Menunggu Aliran Setrum dari PLTU Batang
Kepala Negara menyampaikan keluhan tersebut ketika mengunjungi lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Desa Ujung Negoro, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Jumat (28/8).
Listrik 'byar pet' sesungguhnya bukan hanya melanda kawasan luar Jawa. Di kota-kota besar di Jawa, listrik pun sering padam. Padam bisa jadi karena sedang ada perbaikan jaringan, namun dapat pula aliran listrik "jeglek" atau anjlok karena sudah melampaui beban puncak.
Oleh karena itu, sesulit apa pun, penambahan daya melalui pembangunan pembangkit listrik baru harus dilakukan. Tanpa penambahan pembangkit baru, frekuensi 'byar pet' bakal kian tinggi dan melanda banyak daerah. Akibat lebih mengerikan adalah perekomian mandek.
Presiden Jokowi menargetkan pertumbunan ekonomi per tahun di atas lima persen. Namun untuk mencapai sasaran ini harus didukung pertumbuhan industri dan sektor bisnis lain yang juga membutuhkan pasokan listrik.
Sayangnya, pembangunan pembangkit di daerah-daerah tidak semudah yang direncanakan. Sebagian besar teradang masalah pembebasan lahan untuk lokasi pembangkit.
Pemerintah menyadari masalah tersebut. Oleh karena itu, proyek pembangkit yang sudah direncanakan namun sempat tertunda-tunda karena terkendala pembebasan lahan, harus segera dimulai.
PLTU Batang yang digagas di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang menjadi prioritas penyelesaian. Singkatnya, setrum aliran dari PLTU Batang memang ditunggu banyak orang.
Pemerintah sekarang ini menyusun rencana pengadaan periode 2015-2024 sebesar 35.000 MW, atau tepatnya 36.585 MW (pln.co.id).
Itu berarti setiap tahun harus ada tambahan setrum dari pembangkit baru sebanyak 3.500 MW. Untuk mendukung pertumbuhan di atas lima persen, dibutuhkan tambahan setrum 3.500 MW/tahun.
Dari tambahan pasokan 36.585 MW, 25,904 MW akan diserahkan kepada pengembang bisnis swasta, sedangkan sisanya yang 10,681 MW bakal digarap sendiri PT PLN.
PLTU Batang yang dirancang jauh sebelum pemerintah menetapkan target pengadaan 35.000 MW, sampai kini memang belum beroperasi.
Namun, penantian panjang tersebut kini mulai menunjukkan titik terang. Warga pun sudah menunjukkan dukungannya.
Oleh karena itu, pemerintah pun optimistis pada tahun ini mulai bisa dibangun sehingga pada tahun 2019 PLTU Batang berdaya 2x1.000 MW ini sudah menghasilkan setrum untuk menambah pasokan listrik di Jawa.
Investasi Rp56 triliun
Investasi PLTU Batang bakal menelan empat miliar dolar AS atau Rp56 triliun dengan kurs dolar AS hari ini Rp14.100. Investor PLTU ini PT Bhimasena Power Indonesia.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan semua pihak segera menyelesaikan masalah yang masih membelit pembangunan PLTU Batang. "Tentu (penyelesaiannya, red) dengan cara-cara baik," kata Kepala Negara.
"Manfaat listrik itu tidak hanya untuk kepentingan industri atau hotel, tetapi untuk belajar anak-anak dan keperluan nelayan," kata Presiden.
Pembangunan PLTU Batang yang sempat tertunda empat tahun, kata Presiden, harus segera dimulai. PLTU Batang nantinya dialirkan ke pelosok Jawa dan Bali agar rakyat bisa menikmati manfaat listrik.
Pembangungan PLTU Batang yang dirintis sejak empat tahun lalu tersebut memang tidak berjalan mulus. Selain menghadapi alotnya pembebasan lahan, pembangunan PLTU berdaya 2x1.000 MW ini pun menuai protes dari sebagian warga dan sejumlah LSM.
Kalangan pemrotes menolak PLTU Batang dengan dalih merusak lingkungan. Mereka tidak mau tahu betapa seriusnya ancaman krisis listrik di negeri ini bila tidak ada PLTU baru sebagai pemasok setrum.
Proses pembebasan lahan yang berlangsung bertahun-tahun masih tertahan. Yang belum bisa dibebaskan sebenarnya hanya belasan hektare, namun karena berlokasi di tapak inti PLTU maka masalahnya menjadi lebih kompleks.
"Akan tetapi, kami optimistis pembangunan PLTU Batang berjalan lancar meski saat ini masih tersisa 1,9 persen lahan yang masih bermasalah," kata Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Optimisme Gubernur tersebut juga diamini warga pro-PLTU yang semakin berani menunjukkan dukungannya pada pembangunan PLTU Batang.
Koordinator pro-PLTU, Ananta Mahendra, menyatakan kedatangan Presiden Joko Widodo ke PLTU Batang pada 28 Agustus 2015 membawa kabar gembira warga sekitar PLTU.
Ia meyakini kedatangan Presiden ke lokasi PLTU Batang bakal mempercepat proses pembebasan lahan sehingga pembangunan bisa segera dimulai.
Pembebasan sisa lahan milik warga tersebut tersebar di Desa Ujung Negoro, Karanggeneng, dan Ponowareng.
Ganjar menegaskan tidak akan melukai warga dan berjanji pembebasan lahan tersebut memberi keuntungan kepada pemilik tanah.
"Kami memberi kesempatan warga berdialog meski pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2/2012 (tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) sudah mulai berjalan," kata Ganjar Pranowo.
Kehadiran Presiden di Batang menunjukkan pemerintah mendukung sepenuhnya PLTU yang dibangun dengan pola kerja sama pemerintah swasta (KPS) tersebut.
PLTU Batang senilai empat miliar dolar AS itu merupakan proyek pertama yang menggunakan pola KPS.
Listrik 'byar pet' sesungguhnya bukan hanya melanda kawasan luar Jawa. Di kota-kota besar di Jawa, listrik pun sering padam. Padam bisa jadi karena sedang ada perbaikan jaringan, namun dapat pula aliran listrik "jeglek" atau anjlok karena sudah melampaui beban puncak.
Oleh karena itu, sesulit apa pun, penambahan daya melalui pembangunan pembangkit listrik baru harus dilakukan. Tanpa penambahan pembangkit baru, frekuensi 'byar pet' bakal kian tinggi dan melanda banyak daerah. Akibat lebih mengerikan adalah perekomian mandek.
Presiden Jokowi menargetkan pertumbunan ekonomi per tahun di atas lima persen. Namun untuk mencapai sasaran ini harus didukung pertumbuhan industri dan sektor bisnis lain yang juga membutuhkan pasokan listrik.
Sayangnya, pembangunan pembangkit di daerah-daerah tidak semudah yang direncanakan. Sebagian besar teradang masalah pembebasan lahan untuk lokasi pembangkit.
Pemerintah menyadari masalah tersebut. Oleh karena itu, proyek pembangkit yang sudah direncanakan namun sempat tertunda-tunda karena terkendala pembebasan lahan, harus segera dimulai.
PLTU Batang yang digagas di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang menjadi prioritas penyelesaian. Singkatnya, setrum aliran dari PLTU Batang memang ditunggu banyak orang.
Pemerintah sekarang ini menyusun rencana pengadaan periode 2015-2024 sebesar 35.000 MW, atau tepatnya 36.585 MW (pln.co.id).
Itu berarti setiap tahun harus ada tambahan setrum dari pembangkit baru sebanyak 3.500 MW. Untuk mendukung pertumbuhan di atas lima persen, dibutuhkan tambahan setrum 3.500 MW/tahun.
