Oleh Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. *)
Sembilan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang baru telah terpilih. Selain Sudjarwanto Rahmat Muhamad Arifin yang terpilih kembali, delapan nama lainnya merupakan sosok yang baru.
Setelah resmi diumumkan kepada publik oleh Komisi I DPR RI, opini publik pun terbentuk. Sesuai dengan sifatnya bahwa opini publik selalu mengandung kontroversi. Maka, ada kalangan yang menilai positif, optimistis, ada pula yang meragukannya.
Tak kurang, seorang mantan komisioner KPI yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, menyayangkan tidak masuknya sosok, seperti Agus Sudibyo dan Ignatius Haryanto, yang menurutnya bagus dalam paparannya dan telah lama berkecimpung di dunia pers dan penyiaran.
Ada pula kalangan lain yang menganggap sejumlah komisioner terpilih memiliki kaitan dengan lembaga penyiaran tertentu, bahkan salah satunya suami petinggi parpol yang terlibat di Komisi I DPR RI.
Pandangan lain yang berseberangan justru mengapresiasi kosisioner KPI terpilih karena berasal dari bermacam komponen yang bervariasi dan terkait dengan dunia pers dan penyiaran.
Ada komponen dosen Ilmu Komunikasi serta dosen lainnya, ada yang berasal dari lembaga penyiaran publik lokal (LPPL), aktivis radio komunitas, serta wartawan. Mereka yang mengapresiasi tentu berharap variasi serta pengalaman yang mereka miliki akan menjadi bekal kelak ketika mereka menjalankan tugasnya.
Berbagai pengalaman serta latar belakang yang mereka miliki pun tentu akan menjadi bekal mereka dalam menghadapi pesatnya perkembangan dunia penyiaran, bahkan berbagai variasi serta kreativitas para penyelenggara penyiaran yang pada kenyataannya sering tidak sesuai dengan makna penggunaan frekuensi yang mereka pinjam dari rakyat melalui negara.
Pertanyaannya, akan mampukah sembilan komisioner KPI tersebut mejalankan tugasnya sesuai dengan amanat UU yang menaunginya? Apa yang perlu mereka lakukan, serta apa pula yang dilakukan DPR dan Pemerintah dalam memfasilitasi KPI agar mampu melaksanakan tugas serta fungsinya secara maksimal?
Revisi UU Penyiaran
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini sedang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Idealnya, masyarakat penerima siaran tentu berharap selain rencana memisahkan RRI dan TVRI dengan UU tersendiri, melalui UU Radio dan Televisi Republik Indonesia, perkembangan teknologi internet untuk kepentingan penyiaran, seperti streaming dan Youtube yang dampaknya tidak kalah dahsyatnya, perlu diakomodasi dalam UU Penyiaran hasil revisi.
Demikian pula, dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam dunia penyiaran ke depan. Namun, sayangnya draf revisi yang sering bisa diakses masyarakat melalui kemajuan teknologi informasi, yang terjadi justru tarik-menarik soal fungsi dan peran KPI.
KPI yang keberadaannya saat ini tidak lebih dari Komas HAM, cenderung akan diperlemah lagi. Berbagai kepentingan, baik politis maupun bisnis, tampak sangat mewarnai tarik-menarik di Komisi I DPR RI sehingga revisi UU Penyiaran tersebut tidak kunjung usai.
Bila kita cermati, sebenarnya keluhan masyarakat terhadap fungsi dan peran KPI sering mencuat di berbagai media. Masyarakat sering mempertanyakan, apa sebenarnya kerja KPI itu? Mengapa sajian media penyiaran, terutama televisi, abai terhadap kepentingan masyarakat sebagai pemilik frekuensi, yang seharusnya mereka layani?
Kepentingan bisnis serta pandangan ekonomi politik melahirkan komodifikasi media demi kepentingan profit semata. Moto "Give the Public what They Want" yang seharusnya mereka ganti dengan "Give the Public what They Needs", tidak mereka lakukan.
Masyarakat awam yang tidak memahami kewenangan KPI berdasarkan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran yang sangat lemah, tentu menumpukan kesalahan karut-marutnya penyiaran tersebut padanya.
Dengan kenyataan itu, harapannya revisi UU Penyiaran akan memperkuat peran serta fungsi KPI, bila toh tidak bisa sekuat Federal Communications Commission (FCC) di Amerika Serikat karena dianggap sebagai trias politika yang tidak sesuai dengan UUD 1945, setidaknya peran serta fungsinya setara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan kewenangan yang dimilikinya tersebut, diharapkan perannya dalam mengatur isi siaran sesuai dengan amanat UU Penyiaran akan dapat dilakukan secara maksimal. Pertanyaannya akankah DPR dan Pemerintah mengutamakan kepentingan masyarakat luas dibanding kepentingan bisnis serta politis dalam merevisi UU Penyiaran?
Publikasi Kinerja
Dengan keterbatasan kewenangan yang dimilikinya saat ini pun sebenarnya KPI serta KPID telah melakukan kinerja yang cukup maksimal. Kerja sama dengan berbagai lembaga yang peduli terhadap penyiaran, program literasi media, serta peningkatan SDM penyiaran, serta berbagai kajian isi siaran yang melibatkan berbagai komponen masyarakat yang dilakukan KPID Jawa Tengah, misalnya, merupakan kegiatan nyata untuk memperbaiki dunia penyiaran.
Tidak kalah upaya yang dilakukan, KPI Pusat mencoba menantang sepuluh stasiun televisi nasional untuk uji publik sebagai salah satu syarat memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang membuat pengelola penyiaran berjanji akan bebenah diri merupakan kecerdasan sikap menghadapi dunia penyiaran, khususnya televisi yang makin menjadikan masyarakat sebagai pelengkap penderita, di tengah keterbatasan kewenangan yang mereka miliki saat ini.
Namun, sayangnya kinerja yang mereka lakukan tersebut kurang terpublikasi melalui media "mainstream" sehingga masyarakat tidak mengetahui dan lebih sering mempertanyakan kinerjanya. Publikasi kinerja sangat penting dilakukan, bukan dengan tujuan pencitraan, melainkan agar masyarakat mengetahui upaya yang mereka lakukan dengan keterbatasan kewenangan yang dimilikinya.
Ke depan, sembilan komisioner KPI perlu merangkul berbagai kalangan yang peduli penyiaran, termasuk media untuk mengawal revisi UU Penyiaran. Pengalaman riuhnya pengawalan oleh berbagai komponen masyarakat dalam pembentukan KPI Jilid I yang akhirnya melahirkan orang-orang sangat sangat kompeten saat itu perlu mereka tiru dengan harapan revisi UU Penyiaran yang akan datang meningkatkan kewenangan mereka sehingga kinerjanya akan maksimal.
Akhirnya, sebagai masyarakat penerima siaran yang peduli terhadap kondisi penyiaran saat ini, kita tentu berharap sembilan anggota KPI terpilih akan bekerja secara maksimal karena masyarakat menunggu kinerjanya. Sembari berdoa disahkannya UU Penyiaran yang mendukung pemaksimalan kinerjanya, dalam kewenangan yang terbatas saat ini, yang terpenting adalah bekerja maksimal, sembari terus berkomunikasi secara intens dengan masyarakat yang direpresentasikannya.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang