Operasi mendadak yang dilakukan Menteri Pertanian bersama dengan Polri menemukan ketidaksesuaian antara kemasan beras beserta perincian kandungan di dalamnya dengan jenis beras yang ada dalam kemasan tersebut.
Tidak pelak, hal yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang cukup ternama tersebut menuai sanksi dari yang berwenang.
Ada lagi indikasi yang dilakukan oknum di Perum Bulog mengoplos beras untuk rakyat prasejahtera (rastra) dengan beras yang sudah sangat jelek kualitasnya sehingga merugikan para penerimanya hanya demi keuntungan oknum tersebut semata.
Kita tentu juga masih ingat pada era pemerintahan lalu ditemukan susu formula yang mengandung "enterobacter sakazakii" yang membahayakan kesehatan anak, bahkan akhirnya divonis Mahkamah Agung untuk diumumkan ke tengah masyarakat meski kenyataannya tidak pernah diumumkan demi dalih tertentu.
Di bidang politik, DPR RI membentuk Pansus Angket KPK dengan justifikasi (dalih) tertentu meski secara kasatmata melalui berbagai media tampak sebagian besar kalangan justru mengecamnya. Kecaman itu terkait dengan sinyalemen adanya ketidakjujuran informasi dari alasan yang diberikan DPR disertai dengan kinerjanya yang terliput berbagai media.
Dukungan masyarakat pun tampaknya yang justru diperhatikan ke KPK sehingga lembaga itu tampak tidak terganggu kinerjanya, bahkan berbagai kejutan yang sebelumnya tidak diduga mereka lakukan sehingga dukungan terhadapnya pun makin kuat.
Yang tidak kalah menariknya adalah tarik-menarik yang ada di DPR terkait dengan UU Pemilu meskipun akhirnya disahkan. Namun, ketidakjujuran komunikasi dengan saling menjustifikasi ini pun akhirnya masih berlanjut dengan mengajukan uji materi UU Pemilu terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini tentu juga dengan justifikasinya masing-masing. Akhirnya, bila ada keputusan MK kelak, apa pun hasilnya, seharusnya kontroversi sebagai dampak saling justifikasi tersebut akan hilang.
Bila kita bandingkan dengan Jepang, misalnya, tatkala ada kebocoran reaktor nuklir Fukusima, pemerintah Jepang memberikan informasi yang jujur dan detail, bahkan sampai pada apa yang boleh dimakan dan tidak, produk dari daerah mana, dan sebagainya. Intinya pemerintah Jepang tidak mau rakyatnya jadi korban dari ketidakjujuran komunikasi yang dilakukan.
Pertanyaannya, mengapa kejujuran komunikasi itu penting bahkan hakiki? Bagaimana dampak ketidakjujuran komunikasi itu? Pada era keterbukaan serta pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, apa yang seharusnya dilakukan, baik oleh para pengusaha, elite politik, maupun siapa pun, dalam berkomunikasi, terutama dengan banyak orang serta menyangkut kepentingan banyak orang tersebut?
Bujuk Rayu
Dalam teori komunikasi persuasi, bila kita akan membujuk/merayu orang atau sejumlah orang, yang harus kita ketahui adalah keinginan serta kebutuhan orang tersebut. Dalam bahasa iklan, sering lebih dikenal dengan "consumers insight".
Biasanya kebutuhan serta kepentingan "audience" sering dikaitkan dengan sikapnya. Misalnya, bila orang ingin makan nasi, yang dipilih adalah yang pulen, enak, dan harganya terjangkau. Terkait dengan itu, muncullah merek Beras Mak Nyuuuussss, misalnya. Seorang lelaki, erat terkait dengan masalah kebugaran, kekuatan, kejantanan, dan sebagainya. Maka, muncullah kata Rosa-rosa, Laki, dengan berbagai ilustrasinya.
Para politikus pun memanfaatkan kata-kata yang sangat universal terkait dengan emosi sasaran dan menyangkut kebutuhan banyak orang. Maka, lahirlah, misalnya, kata-kata "demi rakyat kecil (wong cilik)", "demi demokrasi", "demi masa depan bangsa", dan sejenisnya.
Dari sisi Ilmu Komunikasi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata-kata yang dicontohkan tersebut. Persoalannya, justru ada pada ketidakjujuran informasi yang disampaikan. Ketidaksesuaian antara rasa maknyuuusss misalnya, dan kondisi riil beras yang ada di dalam kemasan. Demi demokrasi atau demi wong cilik, padahal demi kelompok, bahkan dirinya sendiri, demi kejantanan atau keperkasaan. Namun, menutup efek samping yang membahayakan.
Intinya, menitikberatkan hanya pada kemenarikan pesan dengan mengabaikan kejujuran serta etika, jelas bertentangan dengan filosofi komunikasi, yang justru menganggap kejujuran adalah faktor utama. Bila ini diteruskan, dalam waktu pendek menarik, sehingga banyak orang akan mengikutinya.
Namun, dalam jangka panjang, setelah mereka ikut dan merasakannya, sebagian besar akan merasa kecewa, dan ini justru akan menjadi penghalang komunikasi (communication strugle) yang sulit diatasi.
Terkait dengan hal itu, kita tentu ingat temuan Towne dan Alder yang menyebut bahwa "communication is irreversible and unrepeatable" (komunikasi tidak bisa diperbaiki dan diulang). Mengacu pada keduanya, kita juga ingat kata bijak para sesepuh "sabda pandita ratu, tan keno wola wali dan ajining diri jalaran soko lathi".
Antipati
Ketidakjujuran komunikasi yang dilakukan siapa saja meski pesannya sangat menarik perhatian sehingga akhirnya akan mengikutinya yang pada akhirnya akan melahirkan kekecewaan, bahkan antipati, baik terhadap merek tertentu, elite tertentu, maupun partai politik tertentu.
Prinsip public relations (PR) adalah "beri tahu kami bila Anda kecewa dan sebarluaskan kepada handai tolan bila Anda puas", justru bisa saja kebalikannya yang terjadi. Bila ini terjadi, kita ingat pada Osgood, melalui teori belajarnya mengatakan bahwa pengalaman manis bisa menjadi modal dalam pembelajaran. Sebaliknya, pengalaman pahit justru akan melahirkan hambatan yang sulit diatasi, bahkan mungkin rasa antipati.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, ditambah makin maksimalnya fungsi mediasi serta advokasi media, masyarakat akan dengan mudah memperoleh berbagai informasi sehingga makin menjadikannya cerdas. Kecerdasan itulah yang akhirnya menyebabkan mereka akan mampu memilih, mana yang jujur dalam berkomunikasi, serta mana yang tidak jujur, dan akhirnya meninggalkannya.
Secara politik, pada setiap pemilu atau pilkada, turunnya suara partai politik (parpol) serta petahana yang kalah dalam pemilihan berikutnya merupakan bukti konkret.
Demikian pula, yang terjadi dalam bidang bisnis, misalnya dengan produk yang terindikasi mengandung sesuatu yang haram atau membahayakan kesehatan.
Akhirnya kita tentu berharap, ke depan kejujuran dalam berkomunikasi perlu diutamakan. Rasulullah, sampai memberikan contoh konkret bagaimana ketika Beliau berdagang. Demikian pula, dalam bidang lainnya.
Melalui komunikasi yang jujur, selain menjadikan masyarakat cerdas, mereka pun akan melakukan sesuatu secara benar sehingga kelak mereka tidak akan kecewa, serta menumpahkan kekecewaannya dengan berbagai cara yang justru kontraproduktif.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang