Puluhan anak yang masing-masing membawa obor berdiri di depan Sanggar Wonoseni, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sambil melantunkan takbir secara meriah.
Malam itu, warga dusun dengan lokasi yang tak jauh dari Kota Magelang tersebut arak-arakan takbiran, menjelang 1 Syawal 1434 Hijriah. Pada tanggal itu, saat seluruh umat Islam merayakan Idul Fitri, setelah sebulan mengolah batin dan memperteguh keislaman melalui jalan ibadah puasa Ramadhan.
"'Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham'," demikian gema takbir mereka lantunkan dengan meriah seraya anak-anak itu memainkan atraksi sembur api dari obor mereka masing-masing.
Kira-kira arti kalimat takbir itu, "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Dan segala pujian hanyalah kepada Allah".
Mereka berjalan kaki, berkeliling jalan-jalan kampung itu, mulai dari Masjid Al Mu'in hingga Mushalla Al Mujahidin di dusun setempat dalam malam takbiran yang mereka namai "Takbir Beduk Kupat". "Kupat" sebutan masyarakat Jawa untuk "ketupat"
Gema takbir secara bergantian dikumandangkan secara bergantian oleh anak-anak dan remaja di salah satu panggung di depan Masjid Al Muin dengan tabuhan beduk, kentongan, dan botol kaca.
Lantunan takbir juga dikumandangkan berulang-ulang oleh seorang sesepuh dusun setempat, Buseri (80) menggunakan pelantang di Mushalla Al Mujahidin.
Beduk terbuat dari kayu gelugu berumur sekitar 50 tahun dengan diameter 70 centimeter dan panjang 80 centimeter itu, salah satu perangkat musik tradisional kelompok kesenian rakyat Sanggar Wonoseni di Kecamatan Bandongan, pimpinan Pangadi. Koreografi "Takbir Beduk Kupat" digarap oleh seorang pegiat sanggar itu, Khoirul Mutaqin.
Berbagai alat musik tradisional lain, seperti drum, beduk, kempul, kepyek, kentongan, dan kenong, turut mengiring arak-arakan takbiran itu dengan ditabuh secara meriah oleh pegiat sanggar kesenian tersebut.
Berbagai ruas jalan di dusun itu, telah berhias puluhan umbul-umbul dan bendera Merah Putih secara melintang di atas jalan setempat, untuk perayaan HUT Ke-68 RI yang jatuh pada 17 Agustus 2013.
Mereka yang menjalani arak-arakan juga menari-nari seiring tabungan musik beduk dan lainnya dengan lantunan gema takbir.
"Secara khusus kami maknai malam takbiran tahun ini sebagai ungkapan kegembiraan warga, setelah sebulan berpuasa," kata Pangadi yang juga Kepala Dusun Wonolelo, Desa Bandongan itu.
Bagi masyarakat setempat, katanya, beduk menjadi lambang kemenangan dari godaan duniawi, yang telah dilalui melalui puasa Ramadhan. Di berbagai kampung, beduk menjadi alat utama saat umat Islam menggemakan takbir.
Gema takbir dilakukan warga dusun setempat sejak selesai shalat Isya hingga pagi hari, khususnya di masjid dan mushalla itu.
Sedangkan ketupat, katanya, menjadi menu makanan warga saat merayakan Idul Fitri.
Ia mengatakan masyarakat dusun setempat memiliki tradisi menyantap ketupat secara bersama-sama di depan masjid, usai shalat Idul Fitri berjamaah.
"Kami hidupi semangat kerukunan seperti ini, melalui perayaan Lebaran," katanya.
Malam menjelang Idul Fitri 1434 Hijriah yang mereka lalui melalui arak-arakan "Tabir Beduk Kupat" menjadi ungkapan gembira masyarakat.
Istri Kepala Dusun Wonolelo, Nani Rohmiyati, malam itu menyambut sejumlah tamu yang datang dari luar dusun tersebut, melalui pantun pendek yang terasakan sebagai ungkapan sederhana tentang permohonan maaf pada hari fitri.
"'Kupat kecemplung santen, sedaya lepat nyuwun ngapunten. (Ketupat terjatuh di santan, semua kesalahan mohon dimaafkan)", begitu pantun berbahasa Jawa itu.

