiku bergetar, red.)".