Cirebon (Antaranews Jateng) - Kehadiran Matthew Isaac Cohen menarik warga ke Alun-Alun Palimanan di Cirebon pada Rabu malam (1/8), ketika dalang kelahiran Amerika itu tampil membawakan lakon sarempeng berjudul Prabu Palaguna.
Mengenakan batik dan blangkon, Matthew dan rombongan penabuh gamelannya mulai tampil tepat 22.30 WIB, menyuguhkan pagelaran wayang dengan iringan suara gamelan dan suara sinden.
Para penonton bergerak mendekati panggung, bergerombol di kanan, kiri dan belakang panggung, tak lama setelah sang dalang memainkan wayang.
Tidak seperti penonton wayang pada umumnya, yang menyaksikan bayangan wayang dari depan layar berbahan kain, penonton Palimanan memilih menyaksikan langsung di balik layar.
Dalam pertunjukan itu, penonton juga bebas menginterupsi dalang, atau meminta sinden menyanyikan tembang-tembang kesukaan mereka. Sebagian penonton tak segan naik ke panggung dan berjoget saat pesinden "nembang". Interaksi penonton yang demikian, membuat pertunjukan yang mestinya berakhir pukul 00.00 WIB molor sampai 02.00 WIB.
Dalang Cohen, yang sudah 18 tahun menetap di Inggris, tak kaget melihat pemandangan itu. Justru interaksi penonton semacam itu yang membuat dia mencintai Wayang Cirebon.
"Wayang Cirebon cukup berbeda dengan Wayang Solo, dari struktur cerita, dialog, gamelannya dan juga hubungan dengan penonton. Di sini penontonnya bisa dekat dengan dalang, sering interupsi dan mereka bisa meminta lagu yang mereka sukai," kata Cohen, yang mendalang dengan bahasa Cirebonan.
Pada awalnya, belajar Wayang Cirebon tidaklah mudah bagi Cohen, karena dia harus mampu membawakan cerita dengan bahasa Cirebon, berbeda dengan bahasa Jawa Solo yang dia gunakan saat pertama kali belajar memainkan wayang.
Apalagi dia biasanya menggunakan teks saat mendalang, kebiasaan yang membuat dia menjadi bahan guyon kawan-kawan sesama dalang di Cirebon.
"Sama teman-teman di sini dibilang untuk apa pakai teks, langsung saja. Kata-kata ya harus saya temukan sendiri, akhirnya pun saya lepas," kenang dia.
Titik Awal
Cohen mengawali pergaulannya dengan kesenian tradisional Indonesia dengan belajar gamelan di Boston Village Gamelan, Amerika Serikat, tahun 1987. Setahun kemudian, dia mendapatkan beasiswa Fulbright untuk belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.
Selama dekade itu, di Amerika memang sedang terjadi saling-silang budaya Amerika-Asia, mulai dari makanan, kesenian hingga fesyen. Dan bagi Cohen, kebudayaan Asia seperti Jepang, India dan China sangat menarik. Dia berminat mendalami budaya-budaya dari Asia dan akhirnya memilih Indonesia untuk belajar wayang.
"Saat itu saya senang main gamelan walaupun hanya bisa memukul gong. Saya senang suasana berkumpul dengan tenang, mendengarkan gamelan juga membuat saya lebih tenang. Saya juga melihat peran dalang itu menarik, karena dia berperan sebagai aktor, pencerita, sutradara, pengarah musik dan ada peran ritus di dalamnya," kata dia.
Namun kala itu dia tidak pernah bermimpi menjadi dalang. Dia awalnya hanya ingin mempelajari wayang sebagai bagian dari upayanya menjadi peneliti budaya.
Saat mendapatkan kesempatan belajar di ISI, dia tidak menyia-nyiakan waktunya. Dalam sehari dia bisa menghabiskan berjam-jam untuk belajar mendalang.
Dan saat mengikuti program studi S3 pada era 90-an, dia memilih Cirebon sebagai tempat penelitian karena saat itu belum banyak peneliti yang mendalami wayang Cirebon.
"Wayang di Cirebon cukup hidup, karena kesenian di sini berbasis pedesaan yang punya kepercayaan cukup kuat terhadap wayang. Mereka masih menggunakan wayang agar panen mereka subur, menyembuhkan orang, mengeluarkan setan dan lainnya," kata dia.
Berbekal berbagai referensi dari banyak sumber, termasuk buku-buku yang dia peroleh dari para dalang dan kaset pita, Cohen mulai mentranskrip cerita-cerita wayang dan belajar mendalang menggunakan Bahasa Cirebon.
"Dulu belajar ya sebisanya. Tapi karena awalnya saya mendalang siang hari, ya dimaklumi penonton. Karena kalau siang yang banyak menonton anak-anak kecil dan orang-orang tua yang sudah tidak bekerja," katanya.
"Tetapi saya tetap belajar, walaupun banyak kesalahan karena dalam Bahasa Cirebon ada juga tata krama dan sopan santun. Saya kumpulkan referensi dari kaset dan ada buku yang saya kumpulkan dari dalang," ia menambahkan.
Kini, guru besar di Royal Holloway University of London ini sangat fasih bercerita menggunakan Bahasa Cirebon. Saat dia mendalang, penonton sudah tidak bisa membedakannya dengan dalang lokal.
Cohen juga mengajari mahasiswanya teknik dasar bermain wayang, seperti cara memegang wayang dan hubungannya dengan irama, serta konsisten berupaya melestarikan wayang.
