Pagi itu, langit di atas Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, mendung putih menggantung. Namun, suasana tampak cerah karena matahari meneroboskan pendar cahayanya hingga menerpa kawasan setempat.
Udara dingin berangsur-angsur terasakan menjadi hangat. Puncak Gunung Andong di ketinggian sekitar 1.700 meter dari permukaan air laut di barat laut dusun itu terlihat berbalut kabut, bagaikan payung bundar warna putih.
Raut wajah para warga baik laki-laki, perempuan, tua, maupun muda, juga tampak cerah, diperkuat dengan instalasi beberapa penjor dan gunungan terbuat dari jerami, yang semarak menghiasi sepanjang jalan aspal di dusun setinggi 1.200 meter dari permukaan air laut itu.
Puluhan "ancak" (tempat dari tatanan bambu untuk wadah sesaji) diletakkan berderet sepanjang 500 meter di tengah jalan aspal dusun setempat itu, dengan tumpeng nasi putih ukuran relatif kecil beserta lauk dan sayuran pelengkapnya.
Tabuhan bende dan truntung, pengiring "cucuk lampah" empat penari "Jaran Kepang Papat", dihentikan. Setiap warga meletakkan tumpeng ayam dengan nasi dan lauk pauknya di atas gelaran terpal di halaman rumah kepala dusun (kadus) setempat, Handoko.
"Tumpeng Jangka", satu-satunya tumpeng terbesar dalam arak-arakan itu, dengan nasi berbentuk gunungan setinggi satu meter dihiasi berbagai sayuran panenan petani setempat seperti lombok, buncis, terung, kubis, sawi, tomat, dan ingkung, diletakkan oleh empat pengusungnya di teras rumah kadus, di pinggir dusun yang menghadap ke Gunung Andong.
Kalau mereka mengusung "Tumpeng Jangka" dari satu ujung dusun hingga halaman rumah kadusnya, barangkali bukan semata-mata agar acara tradisi "Saparan Mantran" setiap hari Rabu Pahing, bulan Sapar, dalam kalender Jawa itu, terasakan meriah.
Akan tetapi, agaknya arak-arakan "Tumpeng Jangka" itu juga sebagai simbol atas kebersamaan dan kekeluargaa mereka untuk mempersembahkan secara total kepada Gusti, atas apa yang mereka miliki, yakni hasil pertanian hortikultura.
Pertanian aneka sayuran menghidupi keseharian warga setempat yang berjumlah sekitar 140 kepala keluarga, atau sekitar 900 jiwa. Setiap keluarga membawa tumpeng ayam dalam acara itu.
Warga kemudian beramai-ramai duduk bersila dan bersimpuh di atas terpal plastik yang digelar di halaman rumah kadus, sedangkan para pemuka masyarakat setempat seperti Kadus Handoko, kaum dusun, Muhammad Tohir, pimpinan seniman petani Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan, Supadi Haryanto, bersila di atas karpet di ruang tamu rumah itu.
Salah satu kamar di rumah kadus setempat telah tertata berbagai sesaji seperti buah pisang, pepaya, dan salak, rokok keretek, jenang, jadah, wajik, kopi, teh, kemenyan, gula kacang, gula batu, kacang godok, sirih, pinang, kembang mawar, telur ayam kampung, ingkung, nasi, serta jajan pasar. Satu "ancak" berisi sesaji yang lengkap diletakkan di genting rumah kadus.
Kadus Handoko kemudian secara seremonial berpidato menggunakan bahasa Jawa untuk menjelaskan tentang tradisi Saparan Mantran yang dijalani masyarakat setempat pada Rabu (19/12) itu.
"Kita berkumpul di sini melakukan tradisi saparan merti dusun, bersyukur karena berkah pertanian selama ini. Semoga di kemudian hari Tuhan tetap memberikan berkah melalui alam dan pertanian kita," katanya.
Tradisi itu dirangkai dengan pementasan berbagai kesenian tradisional baik dari dusun setempat maupun desa-desa tetangga hingga malam hari di halaman rumah seorang warga Dusun Mantran Wetan lainnya.
Berbagai pementasan kesenian yang digelar antara lain tarian tradisional Jarang Kepang Papat, Topeng Ireng, Kuda Lumping, Drama Tari Gunung, Jaran Sari, dan Topeng Saujana.
Kaum Dusun Mantran Wetan, Muhammad Thohir pun kemudian melanjutkan dengan mendaraskan doa-doa secara Islami selama beberapa waktu.
Seluruh warga mengangkat kedua tangan, seakan memasuki suasana takzim dalam balutan doa yang diulukkan oleh sang kaum itu.
"Masyarakat wilujengan arupi Tumpeng Jangka, katur Gusti, katur Nabi Muhammad SAW, sakgarwa, putra, wayah. Mugi-mugi kanthi panjangka merti dusun, masyarakat pinaringan ayem tentrem, gangsar angupadi rezeki, tansah pinaringan rezeki ingkang barokah, lan kasembadan ingkang sinedya," demikian penggalan doa dalam bahasa Jawa yang dibawakan Thohir.
Kira-kira maksud kalimat doa itu, bahwa warga dusun setempat mempersembahkan kepada Tuhan YME dan Nabi Muhammad SAW berbagai hasil usaha pertanian mereka selama ini yang disimbolkan dalam rupa Tumpeng Jangka.
Mereka berharap dalam kehidupan kemudian hari, selalu terbebas dari berbagai kesulitan dan musibah, hidup tenteram, mudah mendapatkan rezeki yang halal, serta tercapai segala keinginan baik.
Pada kesempatan itu, Thohir juga mengajak warga setempat untuk meletakkan hormat yang tinggi kepada para leluhur dusun, melalui lanjutan ungkapan doanya yang menggunakan berbahasa Jawa itu.
"Dinten punika, kita ugi ngormati dhumateng ingkang sampun bebobak ing Dusun Mantran Wetan mriki (Hari ini, kita juga memberikan penghormatan kepada cikal bakal dusun, red.)," katanya.
Ia juga mengajak warga untuk optimistis menjalani kehidupan sehari-hari di kawasan pertanian Gunung Andong.
"Mugi-mugi Allah SWT ngijabahi tujuan lan maksudipun. Samudayanipun tansaha pinaringan ridha Allah' (Semoga Tuhan merestui, red.)," katanya.
Tradisi Saparan Mantran yang ditandai dengan persembahan "Tumpeng Jangka" dan rangkaian agenda dusun setempat lainnya itu, mereka jalani turun temurun dengan setia, untuk menguatkan doa sederhana nan membumi bagi masyarakat petani Gunung Andong.