Pada tanggal 24 Agustus, TVRI berulang tahun yang ke-55. TVRI yang sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan berubah status sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) dan memiliki moto "Saluran Pemersatu Bangsa".
Dengan motonya tersebut, hingga saat ini isi siarannya tampak makin menunjukkan jati dirinya sebagai televisi publik milik bangsa.
Sangat berbeda dengan siarannya pada era Orde Baru. Kala itu TVRI di bawah Departemen Penerangan menjadi corong dan tunduk kepada pemerintah. Saat ini, LPP TVRI sebagai lembaga penyiaran publik (public broadcasting) sebagai lembaga mandiri yang mengabdikan diri pada kepentingan publik.
Hal ini sejalan dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengamanatkan bahwa seluruh lembaga yang terkait dengan publik serta dibiayai dengan dana publik harus memberikan pelayanan maksimal kepada publik.
Oleh karena itu, LPP TVRI--berdasarkan UU Penyiaran merupakan satu-satunya televisi publik yang boleh bersiaran secara nasional--terus berbenah diri, mulai teknis kepenyiaran hingga berbagai produksi siarannya.
Konsekuensinya (berdasarkan UU Penyiaran) TVRI harus dibiayai dari APBN ataupun APBD agar para pengelolanya bisa berkonsentrasi penuh dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai media penyiaran publik.
Pertanyaannya, dapatkah TVRI menjalankan tugas dan fungsinya tersebut secara maksimal? Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membantu TVRI agar mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal?
Pengalaman dan Kecurigaan
Bila kita cermati, tampaknya salah satu kesulitan dan kendala dalam mewujudkan peran idealnya, antara lain, penyediaan anggaran, baik yang berasal dari APBN maupun APBD. Persoalannya klasik, DPR masih curiga jangan-jangan anggaran yang dikucurkan akan disalahgunakan Pemerintah yang memanfaatkan TVRI untuk mempertahankan kekuasaannya seperti pada masa Orde Baru.
Selain itu, ada pula kecurigaan penyalahgunaan anggaran oleh oknum pengelolanya sehingga dana yang dikucurkan tidak tepat sasaran.
Kecurigaan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Pengalaman pada era Orde Baru, TVRI jelas-jelas dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan penguasa dan rakyat hanya dijadikan pelengkap penderita. Selain itu, kasus korupsi yang melibatkan para petinggi TVRI saat itu, juga masih menyisakan kekurangpercayaan pemerintah dan DPR.
Indeks Penilaian
Kekhawatiran baik oleh Pemerintah maupun DPR sebenarnya bukanlah hal yang tepat saat ini. Struktur pengelola TVRI yang selain direksi, juga ada dewan pengawas (dewas). Mereka dipilih pemerintah setelah dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) oleh DPR.
Di sisi lain, selain Pemerintah dan DPR, masyarakat pun ikut mengawasi, setidaknya melalui berbagai produksi siaran yang tersaji. Berbagai sajian TVRI, baik pusat maupun stasiun daerah, selain bisa kita amati secara analog, sudah bisa juga kita nikmati secara digital, bahkan secara mudah melalui TVRI "streaming".
Moto "Saluran Pemersatu Bangsa" yang mereka pedomani makin menunjukkan jati dirinya sebagai televisi publik. Di samping itu, juga makin tampak berupaya yang lebih nyata dalam melayani kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Tayangan infotainment yang menjadi andalan televisi swasta karena biaya produksi yang murah, membanjirnya iklan, dan menarik pemirsa meski minim manfaat, tidak ditayangkan di TVRI. Demikian pula, dengan berbagai tayangan hiburan yang bermasalah lainnya.
Selain itu, berdasarkan indeks penilaian yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2016, berita TVRI memperoleh indeks tertinggi 3,93 dari indeks maksimal yang distandarkan 4 oleh KPI, jauh di atas indeks berbagai berita di televisi swasta yang rata-rata indeksnya di bawah 2.
Melalui standar penilaian yang antara lain dari sisi faktualitas, relevansi, netralitas (tidak beropini), dan keberimbangannya. Hal ini logis, mengingat dari sisi sosiologi media, saat ini televisi swasta masih sulit melepaskan diri dari kepentingan organisasi media dan ekstramedia, terutama yang terkait dengan politik dan ekonomi.
Salah Tafsir
Yang masih jadi kendala bagi TVRI saat ini selain minimnya dana yang dikucurkan Pemerintah dengan persetujuan DPR/DPRD, kendala teknis karena keterbatasan anggaran, juga kesalahan persepsi masyarakat yang sering beranggapan bahwa banyak sajian TVRI yang tidak menarik, beda dengan televisi swasta.
Terkait dengan hal ini, TVRI perlu berbenah diri, selain menyosialisasikan bahwa tayangan yang bermanfaat bagi publik itu belum tentu menarik. Sebaliknya, berbagai tayangan televsi, terutama televisi swasta yang menarik itu belum tentu bermanfaat. Bahkan, banyak yang justru berdampak negatif.
Hingga pada satu saat nanti TVRI mampu mengemas berbagai tayangan yang menarik sekaligus bermanfaat maksimal bagi publik. Oleh karena itu, literasi terhadap televisi publik ini perlu terus dilakukan TVRI. Selain itu, juga harus dibantu oleh berbagai kalangan yang yang kompeten guna membantu masyarakat luas mengerti dan memahami peran, fungsi, dan karakter TVRI sebagai televisi publik.
Sembari menanti kesiapan TVRI kelak, saat ini secara sistematis dan sesuai dengan kemampuannya, TVRI perlu terus berbenah diri agar berbagai tayangan sajiannya makin diminati publik.
Belajar dari masa lampau, misalnya saat Dunia Dalam Berita, Ketoprak Sayembara, Guyon Maton, dan Sinetron Jendela Rumah Kita sangat menarik dan populer kala itu, bukanlah hal yang memalukan.
Selain itu, agar para pengelola TVRI tidak bisa ditarik-tarik pada kepentingan-kepentingan tertentu, anggaran yang diberikan harus mencukupi, berbagai tayangan blocking time untuk kepentingan tertentu akan mampu dihindari.
Namun, tentu memberitakan berbagai kegiatan pemerintah saat kapan pun serta siapa pun yang saat itu berkuasa tidak perlu dicurigai selama berbagai berita ataupun berbagai diseminasi lainnya itu adalah demi kepentingan publik.
Ujian yang paling berat dihadapi TVRI adalah tatkala ada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Melalui peristiwa dan aktivitas yang disajikannya, TVRI diuji. Selain itu, penghindaran TVRI terhadap berbagai tayangan yang berbau SARA yang sangat rawan haruslah dihindari manakala moto TVRI sebagai saluran pemersatu bangsa benar-benar akan tetap dijaga sesuai dengan muruahnya.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.