Dari tambahan pasokan 36.585 MW, 25,904 MW akan diserahkan kepada pengembang bisnis swasta, sedangkan sisanya yang 10,681 MW bakal digarap sendiri PT PLN.
PLTU Batang yang dirancang jauh sebelum pemerintah menetapkan target pengadaan 35.000 MW, sampai kini memang belum beroperasi.
Namun, penantian panjang tersebut kini mulai menunjukkan titik terang. Warga pun sudah menunjukkan dukungannya.
Oleh karena itu, pemerintah pun optimistis pada tahun ini mulai bisa dibangun sehingga pada tahun 2019 PLTU Batang berdaya 2x1.000 MW ini sudah menghasilkan setrum untuk menambah pasokan listrik di Jawa.
Investasi Rp56 triliun
Investasi PLTU Batang bakal menelan empat miliar dolar AS atau Rp56 triliun dengan kurs dolar AS hari ini Rp14.100. Investor PLTU ini PT Bhimasena Power Indonesia.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan semua pihak segera menyelesaikan masalah yang masih membelit pembangunan PLTU Batang. "Tentu (penyelesaiannya, red) dengan cara-cara baik," kata Kepala Negara.
"Manfaat listrik itu tidak hanya untuk kepentingan industri atau hotel, tetapi untuk belajar anak-anak dan keperluan nelayan," kata Presiden.
Pembangunan PLTU Batang yang sempat tertunda empat tahun, kata Presiden, harus segera dimulai. PLTU Batang nantinya dialirkan ke pelosok Jawa dan Bali agar rakyat bisa menikmati manfaat listrik.
Pembangungan PLTU Batang yang dirintis sejak empat tahun lalu tersebut memang tidak berjalan mulus. Selain menghadapi alotnya pembebasan lahan, pembangunan PLTU berdaya 2x1.000 MW ini pun menuai protes dari sebagian warga dan sejumlah LSM.
Kalangan pemrotes menolak PLTU Batang dengan dalih merusak lingkungan. Mereka tidak mau tahu betapa seriusnya ancaman krisis listrik di negeri ini bila tidak ada PLTU baru sebagai pemasok setrum.
Proses pembebasan lahan yang berlangsung bertahun-tahun masih tertahan. Yang belum bisa dibebaskan sebenarnya hanya belasan hektare, namun karena berlokasi di tapak inti PLTU maka masalahnya menjadi lebih kompleks.
"Akan tetapi, kami optimistis pembangunan PLTU Batang berjalan lancar meski saat ini masih tersisa 1,9 persen lahan yang masih bermasalah," kata Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Optimisme Gubernur tersebut juga diamini warga pro-PLTU yang semakin berani menunjukkan dukungannya pada pembangunan PLTU Batang.
Koordinator pro-PLTU, Ananta Mahendra, menyatakan kedatangan Presiden Joko Widodo ke PLTU Batang pada 28 Agustus 2015 membawa kabar gembira warga sekitar PLTU.
Ia meyakini kedatangan Presiden ke lokasi PLTU Batang bakal mempercepat proses pembebasan lahan sehingga pembangunan bisa segera dimulai.
Pembebasan sisa lahan milik warga tersebut tersebar di Desa Ujung Negoro, Karanggeneng, dan Ponowareng.
Ganjar menegaskan tidak akan melukai warga dan berjanji pembebasan lahan tersebut memberi keuntungan kepada pemilik tanah.
"Kami memberi kesempatan warga berdialog meski pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2/2012 (tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) sudah mulai berjalan," kata Ganjar Pranowo.
Kehadiran Presiden di Batang menunjukkan pemerintah mendukung sepenuhnya PLTU yang dibangun dengan pola kerja sama pemerintah swasta (KPS) tersebut.
PLTU Batang senilai empat miliar dolar AS itu merupakan proyek pertama yang menggunakan pola KPS.