Ketekunan mendalami dan melestarikan Wayang Cirebon membuat Cohen mendapat gelar kehormatan "Kyai Ngabehi Kanda Buwana" dari Keraton Kacirebonan tahun 2009. (Editor : Maryati).
Mengenakan batik dan blangkon, Matthew dan rombongan penabuh gamelannya mulai tampil tepat 22.30 WIB, menyuguhkan pagelaran wayang dengan iringan suara gamelan dan suara sinden.
Para penonton bergerak mendekati panggung, bergerombol di kanan, kiri dan belakang panggung, tak lama setelah sang dalang memainkan wayang.
Tidak seperti penonton wayang pada umumnya, yang menyaksikan bayangan wayang dari depan layar berbahan kain, penonton Palimanan memilih menyaksikan langsung di balik layar.
Dalam pertunjukan itu, penonton juga bebas menginterupsi dalang, atau meminta sinden menyanyikan tembang-tembang kesukaan mereka. Sebagian penonton tak segan naik ke panggung dan berjoget saat pesinden "nembang". Interaksi penonton yang demikian, membuat pertunjukan yang mestinya berakhir pukul 00.00 WIB molor sampai 02.00 WIB.
Dalang Cohen, yang sudah 18 tahun menetap di Inggris, tak kaget melihat pemandangan itu. Justru interaksi penonton semacam itu yang membuat dia mencintai Wayang Cirebon.
"Wayang Cirebon cukup berbeda dengan Wayang Solo, dari struktur cerita, dialog, gamelannya dan juga hubungan dengan penonton. Di sini penontonnya bisa dekat dengan dalang, sering interupsi dan mereka bisa meminta lagu yang mereka sukai," kata Cohen, yang mendalang dengan bahasa Cirebonan.
Pada awalnya, belajar Wayang Cirebon tidaklah mudah bagi Cohen, karena dia harus mampu membawakan cerita dengan bahasa Cirebon, berbeda dengan bahasa Jawa Solo yang dia gunakan saat pertama kali belajar memainkan wayang.
Apalagi dia biasanya menggunakan teks saat mendalang, kebiasaan yang membuat dia menjadi bahan guyon kawan-kawan sesama dalang di Cirebon.
"Sama teman-teman di sini dibilang untuk apa pakai teks, langsung saja. Kata-kata ya harus saya temukan sendiri, akhirnya pun saya lepas," kenang dia.
Titik Awal
Cohen mengawali pergaulannya dengan kesenian tradisional Indonesia dengan belajar gamelan di Boston Village Gamelan, Amerika Serikat, tahun 1987. Setahun kemudian, dia mendapatkan beasiswa Fulbright untuk belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.
Selama dekade itu, di Amerika memang sedang terjadi saling-silang budaya Amerika-Asia, mulai dari makanan, kesenian hingga fesyen. Dan bagi Cohen, kebudayaan Asia seperti Jepang, India dan China sangat menarik. Dia berminat mendalami budaya-budaya dari Asia dan akhirnya memilih Indonesia untuk belajar wayang.
"Saat itu saya senang main gamelan walaupun hanya bisa memukul gong. Saya senang suasana berkumpul dengan tenang, mendengarkan gamelan juga membuat saya lebih tenang. Saya juga melihat peran dalang itu menarik, karena dia berperan sebagai aktor, pencerita, sutradara, pengarah musik dan ada peran ritus di dalamnya," kata dia.
Namun kala itu dia tidak pernah bermimpi menjadi dalang. Dia awalnya hanya ingin mempelajari wayang sebagai bagian dari upayanya menjadi peneliti budaya.
Saat mendapatkan kesempatan belajar di ISI, dia tidak menyia-nyiakan waktunya. Dalam sehari dia bisa menghabiskan berjam-jam untuk belajar mendalang.
Dan saat mengikuti program studi S3 pada era 90-an, dia memilih Cirebon sebagai tempat penelitian karena saat itu belum banyak peneliti yang mendalami wayang Cirebon.
"Wayang di Cirebon cukup hidup, karena kesenian di sini berbasis pedesaan yang punya kepercayaan cukup kuat terhadap wayang. Mereka masih menggunakan wayang agar panen mereka subur, menyembuhkan orang, mengeluarkan setan dan lainnya," kata dia.
Berbekal berbagai referensi dari banyak sumber, termasuk buku-buku yang dia peroleh dari para dalang dan kaset pita, Cohen mulai mentranskrip cerita-cerita wayang dan belajar mendalang menggunakan Bahasa Cirebon.
"Dulu belajar ya sebisanya. Tapi karena awalnya saya mendalang siang hari, ya dimaklumi penonton. Karena kalau siang yang banyak menonton anak-anak kecil dan orang-orang tua yang sudah tidak bekerja," katanya.
"Tetapi saya tetap belajar, walaupun banyak kesalahan karena dalam Bahasa Cirebon ada juga tata krama dan sopan santun. Saya kumpulkan referensi dari kaset dan ada buku yang saya kumpulkan dari dalang," ia menambahkan.
Kini, guru besar di Royal Holloway University of London ini sangat fasih bercerita menggunakan Bahasa Cirebon. Saat dia mendalang, penonton sudah tidak bisa membedakannya dengan dalang lokal.
Cohen juga mengajari mahasiswanya teknik dasar bermain wayang, seperti cara memegang wayang dan hubungannya dengan irama, serta konsisten berupaya melestarikan wayang.
Ketekunan mendalami dan melestarikan Wayang Cirebon membuat Cohen mendapat gelar kehormatan "Kyai Ngabehi Kanda Buwana" dari Keraton Kacirebonan tahun 2009. (Editor : Maryati).